(Kriteria Pembagian Batasan Aurat)
Pendapat berbagai Ulama’ dalam membagi kriteria aurat secara terperinci diuraikan di bawah ini
Aurat Laki-Laki
Menurut pendapat madzhab
Syafi’iyah, aurat orang laki-laki di dalam shalat dan di luar shalat
adalah anggota tubuh mulai dari pusar sampai dengan lutut. Diterangkan
di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 4 hal. 12-14 dan kitab I’anah
al-Thalibin, Juz 1 Fasal Fii Syuruti Al-Shalat
وَالْعَوْرَةُ مِنَ الرَّجُلِ مَا تَحْتَ
السُّرَّةِ إلَى الرُّكْبَةِ ( قَوْلُهُ وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ
السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ ) هُوَ تَتِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرَادُ
الْعَوْرَةُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا بِقَرِينَةِ الْإِظْهَارِ فِي
مَحَلِّ الْإِضْمَارِ ا هـ
Menurut Imam Zarkasyi, aurat pria di
luar shalat dan ketika berada di tempat yang sepi adalah hanya dubur dan
dzakar (alat kelaminnya) saja. Hal ini diterangkan dalam kitab: Syarhu
al-Bahjah al-Wardiyah, juz 3 hal. 467 dan kitab Tuhfah al-Muhtaj Fii
Syarhi al-Minhaj, Juz 6 hal. 243.
قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنَ الرَّجُلِ
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, aurat
orang laki-laki di luar shalat adalah hanya kubul dan dubur saja.
Diterangkan dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin bab Fii Syuruti al-Shalat
hal 34.
فائدة : قاَلَ فِي الْقَلاَئِدِ : لَناَ
وَجْهٌ أَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ فِيْ غَيْرِ الصَّلاَةِ اَلْقُبُلُ
وَالدُّبُرُ فَقَطْ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ اهـ ( بغية
المسترشدين باب شروط الصلاة ص 34
Dalam kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 1 hal.
411. diterangkan bahwa aurat orang laki-laki di dalam shalat hanyalah
qubul (dzakar) dan dubur (anus) saja. Tetapi pendapat ini hanya khusus
untuk orang laki-laki saja tidak berlaku bagi budak perempuan (amat)
قَوْلُهُ أَيْضًا بِجَامِعِ أَنَّ رَأْسَ
كُلٍّ مِنْهُمَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ أَيْ: فِي الصَّلَاةِ نَعَمْ
يَفْتَرِقَانِ فِي أَنَّ لَنَا وَجْهًا بِأَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ
الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ خَاصَّةً وَهُوَ لَا يَجْرِي فِي الْأَمَةِ
Dikatakan, Imam Malik juga berpendapat
bahwa aurat yang wajib ditutupi bagi orang laki-laki dan amat (budak
perempuan) adalah dua alat kelaminnya saja. (Mughni al-Mukhtaj, Juz 1
hal. 256.
وَخَرَجَ بِذَلِكَ السُّرَّةُ
وَالرُّكْبَةُ فَلَيْسَا بِعَوْرَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ وَقِيْلَ
الَرُّكْبَةُ مِنْهَا دُوْنَ السُّرَّةِ وَقِيْلَ عَكْسُهُ وَقِيْلَ
اَلسَّوْاَ تَانِ فَقَطْ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ.
Dan menurut Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi
perintah menutupi aurat itu adalah bertujuan untuk memuliakan dan
menjaga kemaluan, tidak untuk merendahkan dan menghinakannya, karena
kemaluan adalah termasuk barang yang tabu dan jijik apabila terbuka atau
telanjang dan tidak buruk secara dhahir dan hakikinya. Barang yang
harus ditutupi itu adalah qubul (dzakar atau vagina) dan dubur (anus)
sebagaimana dijelaskan di dalam kitab: Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarhi
al-Shaghir, Juz 1 bab Satru al-Aurat.
قَوْلُهُ: (وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ):
السَّتْرُ بِفَتْحِ السِّينِ لِأَنَّهُ مَصْدَرٌ ، وَأَمَّا بِالْكَسْرِ
فَهُوَ مَا يَسْتَتِرُ بِهِ . وَالْعَوْرَةُ: مِنْ الْعَوَرِ ، وَهُوَ
الْقُبْحُ لِقُبْحِ كَشْفِهَا لَا نَفْسِهَا ، حَتَّى قَالَ مُحْيِي
الدِّينِ بْنُ الْعَرَبِيِّ: الْأَمْرُ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ
لِتَشْرِيفِهَا وَتَكْرِيمِهَا لَا لِخِسَّتِهَا فَإِنَّهُمَا – يَعْنِي
الْقُبُلَيْنِ - مَنْشَأُ النَّوْعِ الْإِنْسَانِيِّ الْمُكَرَّمِ
الْمُفَضَّلِ. ا هـ
(Aurat Wanita)
Pendapat dari pengikut
madzhab Syafi’iyah, bahwa aurat wanita di luar shalat ketika bersama
orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya. Sebagaimana diterangkan
dalam kitab: Matan Safinah an-Najah, hal. 12.
وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَا نِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ.
Aurat orang perempuan ketika shalat
adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini
diterangkan dalam kitab Hasyiah Bujairami, Juz 4 hal. 74 dan Hasyiah
al-Jamal, Juz 4 halaman. 12-14.
(وَ) عَوْرَةُ (حُرَّةٍ غَيْرُ وَجْهٍ
وَكَفَّيْنِ) ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ
تَعَالَى:{وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} وَهُوَ
مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَإِنَّمَا لَمْ يَكُونَا عَوْرَةً ؛
لِأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إلَى إبْرَازِهِمَا.
Imam Muzani, telapak kaki orang
perempuan dalam shalat maupun di luar shalat adalah bukan termasuk
aurat. Diterangkan dalam kitab Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 257.
وَفِيْ قَوْلِهِ اَوْ وَجْهٌ أَنَّ بَاطِنَ قَدَمَيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَة وَقَالَ الْمُزَانِيْ لَيْسَ القَدَمَانِ عَوْرَةً
Dikatakan aurat orang
perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi
adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.
Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj juz 1 hal 411.
وَاَمَّا فِى الْخَلْوَةِ فَكاَلْمَحَارِمِ وَقِيْلَ كَالرَّجُلِ ( حاشية الجمل على شرح المنهاج ج 1 ص 411 )
Imam al-Zarkasyi berpendapat dalam kitab
Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, Juz 3 hal. 467. bahwa orang perempuan
ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup
menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.
قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ
الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنْ
الرَّجُلِ, وَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ مِنْ الْمَرْأَةِ
Dalam kitab Matan Sulam al-Safinah, hal
12-13: aurat orang perempuan adalah dari pusar sampai dengan lututnya
saja ketika bersama muhrimnya atau ketika bersama dengan sesama
wanitanya.
وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ
عِنْدَ اْلاَجَانِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ وَعِنْدَ مَحَارِمِهَا
واَلنـِّسَاءِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
(Aurat Budak atau Hamba Sahaya)
penganut madzhab Syafi’i
aurat budak ketika shalat adalah seperti auratnya wanita khurri (wanita
merdeka) yaitu seluruh tubuhnya kecuali kepala, wajah dan kedua telapak
tangannya, diterangkan dalam kitab: Hasyiah Qulyubi wa ‘Amirah, Juz 3
hal. 442. dan bisa dilihat dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 46.
وَالثَّانِي عَوْرَتُهَا (أي اْلأَمَةُ)
كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا، أَيْ عَوْرَتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ
وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ.
Menurut qoul yang lebih shahih seperti
yang telah diterangkan oleh Imam al-Baihaqi aurat budak ketika shalat
maupun di luar shalat adalah seperti auratnya orang laki-laki yaitu
antara pusar sampai dengan lutut.
Keterangan kitab Fathu al-Wahab, Juz 1 hal. 87 dan kitab Hasyiah Qulyubi Wa ‘Umairah, Juz 3 hal. 442.
(وَ) ثَالِثُهَا (سَتْرُ
الْعَوْرَةِ) صَلَّى فِي الْخَلْوَةِ أَوْ غَيْرِهَا، فَإِنْ تَرَكَهُ مَعَ
الْقُدْرَةِ لَمْ تَصِحَّ صَلاَ تُهُ (وَعَوْرَةُ الرَّجُلِ) حُرًّا كَانَ
أَوْ عَبْدًا (مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ) لِحَدِيثِ
الْبَيْهَقِيّ، وَإِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ أَمَتَهُ عَبْدَهُ أَوْ
أَجِيرَهُ فَلَا تَنْظُرُ إلَى عَوْرَتِهِ، وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ
السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، (وَكَذَا اْلأَمَةُ) عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ
السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ (فِي اْلأَصَحِّ) إلْحَاقًا لَهَا بِالرَّجُلِ.
(Aurat Karyawati (Wanita Karier)
Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali kepala.
وَفِيْهِ وَجْهٌ اَنَّ جَمِيْعَ ذٰلِكَ عَوْرَةٌ كَمَا فِيْ حَقِّ الْحُرَّةِ سِوَى الرَّأْسِ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )
Aurat karyawati adalah
seluruh badan, kecuali anggota badan yang tampak dan terbuka ketika
bekerja, seperti kepala, leher, lengan tangan dan ujung betis. Karena
anggota tersebut butuh untuk dibuka dan sulit untuk menutupnya.
(وَالثَّانِيَّةُ) مَا يَبْدُو
وَيَنْكَشِفُ فِِِي حَالِ الْمِهْنَةِ فَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ مِنْهَا وَهُوَ
الرَّاْسُ وَالرَّقَبَةُ وَالسَّاعِدُ وَطَرْفُ السَّاقِ لِاَنَّهَا
تَحْتَاجُ اِلَي كَشْفِهِ وَيَعْسُرُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ ( الشرح الكبير
للرافعى ج 4 )
ثَالِثَتُهَا جَمِيْعُ الْبَدَنِ إِلاَّ
مَا يَظْهَرُ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ
الْكَافِرَاتِ (نهاية الزين ص 47 )
Aurat Khuntsa (orang yang mempunyai dua jenis kelamin)
Aurat khuntsa adalah semua badannya sebagaimana wanita merdeka. (Hasyiyah Qulyubi bab Suruti al-Shalat juz 1)
عَوْرَةُ الْخُنْثَى الرَّقِيْقِ لاَ
تَخْتَلِفُ , وَالْخُنْثَى الْحُرِّ كَاْلأُنْثَى الْحُرَّةِ , اِبْتِدَاءً
وَكَذَا دَوَامًا , عِنْدَ شَيْخِنَا الرَّمْلِيُّ وَخَالَفَهُ
الْخَطِيْبُ (حاشية قليوبى باب شروط الصلاة ج 1
Aurat khuntsa adalah
semua anggota badannya, kecuali wajah, kedua telapak tangan dan
kepalanya. Diterangkan dalam kitab Khawasyi al-Syarwani, Juz 2 hal 120.
وَ الْخُنْثَى (فِي
اْلأَصَحِّ) عَوْرَتُهَا كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا ، أَيْ عَوْرَتُهَا
مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ (حاشية الشروانى )
Pornografi
Pornografi adalah bentuk gambar atau
patung yang menampilkan keindahan bagian tubuh yang dapat menimbulkan
syahwat bagi orang lain, baik yang terdapat pada media cetak,
elektronik, maupun pada perilaku seseorang, terutama yang bersumber dari
kaum wanita. Dan sangat disayangkan pada saat ini di berbagai daerah di
Indonesia makin banyak aksi-aksi porno, baik penayangan dari media
cetak, media elektronik maupun langsung.
Dari fenomena tersebut kemudian memunculkan RUU APP. Dan kemudian Pro dan kontra terhadap RUU itupun semakin ramai dan menguat.
Bagaimanakah hukum melihat pornografi?
1 Haram melihat, apabila sampai menimbulkan syahwat dan fitnah.
وَمِنْ مَعَاصِى الْعَيْنِ اَلنَّظْرُ
بِهَا مِنَ الذَّكَرِ اِلَى شَيْئٍ مِنْ جَمِيْعِ بَدَنِ أَحَدٍ مِنَ
النِّسَاءِ اْلاَجْنَبِيَّاتِ مَعَ الْقَصْدِ. (تَنْبِيْهٌ) عَدَّ فِى
الزَّوَاجِرِ نَظْرُ اْلأَجْنَبِيَّةِ بِشَهْوَةٍ وَخَوْفِ فِتْنَةٍ
وَلَمْسُهَا كَذٰلِكَ . (اسعاد الرفيق ص 67)
2 Boleh, asal tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 20 - 21)
فَلَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ
فِي نَحْوِ مِرْآةٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ وَيُؤَيِّدُهُ
قَوْلُهُمْ لَوْ عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِرُؤْيَتِهَا لَمْ يَحْنَثْ
بِرُؤْيَةِ خَيَالِهَا فِي نَحْوِ مِرْآةٍ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَهَا
وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلَا
شَهْوَةً وَلَيْسَ مِنْهَا الصَّوْتُ فَلَا يَحْرُمُ سَمَاعُهُ إلَّا إنْ
خَشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ وَكَذَا إنْ الْتَذَّ بِهِ كَمَا بَحَثَهُ
الزَّرْكَشِيُّ. (تحفة المحتاج , ج 9 ص 20 - 21)
3 Terlepas dari pro-kontra di atas, para
ulama’ sepakat melarang untuk mengeksploitasi keindahan tubuh di depan
public terutama bagi kaum hawa, hal itu menunjukkan bahwa agama
sebenarnya lebih menjunjung tinggi kehormatan manusia.
(Hukum Pergaulan Bebas)ANAK MUDA MAUPUN TUA
Pada zaman sekarang
memang lebih marak dengan yang namanya pergaulan bebas, sehingga
seakan-akan Negara kita punya nilai kebebasan tanpa adanya moral, bahkan
masyarakat Indonesia yang biasa dikenal kental dengan adat
ketimurannya, sedikit demi sedikit mulai luntur, karena semakin hebatnya
pengaruh, transformasi budaya luar.
Pada suatu forum, misalnya acara ulang
tahun atau pesta-pesta yang lain sering terlihat dalam acara tersebut
banyak bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, yang notabene adalah
remaja. Sehingga para santri merasa sangat tabu akan hal itu.
Bagaimanakah hukum menghadiri suatu acara atau pesta yang demikian itu?
Hukum berbaurnya laki-laki dan perempuan:
1 Haram dan berdosa apabila menghadiri acara tersebut jika nantinya dapat menimbulkan fitnah. Keterangan kitab Is’adul Rafiq:
مِنْ أَقْبَحِ الْمُحَرَّمَاتِ, وَأَشَدِّ
اْلمَحْظُوْرَاتِ إِخْتِلاَطُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فىِ الْجُمُوْعَاتِ
لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمَفَاسِدِ وَاْلفِتَنِ
اْلقَبِيْحَةِ (اسعاد الرفيق ص 67
Sebagian perkara yang
sangat diharamkan dan dikhawartirkan adalah bercampurnya laki-laki dan
perempuan dalam tempat perkumpulan yang dapat menimbulkan fitnah. (Is’ad
al-Rafiq hal. 67)
2 Makruh, bilamana menilai kehadirannya dalam acara tersebut timbul rasa khawatir atau takut terkena fitnah/berdampak negatif.
قاَلَ فى الزَّوَاجِرْ: وَهُوَ مِنَ
الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هٰذِهِ اْلأَحَادِيْثِ, وَيَنْبَغِى حَمْلُهُ
لِيُوَافِقَ قَوَاعدُنَا عَلىَ مَا إِذَا تَحَقَّقَتْ الفِتْنَةُ: أَمَّا
مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ, وَمَعَ ظَنِّهَا
حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.(اسعاد الرفيق ص:136)
3 Boleh menghadiri acara tersebut jika
tidak menimbulkan fitnah dan tentunya berdampak positif atau memberikan
hal yang lebih baik.
Berbaurnya laki-laki dan perempuan tidak
dipermasalahkan jika tidak melanggar aturan agama dan norma-norma yang
berlaku, sehingga pergaulan mereka memang merupakan hal yang wajar.
Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’adur Rofiq hal :136.
(Hukum Onani atau Masturbasi)
Onani adalah merangsang kemaluan sendiri untuk mencapai orgasme (bagi laki-laki) dan bagi perempuan disebut masturbasi.
Bagaimanakah hukum dari masturbasi atau onani?
1 Haram, menurut Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Abu Hanifah
2 Boleh, menurut Imam Ahmad bin Hambal tetapi dengan tiga syarat:
1 Khawatir akan melakukan perzina’an
2 Tidak mampu menikah (tidak punya mahar untuk menikahi wanita)
3 Dengan menggunakan tangannya sendiri, tidak menggunakan tangan orang lain.
Hal ini dijelaskan dalam kitab as-Showi ‘ala Syarhi Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 112.
قَوْلُهُ كَاْلاِسْتِمْناَءِ بِالْيَدِّ
أَيْ فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيْ وَأَبِيْ حَنِيْفَةَ
فَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلْ يَجُوْزُ بِشُرُوْطِ ثَلاَثَةِ أَنْ
يَخَافَ الزِّناَ وَأَنْ لاَ يَجِدَ مَهْرَ حُرَّةٍ أَوْ ثَمَنَ أَمَّةٍ
وَأَنْ يَفْعَلَهُ بِيَدِهِ لاَ بِيَدِ أَجْنَِبيِّ أَوْ اَجْنَبِيَّةِ .
الصاوي على شرح تفسير الجلالين جز 3 ص 112
(Hukum Menyemir Rambut)
Semir rambut adalah zat
kimia yang dapat merubah warna rambut dari warna aslinya. Bagaimanakah
hukum menggunakan semir rambut tersebut untuk menyemir rambut?
(Hukum menyemir rambut dengan warna hitam)
1 Tidak boleh menyemir
rambut dengan warna hitam, baik laki-laki maupun perempuan, karena hal
tersebut ada unsur merubah ciptaan Allah Swt. (Is’ad al-Rofiq, juz II,
hal.119)
مِنْهاَ التَّخْضِيْبُ
لِلشَّعْرِ باِلسَّوَادِ وَلَوْلِاْمرَأَةٍ كَماَ قاَلَهُ ابْنُ حَجَرٍ فِى
الْمِنْهَجِ الْقَوِيْمِ اِلَى اَنْ قاَلَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ
اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْوَلِىْ خَضْبُ شَعْرِ الصَّبِىِّ وَالصَّبِيَّةِ
اِذَا كاَنَ اَصَبَّ بِالسَّوَادِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ
الْخِلْقَةِ وَفِىْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا
لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اِسْتِحْباَبُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصُفْرَةٍ اَوْ
حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ
2 Makruh Tanzih, sama halnya dengan
tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah Swt. Karena itu
lebih baik diterima apa adanya dari pada merubah warna asli rambut yang
diberikan Allah kepada kita. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)
وَقِيْلَ يُكْرَهُ
كَرَاهَةَ تَنْزِيْهاً وَالْمُخْتاَرُ التَّحْرِيْمُ لِقَوْلِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِجْتَنِبُوْا باِلسَّوَادِ
3 Boleh menyemir rambut dengan warna hitam, bagi istri yang mendapat izin dari suaminya. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)
قَالَ الشِّهَابُ
الرَّمْلِيُّ فِيْ شَرْحِ نَظْمِ الزُّبَدِ نَعَمْ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ
ذَلِكَ بِإِذْنِ زَوْجِهَا اَوْ سَيِّدِهَا لِأَنَّ لَهُ غَرَضًا فِيْ
تَزْيِيْنِهَا
Hukum menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna kuning atau merah (selain hitam)
Sunnah menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna merah atau kuning. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 119)
وَفِىْ شَرْحِ
الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ
اِسْتِحْبَابُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصَفْرَةٍ اَوْ حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ
خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ (إسعاد الرفيق ج 2 ص 119)
Dalam Syarah Muslim,
Imam Nawawi mengatakan ”Sunnah bagi laki–laki dan perempuan menyemir
rambut dengan warna kuning atau merah dan haram menyemir rambut dengan
warna hitam menurut pendapat yang lebih shahih.” (Is’ad al-Rofiq, juz
II, hal. 119)
يُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ إِلَخْ
...وَخَضْبُ شَيْبِ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بِحَمْرَةٍ اَوْ اَصْفَرٍ اَىْ
لاَبِسَوَادٍ اَمَّا بِهِ فَيَحْرُمُ (إعانة الطالبين ج 2 ص 339
)Disunnahkan menyemir uban rambut kepala dengan warna merah atau kuning
yakni tidak dengan warna hitam karena hal tersebut hukumnya haram.
(I’anah al-Tholibin, juz II, hal.339)
(Hukum Pria Memakai Perhiasan Emas)
Wanita akan tampak
kelihatan anggun dan cantik apabila memakai perhiasan (emas) yang tidak
berlebihan, akan tetapi lain halnya apabila pria yang memakainya.
Bagaimanakah hukum pria memakai perhiasan emas?
Dalam hal ini ada beberapa pandangan di kalangan ulama’
1 Haram bagi pria memakai emas murni maupun campuran
وَكَذَا يَحْرُمُ عَلَى
الرِّجاَلِ وَمِثْلُهُمْ اَلْخُنَاثَى (اَلتَّخْتِمُ بِالذَّهَبِ) لِخَبَرِ
أَبِيْ دَاوُدَ باِسْناَدٍ صَحِيْحٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَخَذَ فِيْ يَمِيْنِهِ قَطْعَةَ حَرِيْرٍ وَفِيْ شِمَالِهِ
قَطْعَةَ ذَهَبٍ. وَقَالَ هَذَانِ أَيْ اِسْتِعْمَالُهُمَا حَرَامٌ عَلَى
ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ حَلَّ لِأُناَثِهِمْ, وَأُلْحِقَ باِلذُّكُوْرِ
اَلْخُناَثَى اِحْتِيَاطًا. وَاحْتَرَزَ بِالتَّخْتِمِ عَنْ اِتْخَاذُ
أَنْفٍ أَوْ أَنْمِلَةٍ أَوْ سِنٍّ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرَمُ اِتْخَاذُهاَ
مِنْ ذَهَبٍ عَلَى مَقْطُوْعِهَا وَإِنْ أَمْكَنَ اِتْخَاذُهَا مِنَ
الْفِضَّةِ .(الاقناع فى حال الفاظ ابى شجاع ص 172)
Begitu juga bagi
laki-laki, diharamkan memakai cincin dari emas sedangkan bagi khuntsa
hukumnya disamakan dengan laki-laki karena adanya sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih; Bahwa Rasulullah Saw.
mengambil sepotong sutra pada tangan kanannya dan sepotong emas pada
tangan kirinya. Beliau bersabda; sutra dan emas ini, keduanya haram
dipakai kaum laki-laki dari umatku. Para khuntsa disamakan dengan
laki-laki, karena berhati-hati, dikecualikan dari haramnya memakai
cincin yaitu untuk membuat hidung, ujung jari atau gigi palsu dari bahan
emas. Demikian itu diperbolehkan bagi orang yang organ-organnya
tersebut terpotong, meskipun masih memungkinkan membuatnya dari bahan
perak. (al-Iqna’ Fii Haali al-Fadzi Abi Syuja’, hal.172)
ذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ
اِلَى حَرَمَةِ التَّخَتُّمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ دُوْنَ النِّسَاءِ.
(فقه السنة جز 3 ص 258)
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwasannya haram bagi laki-laki memakai cincin dari emas, bukan untuk orang perempuan.
(Fiqih as-sunnah, juz III, hal. 258)
2 Makruh bagi pria memakai perhiasan
baik dari emas murni maupun campuran. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab
Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.364
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ
الْعُلَمَاءِ اِلَى كَرَاهَةِ التَّخْتِمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ
كَراَهَةَ تَنْزِيْهٍ وَلَقَدْ لَبِسَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ
مِنْهُمْ سَعْدُ ابْنُ اَبِيْ وَقَاصٍ وَطَلْحَةُ بْنِ عَبْدِ اللهِ
وَصُهَيْبٌ وَحُذَيْفَةُ وَجَابِرُ بْنُ سَمْرَةَ وَالْبَرَّاءُ بْنُ
عاَزِبٍ وَلَعَلَّهُمْ حَسَبُوْا اَنَّ النَّهِيَّ لِلتَّنْـزِيْهِ (فقه
السنة جز 3 ص259)
Ada sebagian ulama’ yang memakruhkan
laki-laki memakai perhiasan emas, karena ada sebagian sahabat yang
memakainya, diantaranya adalah Said bin Abi Waqhas dan Talhah bin
Abdullah, Suhaib, Hudzaifah, Jabir bin Samroh, Barra’ bin ‘Azib, mereka
mengira bahwa larangan itu adalah makruh tanzih. (Fiqih al-Sunnah, juz
III, hal.259
(Hukum Tindik bagi Laki-Laki)
Sering terlihat di
sebagian kalangan dan kadang menjadi tradisi atau trend menindik
(melubangi) hidung atau telinga guna memasang anting atau sejenisnya
baik laki-laki maupun perempuan.
Bagaimanakah pandangan fiqih apabila orang laki-laki menindik hidung atau telinga
1 Haram mutlak bagi anak atau orang laki-laki menindik/melubangi hidung atau telinganya, menurut Ulama’ Syafi’iyah
(وَحَرَمٌ تَثْقِيْبُ) أَنْفٍ مُطْلَقًا
(وَأُذُنِ) صَبِيٍّ قَطْعًا وَصَبِيَّةٍ عَلَى اْلاَوْجُهِ لِتَعْلِيْقِ
الْحَلْقِ كَمَا صَرَحَ بِهِ الْغَزَالِى وَغَيْرُهُ ِلأَنَّهُ إِيْلاَمٌ
لَمْ تَدْعُو إِلَيْهِ حَاجَةٌ
Haram mutlak menindik
(melubangi) hidung, para ulama’ sepakat atas keharaman menindik telinga
anak laki-laki yang masih kecil guna memasang anting, sedangkan pada
anak perempuan yang masih kecil menurut qoul aujah juga haram sebab hal
itu menyakiti sebelum ada keperluan. I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 –
178.
2 Makruh bagi anak laki-laki yang masih balita, menurut sebagian Ulama’ Hambaliyah.
وَفِي الرِّعَايَةِ لِلْحَنَابِلَةِ يَجُوْزُ فِي الصَّبِيَّةِ لِغَرْضِ الزِّيْنَةِ. وَيُكْرَهُ فِي الصَّبِيِّ . إهـ
Dalam kitab ri’ayah
karangan pengikut madzhab Hambali menyatakan boleh menindik anak
perempuan yang masih kecil, sebab bertujuan sebagai perhiasan, sedangkan
pada anak laki-laki yang masih kecil hukumnya makruh.
3 Boleh, menurut Imam Zarkasyi, melubangi telinga laki-laki yang masih balita.
وَجَوَّزُهُ الزَّرْكَشِىُّ وَاسْتَدَلَّ
بِمَا فِي حَدِيْثِ أُمِّ زَرْعٍ فِي الصَّحِيْحِ ، وَفِي فَتَاوِى
قَاضِيْخَان مِنَ الْحَـنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَبَأْسَ بِهِ ِلأَنَّهُمْ
كَانُوْا يَفْعَلُوْنَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَنْكِرُ عَلَيْهِمْ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،
Imam Zarkasyi
memperlobehkannya berdasarkan hadits Ummi Zarin di dalam hadits Shahih.
Fatwa-fatwa Syech Qodikhon pengikut Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa
tidak mengapa melakukan hal itu sebab pernah dilakukan pada zaman
jahiliyah, sedangkan Nabi Saw. tidak mengingkarinya
Menindik telinga bagi perempuan
kebanyakan ulama’ tidak melarang karena hal itu ada hak baginya untuk
memperindah dan menghiasi dirinya. Asalkan saat menindik tidak
menimbulkan dampak negatif.
وَالتَّعْذِيْبُ فِي مِثْلِ هَذِهِ
الزِّيْنَةِ الدَّاعِيَةِ لِرَغْبَةِ اْلأَزْوَاجِ إِلَيْهِنَّ سَهِلَ
مُحْتَمِلٌ وَمُغْتَفِرٌ لِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ . فَتَأَمَّلَ ذَلِكَ
فَإِنَّهُ مُهِمٌّ .
(إعانة الطالبين الجزء الرابع ص: 175 – 178)
Sedangkan menyakiti demi
untuk perhiasan yang dapat menimbulkan rasa cinta suami pada istrinya
itu sangat ringan dan tidak masalah sebab ada unsur kemaslahatan.
Keterangan tersebut di atas terdapat pada kitab I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 – 178.
(Hukum Tato)
Di kalangan remaja
sering kita jumpai banyak para remaja yang bertato, menurut mereka tato
merupakan style atau mode, bahkan bagi sebagian dari mereka merasa ada
suatu kebanggaan tersendiri kalau bisa mentato tubuhnya, bahkan ada yang
hampir seluruh tubuhnya terlukis tato.
Tato adalah zat yang dapat dituangkan
pada tubuh dengan bentuk gambar atau yang lain melalui berbagai cara
sehingga tato tersebut terkadang berada di kulit lapisan luar atau kulit
lapisan dalam, dan bisa menyebabkan tidak meresapnya air pada kulit
baik ketika mandi besar ataupun wudlu’. Bagaimanakah hukum orang yang
tubuhnya di tato? Dan sahkah wudlu’nya?
Ulama’ berpendapat: Hukum mentato tubuh
adalah Haram, karena perbuatan itu dilaknat Allah Swt dan Nabi pun
melaknatnya juga. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rafiq hal.
122
وَمِنْهاَ الْوَشْمُ وَطَلَبُ عَمَلِهِ
قاَلَ الْكُرْدِىُّ وَهُوَ أَىْ الْوَشْمُ غََرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبْرَةِ
حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ عَلَيْهِ وَيَحْشَى بِهِ
الْمَحَلُّ مِنْ نَيْلَةٍ اَوْ نَحْوِهاَ لِيَزْرُقَ اَوْ يَسْوَدَّ
لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ فاَعِلَ ذلِكَ (اسعاد
الرفيق ص 122)
Mengenai tentang sah dan tidaknya wudlu’ atau mandi besar orang yang tubuhnya bertato para ulama’ berbeda berpendapat:
1 Tidak sah wudlu’ atau mandi besarnya
tubuh yang bertato, apabila tato tersebut berada di lapisan luar kulit,
karena bisa mencegah sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman
5.
Apabila di bawah kulit maka sah, karena tidak menghalangi sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.
وَ(رَابِعُهَا) أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَى
الْعُضْوِ حَائِلٌ بَيْنَ الْمَاءِ وَالْمَغْسُوْلِ كَنُوْرَةٍ وَشَمْعٍ
وَدُهْنٍ جَامِدٍ وَعَيْنِ حَبْرٍ وَحَنَاءٍ بِخِلاَفِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ
مَائِعٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ الْمَاءُ عَلَيْهِ وَأَثْرُ حَبْرٍ
وَحَنَاءٌ. (فتح المعين، ص 5).
Apabila tato itu
dilakukan atas dasar persetujuan orang yang ditato, dia tidak khawatir
akan terjadi bahaya ketika menghilangkannya, dan apabila tato tersebut
tidak dihilangkan, maka dia tidak bisa menghilangkan hadatsnya, karena
tatonya bercampur najis. Otomatis kalau dia ingin bersuci harus
menghilangkan tatonya terlebih dahulu.
Akan tetapi apabila dia khawatir dengan
bahaya apabila menghilangkannya, maka dima’fu/dimaafkan untuk membiarkan
tatonya tersebut, dan bersucinya tetap sah dan orang tersebut tetap sah
menjadi imam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj,
juz I, hal. 178
وَكَذَا الْوَشْمُ وَهُوَ غَرْزُ
الْجِلْدِ بِالْإِبرة حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ نَحْوَ
نِيْلَةٍ لَيَزْرُقَ بِهِ أَوْ يَخْضُرَ فَفِيْهِ تَفْصِيْلُ الْجَبْرِ
خِلَافًا لِمَنْ قَالَ إِنَّ بَابَهُ أَوْسَعُ فَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ
مَنْ فَعَلَ الْوَشْمَ بِرِضَاهُ فِي حَالَةِ تَكْلِيْفِهِ وَلَمْ يَخَفْ
مِنْ إِزَالَتِهِ ضَرَرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ مُنِعَ ارْتِفَاعُ
الْحَدَثِ عَنْ مَحَلِّهِ ِلَتَنَجُّسِهِ وَإِلَّا عُذِرَ فِي بَقَاِئهِ
وَعُفِيَ عَنْهُ بِالنِّسْبَةِ لَهُ وَلِغَيْرِهِ وَصَحَّتْ طَهَارَتُهُ
وَإِمَامَتُهُ وَحَيْثُ لَمْ يُعْذَرْ فِيْهِ وَلَا فِي مَاءٍ قَلِيْلًا
أَوْ مَاِئعًا أَوْ رَطْبًا نَجْسُهُ كَذَا أَفْتَى بِهِ اْلَواِلُد
رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَإِلَّا أَيْ بِأَنْ وَصَلَهُ بِهِ مَعَ وُجُوْدٍ
صَالِحٍ طَاِهرٍ أَوْ مَعَ عَدَمِ الْحَاجَةِ أَصْلًا حَرُمَ عَلَيْهِ
لِلتَّعَدِّيْ وَ وَجَبَ عَلَيْهِ نَزْعُهُ وَيجْبر عَلَى ذَلِكَ ِإنْ لَمْ
يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ وَإِنْ اكْتَسَى لَحْمًا
كَمَا لَوْ حَمَلَ نَجَاسَةً تَعَدَّى بِحَمْلِهَا مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْ
ِإزَالَتِهَا وَكَوَصْلِ الْمَرْأَةِ شَعْرَهَا بِشَعْرٍ نَجِسٍ فَإِنْ
امْتَنَعَ لَزِمَ الْحَاكِم نَزْعَهُ لِدُخُوْلِ النِّيَابَةِ فِيْهِ
كَرَدِّ الْمَغْصُوْبِ وَلَا اعْتِبَارَ بِأَلَمِهِ حَالًا إِنْ أَمِنَ
مَآلًا وَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ حِيْنَئِذٍ
(Hukum Wanita Memakai Celana Ketat)
Cara berbusana adalah
berbeda-beda, sesuai dengan budaya dari setiap daerah tertentu, misalnya
cara berbusana di Indonesia juga berbeda-beda, yang jawa memakai
pakaian adat Jawa, yang dari batak memakai busana adat Batak, dan
lain-lain. Kalau jubah adalah budaya busana dari bangsa arab. Intinya
setiap daerah pasti memiliki khas atau budaya sendiri-sendiri.
Namun di masa moderen seperti saat ini,
terdapat banyak perkembangan mode atau style dalam berpenampilan pada
masyarakat, khususnya bagi kaum hawa banyak sekali perkembangan dalam
model atau cara berbusana, seperti halnya memakai celana, disamping
berfungsi sebagai penutup aurat juga sebagai sarana untuk mempercantik
diri dan memperindah penampilan. Tidak sedikit dari para wanita yang
menggunakan celana ketat, sehingga sampai terlihat lekukan-lekukan
tubuhnya.
Dari fenomena di atas, bagaimanakah pandangan fiqih tentang hukum wanita yang berbusana dengan memakai celana ketat?
Dalam hal ini, para ulama’ berbeda pandangan
1 Tidak diperbolehkan bagi wanita
memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya
apalagi sampai kelihatan warna kulitnya.
2 Makruh bagi wanita memakai celana ketat.
وَيَكْفِى مَا يُحْكَي لِحَجْمِ
الْاَعْضَاءِ (اَيْ وَ يَكْفِيْ جِرْمٌ يَدْرِكُ النَّاسُ مِنْهُ قَدْرَ
الْاَعْضَاءِ كَسَرَاوِيْلَ ضَيْقَةٍ) لَكِنَّهُ خِلَافُ الْاَوْلَى (اَيْ
لِلرَّجُلِ وَاَمَّالْمَرأَةُ وَالْخُنْثَي فَيُكْرَهُ لَهُمَا) ( حاشية
إعا نة الطا لبين ج 1 ص 134 )
وَشَرْطُ السَّاتِرِ فِى الصَّلاَةِ
وَخاَرِجِهاَ اَنْ يَشْمِلَ الْمَسْتُوْرُ لَبِساً وَنَحْوَهُ مَعَ سَتْرِ
اللَّوْنِ فَيَكْفِى مَا يَمْنَعُ اِدْرَاكَ لَوْنِ الْبَشَرَةِ
(Mauhibah Dzil Fadlal, juz II, hal. 326-327 dan al-Minhaj al-Qawim juz 1 hal 234).
(Hukum Wanita Kerja pada Malam Hari)
Di era globalisasi saat
ini, jumlah tenaga kerja wanita bertambah besar bahkan hampir
mendominasi lapangan pekerjaan dalam bidang industri. Di perusahaan
besar pekerjaan berjalan full time/24 jam atau sehari penuh, dan dalam
24 jam tersebut biasanya dibagi menjadi 3 sift (giliran), berarti setiap
delapan jam ganti sift. Ketika seorang pekerja wanita mendapat giliran
jam kerja pada waktu malam hari, dikhawatirkan terjadi kerawanan dan
tidak menuntut kemungkinan bisa membahayakan kemanan dari pekerja wanita
tersebut. Kalau dipandang dari agama bagaimanakah hukum seorang wanita
bekerja pada malam hari di luar rumah
Dalam hal ini para ulama’ mempunyai pandangan yang berbeda-beda:
1 Apabila diduga kuat bisa menimbulkan fitnah maka hukumnya adalah haram.
2 Makruh, apabila hanya sekedar ada kekhawatiran akan terjadinya fitnah.
Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rofiq:
قاَلَ فِى الزَّوَاجِرِ وَهُوَمِنَ
الْكَباَئِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ
لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِناَ عَلَى مَا اِذَا تَحَقَّقَتْ اَلْفِتْنَةُ.
أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهاَ فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا
حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ (اسعاد الرفيق ج 2 ص 136)
Dalam kitab Al-Zawajir
disebutkan bahwa sesuai dengan redaksi hadits di atas, maka (keluarnya
wanita dari rumah) adalah termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini
sesuai dengan kaidah-kaidah kita, maka harus dipahami dalam keadaan jika
memang benar-benar akan terjadi fitnah. Adapun jika hanya sekedar ada
kekhawatiran terjadinya fitnah, maka hukumnya makruh. Sedangkan jika
disertai dengan dugaan kuat adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun
bukan dosa besar.
(Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 136)
3 Boleh, bagi wanita bekerja di malam
hari karena untuk mencari nafkah, asalkan aman dari fitnah dan mendapat
ijin dari suaminya atau wali (bagi yang masih belum punya suami). Hal
ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
وَمِنْهاَ (اَيْ مِنَ الْمَوَاضِعِ
الَّتِيْ يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ ِلأَجْلِهَا) اِذَا خَرَجَتْ لِاكْتِسَابِ
نَفَقَةٍ بِتِجَارَةٍ أََوْ سُؤَالِ أَيْ سُؤَالِ نَفَقَةٍ أَيْ طَلَبِهاَ
عَلَى وَجْهِ الصَّدَقَةِ أَوْكَسْبٍ اِذَا عَسَرَالزَّوْجُ (اعانة
الطالبين ج 4 ص 81
Dan diantara hal-hal
yang memperbolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah jika keluarnya
itu untuk mencari nafkah, dengan berdagang, meminta sedekah atau mencari
pekerjaan ketika suami sedang dalam kesulitan uang (ada udzur)
(I’anah al-Thalibin, juz IV, hal. 81)
(Hukum Mengeraskan Bacaan Al-Qur’an bagi Wanita di Hadapan Khalayak Umum)
Setiap tahun di Pondok
Pesantren Ngalah, ketika merayakan acara Haflah Akhirussanah diadakan
lomba Qiro’ah dan pidato yang diikuti oleh santri putra dan putri. Bagi
santri putra sudah tidak ada keraguan lagi dalam hukum fiqih mengenai
hukum suaranya. Namun bagi santri putri ini bagaimanakah hukum mengikuti
lomba tersebut, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan suara
perempuan itu termasuk aurot, sedangkan lomba tersebut memakai pengeras
suara (sounds system), bertempat di atas panggung dan disaksikan oleh
seluruh santri dan masyarakat sekitar.
Dari keterangan tersebut di atas,
bagaimanakah hukum seseorang Perempuan/wanita mengeraskan suaranya
ketika membaca al-Qur’an (Qiro’ah) atau berpidato dengan menggunakan
alat pengeras suara di hadapan khalayak umum?
1 Haram, apabila menimbulkan fitnah atau menimbulkan rasa ladzat atau syahwat.
2 Boleh, apabila tidak
menimbulkan fitnah atau tidak menimbulkan rasa ladzat atau syahwat,
karena suara orang perempuan bukan termasuk aurat menurut pendapat yang
lebih shahih.
Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 3. halaman 260.
وَلَيْسَ مِنَ العَوْرَةِ الصَوْتُ فَلاَ
يَحْرُمُ سِمَاعُهُ اِلاَّ اَنْ خُشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ أَوِ التَّلَذُّذُ
بِهِ أَىْ فَاِِنَّهُ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ أَىْ وَلَوْ بِنَحْوِ قُرْأَنٍ.
وَمِنَ الصَّوْتِ اَلزَّغاَرِيْدُ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )
suara perempuan tidak
termasuk aurat, maka tidak haram mendengarkannya, kecuali jika
dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau laki-laki menikmati suaranya,
maksudnya haram bagi laki-laki untuk mendengarkannya, walaupun yang
dibaca itu al-Qur’an. Dengungan nada tanpa kata-kata (rengeng-rengeng)
juga termasuk suara
وَفِي الْبُجَيْرَمِىِّ وَصَوْتـُهَا
لَيْسَ بِعَوْرَاةٍ عَلىَ اْلاَصَحِّ لَكِنْ يَحْرُمُ اْلاِصْغاَءُ
اِلَيْهِ عِنْدَ خَوْفِ اْلفِتْنَةِ وَاِذَا قَرَعَ باَبَ اْمرَأَةٍ أَحَدٌ
فَلاَ تُجِيْـبُهُ بِصَوْتٍ رَخِيْمٍ بَلْ تُغَلِّظُ صَوْتَهَا بِاَنْ
تَأْخُذَ طَرَفَ كََفِّهَا بِفِيْهَا . اهـ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )
suara perempuan bukanlah
aurat menurut pendapat yang lebih shahih, tetapi haram mendengarkannya
ketika akan menimbulkan fitnah. Apabila seorang laki-laki mengetuk pintu
rumah perempuan, maka perempuan tersebut tidak boleh menjawabnya dengan
suara yang lembut, melainkan ia harus menjelekkan suarannya dengan cara
menutupkan ujung telapak tangannya pada mulutnya.
(Hukum Jual Beli Kucing)
Bagaimanakah hukum dari
jual beli kucing, karena sekarang ini semakin marak masyarakat yang
melakukan transaksi perdagangan hewan kucing, bahkan banyak pasar yang
khusus menjual macam-macam kucing?
Diperbolehkan menjual hewan yang bisa
diambil manfaatya, seperti digunakan untuk berburu, diambil kulitnya
atau madunya, disamping hewan tersebut ada dan dapat disaksikan oleh
pembeli yakni hadir pada tempatnya juga harus memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut:
Hewan yang dijual dalam keadaan suci.
diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
Dapat diserahkan pada pihak pembeli.
Hal ini diterangkan dalam kitab:
Ihya’ Ulummu ad-din juz 2 halaman 67 penerbit hidayah dan hal 62 terbitan Darul Kutub Beirut
وَيَجُوْزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالنَّحِلِ وَبَيْعُ اْلفَهْدِ وَاْلأَسَدِ وَمَايَصْلُحُ لِصَيِّدِ اَوْيَنْتَفِعُ بِـجِلْدِهِ
Diperbolehkan menjual kucing, lebah, harimau dan hewan yang dapat digunakan untuk berburu atau diambil kemanfaatannya.
Raudhah at-Thalibin halaman 505
وَمِمَّا يَنْتـَفِعُ
بِهِ اَلْقِرْدُ وَاْلفِيْلُ وَاْلهِرَّةُ وَدُوْدُ اْلقُزِّ وَبَيْعُ
النَّحِلِ فِي اْلكَوَارَةِ صَحِيْحٌ إِنْ شَاهِدَ جَمِيْعُهُ وَإِلاَّ
فَهُوَ مِنْ بَيْعِ اْلغَائِبِ .
Diantara hewan yang
dapat diambil manfaatnya antara lain, kera, kucing, ulat sutra, dan
menjual lebah yang masih dalam sarangnya hukumnya shahih apabila dapat
di lihat semuanya (barang yang dijual dapat disaksikan), apabila tidak
maka termasuk kategori jual beli barang ghaib.
(HUKUM HIBURAN DAN PERMAINAN)
(Nyanyian, Orkesan, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll)
Pengertian Hiburan dan Permainan
Macam-macam hiburan
dalam istilah agama Islam menurut Syekh Ahmad bin Muhammad al-Shawy
diistilahkan dengan ”Lahwun” dan untuk macam-macam seni musik seperti
orkes dan lain sebagainya diistilahkan dengan istilah ”Laghwun” yang
keduanya memiliki pengertian: segala hal yang dapat menyibukkan
seseorang sehingga dapat melupakan kepentingan dirinya sendiri.
Adapun permainan dikategorikan dengan
istilah ”La’bun” yaitu: segala hal yang dapat menyibukkan seseorang
tanpa ada manfaatnya sama sekali terhadap keadaan diri ataupun hartanya.
Hal ini diterangkan di dalam kitab Tafsir al-Shawy juz 04 hal. 119:
إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ
وَلَهْوٌ وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلا
يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ (36)
Sesungguhnya kehidupan
dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan
bertakwa, Allah Swt. akan memberikan pahala kepadamu dan dia tidak akan
meminta harta-hartamu. (Q.S. Muhammad ayat 36)
اَللَّعْبُ مَـايُشْغِلُ اْلاِنْسَـانَ
وَلَيْـسَ فِيْـهِ مَنْفَعَةٌ فِيْ الْحَـاِل وَاْلماَلِ وَاللَّـغْوُ مَـا
يُشْغِلُ اْلاِ نْسَـانَ عَنْ مُهِمَّـاتِ نَفْسِـهِ (اَلصَّـاوِيْ عَلَى
الْجَلاَ لَيْـنِ فِىْ تَفْسِيْـرِ قَوْلِـهِ تَعـَالىَ انَِّـمَا
الْحَيـَاةُ الدُّنْيـَا لَعِبٌ وَلَـهْوٌ)
Hukum Hiburan dan PermainaN
1 Haram
Di dalam kitab Ihya’
Ulumi al-Diin diterangkan ada golongan yang mengharamkan nyanyian,
mereka menggunakan dalil riwayat dari Ibnu Mas’ud al-Hasan al-Bishri dan
al-Nakha’i, dengan landasan al-Qur’an Surat Luqman ayat 6. yang
berbunyi:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا
هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ (6)
Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Swt. tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah Swt. itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan. (Q.S. Luqman ayat 6)
اِحْتَجُوْا بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ قَالَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ
وَالْحَسَنُ الْبِصْرِيُّ وَالنَّخَعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ إِنَّ
لَهْوَ الْحَدِيْثِ هُوَ الْغِنَاءُ (احياء علوم الدين ج 2 باب بيان حجج
القائلين بتحريم السماع والجواب عنها)
Mereka menafsirkan lafadz Lahwal Hadits (perkataan yang tidak berguna) ini dengan arti nyanyian.
Ada sebagian ulama’ memberi hukum haram
pada hiburan dan permainan (Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll)
dengan landasan dalil hadits di bawah ini:
وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِنَّ اللهَ
تَعَالىَ حَـرَّمَ الْقَيْنَةَ ( اَىْ اَلجْاَرِيَةَ ) وَبَيْعَهَا
وَثمَٰنَهَا وَتَعْلِيْمَهَا
Aisyah ra. Meriwayatkan
hadits: Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. telah
mengharamkan al-Qoinah (penyanyi wanita/budak wanita yang menghibur),
haram menjual belikannya, haram uang hasil darinya dan haram
mengajarkanya.
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali
menafsiri hadits di atas bahwa yang dimaksud perkataan Qoinah ialah
budak perempuan yang menyanyi untuk laki-laki di tempat minum-minuman
(semacam bar atau club malam/dugem)
فَنَقُوْلُ أَمَّا الْقَيْنَةُ
فَالْمُرَادُ بِهَا الْجَارِيَةُ الَّتِيْ تَغَنِّيَ لِلرِّجَالِ فِيْ
مَجْلِسِ الشُّرْبِ (احياء علوم الدين ج 2 باب بيان حجج القائلين بتحريم
السماع والجواب عنها)
Golongan dari madzhab Hambali
berpendapat Nyanyian adalah haram hukumnya, baik dinyanyikan oleh
perempuan maupun laki-laki apabila mendatangkan syahwat bagi orang yang
mendengarkan atau menyebabkan bercampurnya kaum laki-laki dan wanita
atau disertai mabuk-mabukan.
اَلْحَناَبِلَةُ - قاَلُوْا : اَلْغِناَءُ
حَرَامٌ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ النِّسَاءِ أَمْ مِنَ الرِّجاَلِ إِذاَ كاَنَ
الْقَوْلُ يُثِيْرُ الشَّهْوَةَ لِمَنْ اِسْتَمَعَ إِلَيْهِ أَوْ أَدَى
إِلَى اخْتِلاَطِ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ أَوْ خُرُوْجِ عَنْ حِشْمَةٍ
وَوَقاَرٍ ( الفقه على المذاهب الاربعة الجزء 5 ص 27 )
2 Makruh
Menurut Imam Tabrani
dalam kitabnya al-Mu’jam al-Ausat hukum dari hiburan dan permainan
(nyanyian, musik, seni tari, ludruk, wayang, dll.) adalah makruh.
حَدَثَنَا مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمُوِيَّهْ
اَلْجَوْهَرِيُّ اَلأَهْوَازِيُّ ، حَدَثَنَا حَفْصٍ بِنْ عُمَرُو
الرَّبَّالِيْ ، حَدَثَنَا اْلمُنْذِرُ بْنُ زِيَادٍ الَطَّائِيُّ ، عَنْ
زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمْ ، عَنْ أَبِيْهِ ، عَنْ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُلُّ
لَهْوٍ يُكْرَهُ إِلاَّ مُلاَعِبَةُ الرَّجُلِ اِمْرَأَتَهُ ، وَمَشِيْهِ
بَيْنَ اْلهَدَفَيْنِ ، وَتَعْلِيْمِهِ فَرَسَهُ » « لمَ ْيَرْوِ هٰذَا
الْحَدِيْثِ عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمْ إِلاَّ اْلمُنْذِرُ بْنُ زِيَادْ ،
تَفَرَّدَ بِهِ: حَفْصُ بْنُ عُمَرُو الَرَّبَّالِيْ » (المعجام الاوسط
للطبرنى ج 7 ص 170)
Dan diambil dari pendapat Imam Syafi’i,
bahwa beliau berkata: sesungguhnya ghina’ (Lagu-laguan) merupakan
hiburan yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil. Barang siapa
terlalu banyak terlena karenanya maka dia dianggap bodoh dan ditolak
kesaksiannya. Keterangan dalam kitab al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-Arba’ah:
فَقَدْ نُقِلَ عَنِ اْلإِ مَامِ
الشَّافِعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: اَلْغِنَاءُ لهَوْ
ٌمَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ الْباَطِلُ, مَنِ اِسْتَكْثَرَ مِنْهُ فَهُوَ
سَفِيْهٌ وَتُرَدُّ شَهَادَتُهُ.(كتاب الفقه على المذاهب الأربعة الجزء 5 ص
54
Imam
Al-Qaffal, Al-Rauyani dan Abu Mansur berpendapat bahwa hiburan dan
permainan seperti tari-tarian berirama hukumnya makruh tidak sampai
haram dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk ”lahwun, laghwun dan
la’bun” (dagelan, musik dan pemainan). Hal ini diterangkan dalam kitab
الإتحاف على الإحياء dan dalam kitab احيـاء فى باب السمـاع, sama halnya
nyanyian dan mendengarkan lagu atau musik. Keterangan dari kitab
Al-Manhaj juz 5 hal 380.
وَلَنَذْكُرُمـَا لِلْعُلَمـَاءِ فِيـْهِ
اَيْ فِي الـَّرقْصِ مِنْ كَلاَمِ فَذَهَبَتْ طَاِئـفَةٌ اِلىَ
كَرَاهَتِـهِ مِنْهُمْ اَلْقَفَّـالُ حَـكَاهُ عَنْهُ الَرَّوْيـَانِـيْ
فِي اْلبَحْرِ. وَقَـالَ اَلأُسْتـَاذُ اَبـُوْ مَنْصُـوْر تُكَلِّفُ
اَلـَّرقْصُ عَلىَ اْلإِ يْقـَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهٰـؤُلاَءِ اِحْتَجُـوْا
بِاَنَّهُ لَعِبٌ وَلَـهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ.
Imam Ghozali berpendapat dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin juz 02 bahwasanya nyanyian, orkesan dan sejenisnya
adalah termasuk hiburan (Laghwun) yang dimakruhkan, serupa dengan
perbuatan batil tetapi tidak sampai haram, sebagai contoh adalah
permainan orang-orang Habasyah dan tarian mereka, Rasulullah pernah
menyaksikannya dan tidak membencinya. Dalam hal ini Lahwun dan laghwun
tidak dimurkai Allah Swt.
اَلْغِنـَاءُ لَـهْوٌ مَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ
اْلبـَاطِلَ وَقَوْلِـِه لَـهْوٌ صَحِيْحٌ وَلَكِنَّ اللَّهْوَ مِنْ
حَيْثُ اَنَّهُ لَـْهوٌ لَيْسَ بِـحَرَامٍ فَلَعْبُ اْلحَبَشَةِ
وَرَقْصُهُمْْ لَـهْوٌ وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ
يَنْظُرُ اِلَيْهِ وَلاَ يَكْرَهُهُ بَلِ اللَّّّـهْوُ وَاللَّـغْوُ لاَ
يـُؤَا خِذُ الله ُبِهِ (احيـاء جز 2 فى باب السمـاع )
Menurut Qordowi, hiburan dan permainan
(Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll) hukumnya adalah باطل
apabila digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faidah dan membuat
seseorang sibuk sehingga sampai mengganggu atau dapat mengurangi
ketaatannya kepada Allah Swt., sedangkan hukum melakukan sesuatu yang
tidak berfaidah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau
melalaikan kewajiban. Pendapat Qordowi ini berdasarkan Hadits:
كُلُّ لَهْوٍ بَاطِلٌ إِذَا شَغَلَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ )صحيح البخاري , كتاب بدء الوحي(
Setiap hiburan itu adalah batil apabila bisa melalaikan seseorang dari ketaatan kepada Allah Swt.
Menurut riwayat Imam al-Baihaqi hukum
nyanyian atau orkesan dan sejenisnya dihukumi makruh karena dapat
menumbuhkan kemunafikan dalam hati, seperti halnya air bisa menumbuhkan
tanaman. Diterangkan dalam kitab al-Sunan al-Kubro lii al-Baihaqi bab
al-Rajul Yaghni Fayattakhidu al-Ghina’ juz 7 halaman 931
وَ أَخْبَرَنَا ابْنُ بِشْرَانَ
أَنْبَأَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ صَفْوَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى الدُّنْيَا
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْجَعْدِ أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ كَعْبٍ الْمُرَادِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: الْغِنَاءُ يُنْبِتُ
النِّفَاقَ فِى الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَالذِّكْرُ
يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِى الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
3 Boleh
Imam Bukhari
meriwayatkan hadits dalam kitab sahihnya bab an-Niswah al-Laati Yahdina
al-Mar'ah juz 1 hal 145 dari Siti Aisyah bahwa Nabi pernah berkata:
4765 – حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ
يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ
امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ
فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ
Dari hadits tersebut di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa Nabi menginginkan seorang penyanyi
yang dapat disuruh Nabi untuk menghibur kaum Anshar ketika Siti Aisyah
menikahkan seorang gadis dengan pemuda anshar karena kaum anshar sangat
kagum dan senang dengan nyanyian.
Diceritakan dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Nasa'i bahwa pada hari raya
sahabat Abu Bakar berkunjung ke rumah Siti Aisyah untuk halal bi halal
kepada Nabi Saw., ketika beliau masuk beliau menjumpai ada dua gadis di
samping Siti Aisyah yang sedang menyanyi, seketika itu Abu Bakar
menghardik mereka seraya berkata: Apakah pantas ada seruling syaitan di
rumah Rasulullah?! Kemudian Nabi Saw. bersabda: “Biarkanlah mereka,
wahai Aba Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya. Adapun bunyi
hadits yang menceritakan peristiwa itu adalah sebagai berikut ini dalam
kitab Sunan an-Nasai juz 6 hal. 59.
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ
طَهْمَانَ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ
الصِّدِّيقَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ
بِالدُّفِّ وَتُغَنِّيَانِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُسَجًّى بِثَوْبِهِ وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى مُتَسَجٍّ ثَوْبَهُ
فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّهَا
أَيَّامُ عِيدٍ وَهُنَّ أَيَّامُ مِنَى وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ بِالْمَدِينَةِ
Dari cerita di atas bisa
dibuat dalil bahwa Nabi tidak melarang hiburan dan permainan (nyanyian,
orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang dll)
Menurut Imam Al-Fauroni: Hukum dari
hiburan dan permainan (nyanyian, orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang,
dll) adalah boleh, dengan alasan bahwa semua perkara itu adalah
termasuk Lahwun, Laghwun dan La’bun dan hukum asal dari Lahwun, Laghwun
dan La’bun itu adalah mubah. Diterangkan di dalam kitab al-Itkhaf juz
06.
وَهَـؤُلاَءِ اِحْتَجُّـوْا بِاَنَّهُ
لَعْبٌ وَلَـهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَائِـفَةٌ إِلَى
إِبَاحَتِـهِ قَـالَ اَلْفَـوْرَانِـيْ فِيْ كِتـَابِهِ اَلْعُمْدَةُ
اَلْغِنَـاءُ يُبـَاحُ أَصْلُهُ
Imam Haromain, Imam al-Makhali, Imam
Ibni ‘Imad Al-Suhrowardi, Imam Rofi’i dan Ibnu Abi Dam berpendapat:
Hiburan tarian atau sejenisnya adalah tidak haram, apabila tidak
menyebabkan rusaknya harga diri dan tidak ada penyerupaan laki-laki
dengan perempuan atau sebaliknya
قَـالَ إِمـَامُ الْحَرَمَيْـِن
اَلـَّرقْصُ لَيْـسَ بِـمُحَرَّمٍ فَاِنَّـهُ مُـجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى
اِسْتِقَامَةٍ أَوْ اِعْوِجَـاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُـحْرَمُ
اَلمْـُرُوْءَةُ وَكَذَلِكَ قـَالَ اَلمْـَحَلِّىْ فِي الدَّخَـاِئرِ
وَابْنُ الُعِمَـادِ اَلسُّهْـرَوَرْدِيْ وَالرَّفِعِيْ وَبِهِ جَزَمَ
اْلمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ اَبِي الدَّمِ (الإتحاف على الإحياء
في باب السماع)
PERDUKUNAN
(Berobat dengan Suwuk)
Masyarakat kita telah
lama mengenal pengobatan penyakit melalui doa-doa yang disebut suwuk.
Bagaimanakah hukum pengobatan dengan cara suwuk?
Sesungguhnya di dalam al-Qur’an telah dijelaskan:
وَتُبْرِىءُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ بِإِذْنِي (الماءدة:110)
Dan (ingatlah) di waktu kamu (Nabi Isa)
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, (QS. Al-Maidah: 110).
Tentang pengobatan dengan menggunakan suwuk ini pernah ditanyakan pada Rasulullah dalam sebuah hadits berikut:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا
نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى
فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى
مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا ». (سنن أبى دا ود,جز 1, 230)
Dari ‘Auf bin Malik
berkata, bahwasannya kami mengobati penyakit dengan menggunakan suwuk
pada zaman jahiliyah, lalu kami bertanya kepada Rasul, wahai Rasul
bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut? Rasul menjawab,
hadapkanlah suwuk-suwuk kalian kepadaku, sesungguhnya hal itu tidak
membahayakan selama kalian tidak syirik (menyekutukan Allah Swt.).
(Sunan Abi Dawud, juz I, hal. 230)
Diceritakan dalam sebuah hadits Sunan
Abi Dawud, mengenai pengalaman para sahabat Nabi yang telah melakukan
pengobatan dengan suwuk:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ
رَهْطًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- انْطَلَقُوا فِى
سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا فَنَزَلُوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ شَىْءٌ
يَنْفَعُ صَاحِبَنَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ نَعَمْ وَاللَّهِ
إِنِّى لأَرْقِى وَلَكِنِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَأَبَيْتُمْ أَنْ
تُضَيِّفُونَا مَا أَنَا بِرَاقٍ حَتَّى تَجْعَلُوا لِى جُعْلاً.
فَجَعَلُوا لَهُ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ فَأَتَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْهِ أُمَّ
الْكِتَابِ وَيَتْفُلُ حَتَّى بَرَأَ كَأَنَّمَا أُنْشِطَ مِنْ عِقَالٍ.
قَالَ فَأَوْفَاهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِى صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالُوا
اقْتَسِمُوا. فَقَالَ الَّذِى رَقَى لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِىَ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَنَسْتَأْمِرَهُ. فَغَدَوْا عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مِنْ أَيْنَ عَلِمْتُمْ أَنَّهَا رُقْيَةٌ
أَحْسَنْتُمُ اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Dari Abi Said al Khudzri
ra. Bahwasannya sekelompok sahabat Nabi berangkat melakukan suatu
perjalanan, mereka berhenti diperkampungan Arab. Salah satu dari
penduduk tersebut berkata, Sesungguhnya pemimpin kami disengat
kalajengking. Apakah ada di antara kalian yang bisa memberi manfaat
(mengobati pemimpin kami)? Seorang laki-laki dari sahabat menjawab,
betul. Demi Allah Swt. sesungguhnya kami bisa menyuwuk (mengobatinya)
tetapi, ketika kami akan bertamu, kalian malah menolak. Aku tidak akan
mengobati, sehingga kalian memberi gaji (upah). Bayarlah gaji tersebut
dengan seekor kambing. Lalu satu kambing didatangkan. Laki-laki tersebut
membaca surat al-Fatihah, kemudian meniupkan ludahnya sehingga pimpinan
itu sembuh, (saking cepatnya) seperti orang yang terlepas dari tali
serban. Abi Said berkata,” mereka menepati janji dengan memberi gaji
(upah).” Lalu para sahabat berkata, “Bagilah (upah tersebut).” Lelaki
tukang suwuk berkata, “Jangan lakukan hal itu sehingga kita datang
kepada Rasul.” Lalu Rasul bersabda, “Dari mana kalian tahu bahwa ummul
kitab bisa dipergunakan untuk menyuwuk? Bagus….kalian, bagilah! Dan aku
minta bagian”
(Sunan Abi Dawud, juz II, hal. 232-233)
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa mengobati berbagai penyakit dengan do’a-do’a itu
dibenarkan. Dan mengambil ongkos/upah dari pengobatan itu juga
diperbolehkan.
(Batasan Praktik Orang-orang Pintar (Dukun)
Dilarang praktiknya
orang-orang pintar (dukun) dikarenakan dalam praktiknya menggunakan
sihir yang jelas bertentangan dengan syari’at Islam, yakni terdapat
kemusyrikan yaitu menggunakan perantara jin dan setan, serta menimbulkan
bahaya pada orang lain.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ ». (سنن ابى داود رقم 3385)
Dari Abdullah Ia pernah
mendengar bahwa Rasulullah bersabda: sesungguhnya suwuk, zimat, dan
sihir adalah syirik. (Sunan Abi Dawud, hal. 3385)
Dibenarkan praktiknya orang-orang pintar
(dukun) dengan tiga ketentuan yang harus diperhatikan yaitu: Pertama,
amalan, hizib, azimat atau yang semisalnya harus menggunakan kalam Allah
Swt. Kedua, menggunakan bahasa yang dapat dipahami maknanya. Ketiga,
meyakini semua hanya sebatas ikhtiar serta keberhasilan yang terwujud
atau semua kejadian yang terjadi semata karena takdir Allah Swt.
وَسُئِلَ بَعْضُهُمْ عَنْ رَجُلٍ صَالِحٍ
يَكْتُبُ لِلْحَمَى وَ يَرْقَى وَيَعْمَلُ النَّشْرَةَ وَيُعَالِجُ
اَصْحَابَ الصَّرْعِ وَالْجُنُوْنِ بِأَسْمَاءِ اللهِ وَالْخَوَاتِمِ
وَاْلعَزَائِمِ وَيَنْتَفِعُ بِذَالِكَ مِنْ عَمَلِهِ وَلاَ يَأْخُذُ عَلَى
ذلِكَ اَلْاُجُوْرَ هَلْ لَهُ بِذلِكَ اَجْرٌ اَمَّا الْكُتُبُ لِلْحَمَى
وَالرَّقِى وَالنَّشْرُ باِلْقُرْأَنِ وَبِالْمَعْرُوْفِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ
فَلاَ بَأْسَ بِهِ اهـ (فتاوى حاشية ص 88)
PEMAKAMAN
(Macam-macam Orang Mati Syahid)
Menurut Imam Ibnu Rif’ah dan sahabatnya, orang yang mati syahid itu ada tiga golongan, yaitu
1 Syahid ‘Indallah (mati syahid menurut Allah) diantaranya
2 Orang yang meninggal karena dibunuh secara zhalim
3 Meninggal karena tenggelam
4 Meninggal karena terbakar
5 Meninggal karena tertimpa bangunan
6 Meninggal karena sakit perut
7 Meninggal karena dilukai oleh orang lain
8 Meninggal karena kerinduan
9 Meninggal mendadak
10 Meninggal karena sakit waktu melahirkan
11 Meninggal di negeri orang kafir Harbi (Musuh)
Orang yang meninggal di atas termasuk golongan yang wajib diperlakukan sebagaimana mestinya (dimandikan dan dishalati)
Syahid Fid Dunya (mati syahid menurut manusia)
Orang yang meninggal sebagai pengatur strategi perang yang tidak terjun langsung dalam medan peperangan.
1 Orang yang meninggal dunia dalam peperangan akan tetapi memihak kepada kelompok lain.
2 Orang yang meninggal dunia dalam peperangan karena riya’ dan mencari popularitas.
3 Orang-orang yang meninggal di atas sebagai syahid secara hukum, jadi tidak wajib dimandikan dan dishalati.
Syahid Fid Dunya Wal Akhirat (mati syahid menurut Allah dan Manusia)
Yang termasuk golongan ini, yaitu orang
yang meninggal karena berperang membela agama Allah (fii sabilillah).
Mayat golongan ini tidak dimandikan dan tidak perlu dishalati. (Kifayah
al-Akhyar, Fashal Fii al-Mu’tadati al-Raj’iyah juz I, hal.164).
وَإثْنَانِ لاَيُغْسَلاَنِ وَلا يُصَلَّى
عَلَيْهِمَا : اَلشَّهِيْدُ فِى مَعْرَكَةِ اْلكُفََّارِ وَالسِّقْطُ
اَّلذِى لَمْ يَسْتَهِل
Dan dua orang yang tidak dimandikan dan
tidak dishalati atas mereka: (1) orang yang meninggal dalam medan
pertempuran melawan orang-orang kafir dan (2) janin yang jatuh (bayi
kluron) yang belum sempat menangis.
(وَاثْنَانِ لاَ يُغْسَلاَنِ وَلَا
يُصَلّى عَلَيْهِمَا الشَّهِيْدُ فِي مَعْرَكَةِ الْكُفَّارِ وَالسِّقْطُ
الَّذِيْ لَمْ يَسْتَهِلْ ) وَيُصَلَّى عَلَيْهِ إِنْ اخْتَلَجَ اعْلَمْ
أَنَّ الشَّهِيْدَ يَصْدُقُ عَلَى كُلِّ مَنْ قُتِلَ ظُلْمًا أَوْ مَاتَ
بِغَرَقٍ أَوْ حَرَقٍ أَوْ هَدَمٍ أَوْ مَاتَ مَبْطُوْناً أَوْ مَاتَ
عِشْقًا أَوْ كَانَتْ إِمْرَأَةٌ وَمَاتَتْ فِي الطَّلْقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
وَكَذَا مَنْ مَاتَ فُجْأَةً أَوْ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَالَهُ ابْنُ
الرِّفْعَةُ وَمَعَ صِدْقِهِ أَنَّهُمْ شُهَدَاءٌ فَهَؤُلَاءُ يُغْسَلُوْنَ
وَيُصَلَّي عَلَيْهِمْ كَسَاِئرِ المْـَوْتَى وَمَعْنَى الشَّهَادَةِ
لَهُمْ أَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ. وَأَمَّا مَنْ
مَاتَ فِْي قِتَالِ الْكُفَّارِ مُدَبِّرًا غَيْرَ مُتَحَرِّفٍ لِقِتَالٍ
أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلىَ الْفِئَةِ أَوْ كَانَ يُقَاتِلُ رِيَاءً
وَسُمْعَةً فَهَذَا شَهِيْدٌ فِي الْحُكْمِ ِبمَعْنَى أَنَّهُ لَا يُغْسَلُ
وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَهُوَ شَهِيْدٌ فِي الدُّنْيَا دُوْنَ الآخِرَةِ
وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ بِسَبَبِ الْقِتَالِ عَلَى
الْوَجْهِ الْمَرْضِِّي فَهَذَا شَهِيْدٌ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. ( كفاية
الأخيار، فصل ويلزم في الميت، جزء 1 ص 154
(Talqin Saat Naza’ (Sakaratul Maut)
Talqin
terhadap orang yang akan meninggal dunia adalah mengajari ucapan kalimah
toyyibah supaya dalam akhir hayatnya tetap membawa kalimat “Laa Ilaha
Illallah, Muhammad Rasulullah”.
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ رَضِىَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : «
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
فِى الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ خَالِدِ بْنِ مَخْلَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ
وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ .
1. صحيح مسلم باب تلقين الموتى.
2. سنن أبي داود باب مافى التلقين
3. السنن الكبرى للبيهقى وفي ذيله باب ما يستحب من تلقين الميت
Dari said dan Abu
Hurairoh ra. Mereka berkata, Rasul bersabda: “Ajarilah orang mati kalian
dengan kalimat Laa Ilaha Illallah”. Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim
pada kitab sahihnya, dari cerita Khalid bin Makhlad, dari sulaiman.
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari cerita Abi Khazim, dari
Abu Hurairah.
Yang dimaksud hadits di atas adalah
Rasulullah mengutus kita agar mengajari orang yang sedang naza’
(menjelang meninggal dunia) dengan ucapan kalimat tauhid. Sebagaimana
firman Allah:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ
بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ
وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاء (27)
Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[788] dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang
yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (Q.S. Ibrahim:27)
(788) Yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa sangat di anjurkan mengajari kalimat tauhid kepada orang yang akan
meninggal dunia, karena pada saat menjelang kematiannya akan menjadi
tolak ukur kebahagiaan dan kesengsaraan kehidupan manusia di akhirat
selanjutnya.
(Posisi Jenazah Ketika Dishalati)
Posisi jenazah ketika dishalati
Posisi jenazah laki-laki yaitu posisi kepala terletak di sebelah kiri imam
Posisi jenazah perempuan yaitu posisi kepala terletak di sebelah kanan imam.
وَيَجْرِىْ هَذَا
التَّفْصِيْلُ فِى الْوُقُوْفِ فِى الصَّلاَةِ عَلىَ الْقَبْرِ اِلَى اَنْ
قاَلَ وَيُضَمُّ لِهذِهِ الْقَاعِدَةِ قاَعِدَةٌ اُخْرَى سَيَأْتِيْ
اَلتَّصْرِيْحُ بِهَا فِىْ عِباَرَةِ الْبَرْماَوِىِّ وَهِيَ يُجْعَلُ
مُعْظَمُ الْمَيِّتِ يَمِيْنَ الْمُصَلِّى فَحِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ رَأْسُ
الذَّكَرِ فِيْ جِهَةِ يَساَرِى الْمُصَلِّى وَاْلاُنْثَى باِلْعَكْسِ
(حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188
Posisi imam shalat jenazah
Untuk jenazah laki-laki, posisi imam berdiri lurus searah dengan kepala jenazah.
Untuk jenazah perempuan, posisi imam
berdiri lurus searah dengan pantat jenazah. (Hasyiyah al-Jamal ‘Ala
al-Minhaj, juz II, hal. 188)
وَيَقِفُ نَدْباً غَيْرُ
مَأْمُوْمٍ فِى إِماَمٍ وَمُنْفَرِدٍ عِنْدَ رَأْسِ ذَكَر ٍوَعَجِزِ
غَيْرِهِ مِنْ اُنْثىَ وَخُنْثَى (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188)
(Shalat Jenazah bagi Wanita)
Hukum shalat jenazah
adalah fardlu kifayah (yang mengerjakan satu menggugurkan kewajiban yang
lain). Shalat jenazah bagi wanita hukumnya adalah sah. Tatapi ulama’
masih khilaf tentang apakah shalat jenazah orang wanita dapat
menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi orang laki-laki?
Menurut Imam Ibnu Muqri dan dikukuhkan
oleh imam al-Romli bahwa shalatnya orang perempuan sah dan hanya dapat
menggugurkan fardu kifayah dari golongan perempuan saja, artinya tidak
dapat menggugurkan kewajiban kaum laki-laki.
وَاِذَا صَلَّتْ اَلْمَرْأَةُ سَقَطَ اَلْفَرْضُ عَنِ النِّسَاءِ (شرح المنهج جز 2 ,181)
Perempuan yang shalat
jenazah hanya bisa menggugurkan kewajiban bagi kalangan perempuan saja
(tidak bisa menggugurkan kewajiban bagi laki-laki). (Sarayh, al-Minhaj,
juz II, hal. 181)
Menurut Ibnu Hajar, melaksanakan shalat
jenazah bagi perempuan sah dan bisa menggugurkan kewajiban shalat
jenazah bagi yang lain dengan syarat tidak ada orang laki-laki. Dan
shalat jenazah tersebut disunnahkan pula berjama’ah bagi golongan
perempuan.
أَمَّا اِذاَ لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ وَتُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ
(شرح المنهج جز 2 ,181)
(Shalat jenazah) boleh bagi perempuan
selagi tidak ada yang lain (orang laki-laki) dan juga dapat menggugurkan
kewajiban orang laki-laki serta disunnahkan pelaksanaan shalat jenazah
dengan berjama’ah. (Sarakh al-Minhaj, juz II, hal. 181)
(Hukum Melaksanakan Shalat Jenazah Tanpa Wudluk)
Pada suatu saat, setelah
melaksanakan shalat jenazah, Sanimo ditanya temannya kenapa kamu shalat
jenazah tanpa sesuci? Shalat itu kan harus punya wudlu’?. Bagaimanakah
status shalat Sanimo dalam kasus di atas?
Hukumnya khilaf
1 Tidak sah. Menurut
ijma’ ulama’, setiap bentuk shalat yang diawali takbir dan diakhiri
dengan salam harus dalam kondisi suci meskipun dalam shalat jenazah
tanpa ruku’, i’tidal, sujud dan tahiyyat.
(فَرْعٌ) ذَكَرَناَ مَذْهَبُناَ اَنَّ
صَلاَةَ الْجَنَازَةِ لاَتَصِحُّ اِلاَّ بِطَهَارَةٍ وَمَعْناَهُ إِنْ
تَمَكَّنَ مِنَ اْلوُضُوْءِ لَمْ تَصِحَّ اِلاَّ بِهِ، وَإِنْ عَجَزَ
تَيَمَّمَ، وَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمِ مَعَ إِمْكَانِ الْمَاءِ، وَإِنْ
خَافَ فَوْتَ الْوَقْتِ (المجموع شرح المهذب جز 5 ص177)
Telah saya sebutkan
bahwa sesungguhnya shalat jenazah itu tidaklah sah kecuali dengan
bersuci. Artinya apabila seseorang masih mungkin berwudlu’, maka shalat
jenazah tersebut tidak sah kecuali dilakukan dengan memakai wudlu’.
(al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)
2 Sah. Menurut Imam Ibnu Jarir dan Imam
Syi’bi. Karena shalat jenazah merupakan bentuk do’a bukan seperti shalat
maktubah atau yang lain.
وَقاَلَ الشَّعْبِىْ وَمُحَمَّدُ ابْنُ
جَرِيْرٍ اَلطَّبَرِيّ وَالشِّيْعَةُ تَجُوْزُ صَلاَةُ الْجَناَزَةِ
بِغَيْرِ الطَّهَارَةِ مَعَ اِمْكَانِ الْوُضُوْءِ وَالتَّيَمُّمِ
لِأَنَّهَا دُعَاءٌ (المجموع شرح المهذب ج 5، ص 177
Asya’bi, Muhammad bin
Jarir al-Thabari dan kaum syi’ah berkata diperbolehkan shalat jenazah
dengan tanpa bersuci, meskipun masih memungkinkan untuk mengerjakan
wudlu’ dan tayammum, karena shalat jenazah itu hanya sekedar do’a.
(al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)
(Kesaksian Terhadap Jenazah)
Ketika jenazah hendak
diberangkatkan ke pemakaman dilakukan acara Ibro’ terlebih dahulu di
hadapan masyarakat, keluarga dan sanak famili yang ditinggalkannya untuk
memohonkan maaf buat jenazah atas kesalahannya dan penyelesaian
utang-piutang selama hidupnya, dalam kesempatan itu yang menarik adalah
permintaan kesaksian masyarakat (isyhad) terhadap nilai perilaku jenazah
selama hidupnya. Bagaimanakah hukum memberi kesaksian kepada jenazah
yang akan diberangkatkan ke pemakaman?
Tradisi ibro’ yang telah berlaku di
masyarakat ini hukumnya boleh (disunnahkan), bahkan dianjurkan memberi
pujian baik kepada jenazah asalkan si mayit memang pantas untuk dipuji.
Sebagaimana keterangan di bawah ini:
وَيُسْتَحَبُّ الثَّنَاءُ عَلَى الْمَيِّتِ وَذِكْرُ مَحَاسِنِهِ ( الاذكار النواوى ص 150 )
Disunnahkan memuji atas mayit dan menyebutkan kebaikannya. (al-Adzkar al-Nawawi hal.150)
( فَإِنْ رَأَى خَيْرًا سُنَّ ذِكْرُهُ )
لِيَكُوْنَ أَدْعَى لِكَثْرَةِ الْمُصَلِّينَ عَلَيْهِ وَالدَّاعِينَ لَهُ
وَلِخَبَرِ ابْنِ حِبَّانِ وَالْحَاكِمِ اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ
وَكَفُّوا عن مَسَاوِيهِمْ
Sunnah hukumnya menyebut kebaikan si
mayit apabila mengetahuinya. Tujuannya tiada lain untuk mendorong agar
lebih banyak yang memintakan rahmat dan berdoa untuknya. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dan Hakim: Sebutlah kebaikan
seseorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya. Fathu
al-Wahab, bab Kitab al-Janaaiz juz 1 hal. 91
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه
وسلم - :« أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ
اللَّهُ الْجَنَّةَ ». قَالَ قُلْنَا : وَثَلاَثَةٌ قَالَ :« وَثَلاَثَةٌ
». قَالَ قُلْنَا : وَاثْنَانِ قَالَ :« وَاثْنَانِ ». قَالَ : لَمْ
نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ رواه الْبُخَارِى
Nabi bersabda: Setiap
muslim yang disaksikan sebagai orang baik-baik oleh 4 orang, Allah akan
memasukkan ke surga. Kami (para sahabat) bertanya: kalau disaksikan 3
orang? Nabi menjawab: kalau disaksikan 3 orang juga masuk surga. Kalau
disaksikan 2 orang? Nabi menjawab: 2 orang juga. Kami (para sahabat)
tidak menanyakan lagi bagaimana kalau hanya disaksikan oleh 1 orang.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab sahihnya
(Riyad al-Shalikhin, bab Fadl Man Maata Lahu Aulaadun Shighor hal 388)
(Mengantar Jenazah Sambil Mengucap Lafadz LAA ILAHA ILLALLAH)
Sudah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat apabila mengiringi jenazah menuju ke pemakaman,
dengan diiringi bacaan kalimat tahlil (Laa Ilaha Illallah). Bagaimanakah
hukum membaca kalimat tersebut?
Tradisi seperti itu sebenarnya sudah
berlangsung sejak lama, dan amalan tersebut tidak dilarang oleh agama,
sebab selain mengandung nilai-nilai kebaikan dengan berdzikir kepada
Allah Swt. perbuatan itu tentu jauh lebih baik dari pada berbicara
masalah duniawi dalam suasana berkabung, sebagaimana dijelaskan oleh
syekh Muhammad Bin A’lan al-Siddiqi dalam kitabnya al-Futukhat
al-Rabbaniyah
وَقَدْ جَرَّتْ اَلْعَادَةُ فِىْ
بَلَدِناَ زَبِيْدٍ بِالْجَهْرِ باِلذِّكْرِ اَماَمَ الْجَناَزَةِ
بِمَحْضَرٍ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَقَدْ
عَمَّتْ اَلْبَلْوَى بِمَا شَاهِدْناَهُ مِنْ اِشْتِغَالٍ غاَلِبٍ
الْمُشَيِّعِيْنَ بِالْحَدِيْثِ اَلدُّنْيَوِيِّ وَرُبَّمَا اَدَاهُمْ
ذَلِكَ اِلَى الْغِيْبَةِ اَوْ غَيْرِهَا مِنَ اْلكَلاَمِ اَلْمُحَرَّمَةِ
فَالَّذِيْ اِخْتَارَهُ اِنَّ شُغْلَ اِسْمَاعِهِمْ بِالذِّكْرِ
اَلْمُؤَدِّيْ اِلَى تَرْكِ اْلكَلاَمِ وَتَقْلِيْلِهِ اَوْلَى مِنِ
اسْتِرْسَالِهِمْ فِى اْلكَلاَمِ الدُّنْيَوِيِّ اِرْتِكَاباً بِأَخَّفِ
الْمَفْسَدَتَيْنِ . كَماَ هُوَ الْقَاعِدَةُ الشَّرْعِيَّةُ وَسَوَاءٌ
اَلذِّكْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَغَيْرُهَا مِنْ اَنْوَاعِ الذِّكْرِ وَاللهُ
اَعْلَمُ (الفتوحات الربانية على اذكر النواوية ج 4 ص 183)
Telah menjadi tradisi di
daerah kami Zabith untuk mengeraskan dzikir di hadapan jenazah (ketika
mengantar ke kuburan). Dan itu dilakukan di hadapan para ulama’, ahli
fiqih dan orang-orang saleh. Dan sudah menjadi kebiasaan buruk yang
telah kita ketahui, bahwa ketika mengantarkan jenazah, orang-orang sibuk
dengan perbincangan masalah-masalah duniawi, dan tidak jarang
perbincangan itu menjerumuskan mereka ke dalam ghibah atau perkataan
lain yang diharamkan. Adapun hal yang terbaik adalah mendengarkan dzikir
yang menyebabkan mereka tidak berbicara atau meminimalisir pembicaraan
adalah lebih utama dari pada membiarkan mereka bebas membicarakan
masalah-masalah duniawi. Ini sesuai dengan prinsip memilih yang lebih
kecil mafsadahnya, yang merupakan salah satu kaidah syar’iyah. Tidak ada
bedanya apakah yang dibaca itu dzikir, tahlil ataupun yang lainnya,
WaAllahu a’lam.
(al-Futukhat al-Rabbaniyah ‘ala Adzkari al-Nabawiyah juz IV, hal. 183)
Dan lebih jelas lagi di terangkan dalam
kitab Tanwirul Qulub, bahwa disunnahkan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an,
membaca dzikir atau membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw., dan
dilarang gaduh atau berbincang-bincang tentang perkara yang tidak
berguna:
وَيُسَنُّ الْمَشْيُ اَمَامَهَا
وَقُرْبَهَا وَاْلاِسْرَاعُ بِهَا وَالتَّفَكُّرُ فِى الْمَوْتِ
وَماَبَعْدَهُ . وَكُرِهَ اللُّغَطُ وَالْحَدِيْثُ فِيْ اُمُوْرِ
الدُّنْيَا وَرَفْعِ الصَّوْتِ اِلاَّ بِالْقُرْأَنِ وَالذِّكْرِ
وَالصَّلاَتِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ
بَأْْسَ بِهِ اْلاَنَ لِأَنَّهُ شِعَارٌ لِلْمَيِّتِ. ( تنوير القلوب ص
213
Para pengantar jenazah
yang berjalan kaki disunnahkan berjalan di depan keranda atau di
dekatnya sambil berjalan cepat dan berfikir tentang dan sesudah mati.
Tetapi tidak disunnahkan bagi para pengantar jenazah untuk gaduh,
bercakap-cakap urusan dunia, apalagi dengan suara keras, kecuali
melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir, atau shalawat kepada
nbi karena hal ini menambah syi’ar bagi si mayit. (Tanwir al-Qulub
halaman 213)
(Talqin Mayit)
Talqin mayit adalah
mengajari dan menuntun aqidah kepada mayit, dengan harapan si mayit
mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
( قَوْلُهُ يَقُوْلُ ياَ عَبْدَ اللهِ
إِلَخْ ) رَوَاهُ الطَّبْرَانِيُّ بِلَفَظٍ إِذَا ماَتَ أَحَدٌ مِنْ
إِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ
أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ ياَ فُلاَنُ ابْنُ
فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ
فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قاَعِدًا ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ
فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ أَرْشَدْناَ يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ
تَشْعَرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ
شهادة أن لا إله إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
وَأَنَّكَ رَضِيْتَ باِللهِ رَباَّ وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْناَ وَبِمُحَمَّدٍ
نَبِياًّ وَبِالْقُرْآنِ إِماَماً (رواه الطبرانى. إعانة الطالبين ج 2 ص
14)
Rasulullah bersabda;
apabila salah seorang dari saudara kamu meninggal dunia, maka ratakanlah
tanah kuburannya, berdirilah di atas kepala kuburan mayit, lalu
berkatalah wahai fulan bin fulan; sesungguhnya mayit tersebut mendengar
ucapan itu, lalu orang yang menalqin berkata: bahwa fulan bin fulan!
bahwa mayit tersebut mendengar ucapan itu, lalu mayit tersebut duduk,
dan orang yang menalqin berkata lagi, wahai fulan bin fulan,
sesungguhnya mayit itu berkata, tunjukkan aku maka engkau akan diberi
rahmat oleh Allah Swt., sesungguhnya kalian (manusia) tidak
mengetahuinya, lalu orang yang menalqin berkata, aku ingatkan padamu
(mayit) sesuatu (yang harus) engkau bawa keluar dari dunia, yaitu
penyaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah Swt. dan
sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA, dan sesungguhnya
kamu ridho bahwa Allah Swt. adalah tuhanmu, islam menjadi agamamu,
Muhammad menjadi Nabimu dan Al-Qur’an menjadi imammu. (HR. Imam at
Tabrani) (I’anat al-Thalibin, juz II, hal. 14)
Menurut Imam al-Adzra’i:
Disunnahkan mentalqin
mayit yang sudah baligh sesuai dengan firman Allah yang artinya dan
berdzikirlah sesungguhnya dzikir itu memberikan manfaat kepada
orang-orang yang beriman.
Tidak
disunnahkan mentalqin anak yang belum baligh karena dia tidak mendapat
fitnah di dalam kuburnya, begitu juga orang gila. Hal ini diterangkan
dalam kitab I’anah al-thalibin juz 2 halaman 140.
( قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ )
مَعْطُوْفٌ عَلَى أَنْ يُلَقِّنَ أَيْضًا أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ
بَالِغٍ إِلَخْ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَذْكُرْ فَإِنَّ
الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ } وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ
إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ وَخَرَجَ بِالْبَالِغِ
الطِّفْلِ فَلاَ يُسَنُّ تَلْقِيْنُهُ لِأَنَّهُ لاَ يُفْتَنُ فِيْ
قَبْرِهِ وَمِثْلُهُ اَلْمَجْنُوْنُ إِنْ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيْفٌ
وَإِلاَّ لُقِنَ وَعِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَلاَ يُلَقَّنُ طِفْلٌ وَلَوْ
مُرَاهِقًا وَمَجْنُوْنٌ لَمْ يَتَقَدَّمَهُ تَكْلِيْفٌ كَمَا قَيَّدَ تْهُ
اْلأَذْرَعِيَّ لِعَدَمِ اِفْتِتَانِهِمَا اه اعانة الطالبين ج 2 ص 140 .
Dengan demikian talqin mayit adalah hal yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
(Menyiram Kuburan dengan Air Bunga)
Ketika berziarah,
rasanya tidak lengkap jika seorang peziarah yang berziarah tidak membawa
air bunga ke tempat pemakaman, yang mana air tersebut akan diletakkan
pada pusara. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah merata di seluruh
masyarakat. Bagaimanakah hukumnya? Apakah manfaat dari perbuatan
tersebut?
Para ulama mengatakan bahwa hukum
menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain,
hal. 145
وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ
باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ
مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ
(نهاية الزين 154)
Disunnahkan untuk
menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan
sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga
tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena
malaikat senang pada aroma yang harum.
(Nihayah al-Zain, hal. 154)
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi;
حَدثَناَ يَحْيَ :
حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن
ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا
لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا
فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ
باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا
بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ
رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ
عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا) (صحيح البخارى رقم 1361)
Dari Ibnu Umar ia
berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah
lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam
kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam
kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai
penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu
domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah
kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada
masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa
engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah
meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini
belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])
Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;
يُسَنُّ وَضْعُ
جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ
يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ
مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ (اعانة الطالبين ج. 2، ص119 )
Disunnahkan meletakkan
pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah
sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena
barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan
dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan
basah atau yang masih segar. (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)
Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163
وَيُنْدَبُ وَضْعُ
الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ
يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ
أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan
termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut
termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit.
(Hukum Shalat Jenazah di Atas Kuburan)
Banyak orang yang ingin
mengerjakan shalat jenazah. Apalagi jika yang meninggal adalah seorang
ulama’. Tidak jarang, shalat jenazah dilakukan setelah mayit
disemayamkan dalam kuburannya. Bagaimana hukum shalat jenazah di atas
kuburan itu?
Menanggapi hal ini ulama’ Syafiiyah mengatakan boleh dan sah hal ini didasarkan pada hadits:
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم ، فَلَمَّا وَرَدْنَا الْبَقِيعَ إِذَا هُوَ بِقَبْرٍ جَدِيدٍ ،
فَسَأَلَ عَنْهُ ، فَقَالُوا : فُلانَةٌ ، فَعَرَفَهَا ، فَقَالَ : أَلا
آذَنْتُمُونِي ؟ قَالُوا : كُنْتَ قَائِلا صَائِمًا ، فَكَرِهْنَا أَنْ
نُؤْذِنَكَ ، فَقَالَ : لا تَفْعَلُوا لأَعْرِفَنَّ مَا مَاتَ مِنْكُمْ
مَيِّتٌ مَا كُنْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلا دَعَوْتُمُونِي ، فَإِنَّ
صَلاتِي عَلَيْهِ رَحْمَةٌ قَالَ : ثُمَّ أَتَى الْقَبْرَ ، فَصُفِفْنَا
خَلْفَهُ ، فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا (مسند أحمد بن حنبل الجزء 4 ص
388
Diriwayatkan dari Zaid
Bin Tsabit Ra, beliau berkata kami pernah keluar bersama Nabi Saw.
Ketika kami sampai di Baqi’, ternyata ada kuburan baru. Lalu beliau
bertanya tentang kuburan itu. Sahabat bertanya, yang meninggal adalah
seorang perempuan, dan ternyata beliau mengenalnya. Kemudian beliau
bersabda Kenapa kalian tidak memberitahu aku tentang kematiannya?.
Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, anda (waktu itu) sedang tidur
qailulah (tidur sebentar sebelum waktu dhuhur) dan berpuasa. Maka kami
tidak ingin mengganggumu. Rasulullah menjawab: Jangan begitu, seorang
tidak akan mati di antara kalian selama aku berada di tengah-tengah
kalian kecuali kalian mengabarkannya kepadaku. Karena shalatku merupakan
rahmat baginya. Lalu beliau mendatangi kuburan itu dan kami pun
berbaris di belakang beliau. Kemudian beliau bertakbir empat kali
(shalat jenazah) untuknya
(Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 4 hal 388)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa shalat jenazah di atas kuburan adalah boleh. Al-Sham’ani mengatakan;
وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ
الصَّلاَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ دُفْنِهِ مُطْلَقاً سَوَاءٌ صَلِّى
عَلَيْهِ قَبْلَ الدُّفْنِ أَمْ لاَ وَإِلَى هذَا ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ.
(سبل السلام, ج 2 ص 100
Hadits itu secara mutlak
menunjukkan sahnya shalat jenazah setelah dikuburkan, baik sebelum
dikuburkan sudah dishalati atau belum. (Subul al-Salam, juz II hal.
100).
Imam Daru al-Quthni menambahkan shalat jenazah di depan kuburan tetap sah meskipun jenazah sudah satu bulan dimakamkan.
وَلَوْ صَلَّى عَلَى مَنْ دُفِنَ صَحَّتْ
صَلاَتُهُ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ صَلَّى عَلَى
الْقَبْرِ بَعْدَ مَا دُفِنَ (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ) زَادَ دَارُ
القُّطْنِى بَعْدَ شَهْرٍ (كفاية الاخيار، ج 1 ص 157)
Imam al-Rouyani berkata
meskipun mayat telah dikebumikan tetap sah menshalatinya karena Nabi
pernah melakukan hal tersebut di atas kuburan setelah mayat di tanam,
bahkan Imam Daru al-Quthni menambahkan, meskipun sudah melewati satu
bulan. (Kifayah al-Akhyar, juz I hal. 157)
(Shalat Ghaib untuk Mayit)
Ketika seorang ulama’
besar dan kharismatik dipanggil ke rahmatullah, seluruh umat akan merasa
kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan bela sungkawa,
sebagian kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah maka
mereka melaksanakan shalat ghaib. Bagaimana pandangan ulama’ tentang
pelaksanaan shalat ghaib untuk mayit?
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang
jenazahnya tidak berada di hadapannya, tetapi berada di lain tempat,
bisa jadi di desa lain ataupun di negara lain.
Dalam pelaksanaan shalat ghaib untuk mayat terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama’
1 Tidak sah, pelaksanaan shalat ghaib.
لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى المَيِّتِ
الَّذِيْ فِيْهَا أَىْ الْبَلَدِ الَّتِيْ كَانَ الْمُصَلِّيْ حاضرا فيها
ولم يحضر في ذلك الميت: وَإِنْ كَبُرَتْ اَلْبَلَدُ لَتَيَسَّرَ الحُضُوْرُ
غالبا، والْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا
فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي اْلبَلَدِ لِكِبَرِهَا وَنَحْوِهِ
صَحَّتْ، وَحَيْثُ لاَ وَلَوْ خاَرِجَ السُّوْرَ لَمْ تَصِحَّ كَمَا
نَقَلَهُ الشِّبْرَامُلِسِى عَنْ اِبْنِ قاَسِمٍ، فَلَوْكاَنَ الْمَيِّتُ
خَارِجَ السُّوْرَ قَرِيْبا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ وَالْمُرَادُ
بِالْقَرِبِ هُناَ حَدُّ اْلغَوْثِ (نهاية الزين ص 159-160)
Tidak sah shalat mayit
di suatu daerah yang memungkinkan untuk datang, namun dia tidak
menghadirinya: walaupun daerah tersebut luas dan mudah dijangkau. Dan
menurut qoul yang diunggulkan sesungguhnya hal yang menjadi pertimbangan
adalah ada atau tidak adanya kesulitan untuk menghadirinya, apabila ada
kesulitan maka shalatnya sah. (Nihayah al-Zain hal.159-160)
2 Sah menurut qaul mu’tamad, pelaksanaan
shalat ghaib tersebut dikatakan sah apabila tidak memungkinkan
menghadiri shalat jenazah. Sebagaimana diterangkan dalam Nihayah
al-Zain;
وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى غَائِبٍ عَنْ
بَلَدٍ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ صَلَّى عَلَى
النَّجَاشِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ مَوْتِهِ
بِالْحَبَشَةِ (نهاية الزين ص 159
Sah pelaksanaan shalat
ghaib di suatu daerah, karena Nabi Saw. telah menshalati orang Najasyi
Ra. di Madinah waktu dia wafat di Habasyah.
(Nihayah al-Zain, hal. 159)
(Qadla’ Shalat untuk Mayit)
Salah seorang keluarga
si A meninggal dunia, selama dua bulan terakhir, dia tidak mengerjakan
shalat. Lalu dia berwasiat, kalau nanti dia mati supaya shalatnya
diqadla’i oleh ahli warisnya. Bagaimana hukumnya mengqadla’ shalat untuk
orang yang sudah mati?
Shalat merupakan ibadah Mahdloh, yaitu
ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan langsung berhubungan dengan
sang Khalik. Maka pertanggung jawabannya kepada Allah Swt. secara
pribadi. Berkaitan dengan shalat yang pernah ditinggalkan oleh orang
yang mati maka ada beberapa pandangan:
1 Tidak boleh dan tidak sah mengqadha’ shalatnya karena shalat termasuk ibadah badaniyah, sebagaimana telah dijelaskan;
وَلَوْ قَضَاهَا وَارِثُهُ بِأَمْرِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ بَدَنِيَّةٌ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)
Seandainya ahli warisnya
mengqadla’i atas perintah si mayit sebelum mati, maka tidak
diperbolehkan melaksanakannya, karena shalat itu merupakan ibadah
badaniyah. (I’anah al-Tholibin, juz I, hal. 33)
2 Tidak ada kewajiban qadla’ bagi ahli
warisnya. Demikian juga mereka tidak berkewajiban menebusnya dengan
harta yang ditinggalkan oleh si mayit, hanya saja sebagian ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan si mayit boleh di
qadla’ oleh ahli warisnya, baik sebelum meninggal dunia dia berwasiat
atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin, juz I, hal.
33.
مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ
صَلاَةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَلَمْ تُفْدَ عَنْهُ، وَفِيْ قَوْلٍ أَنَّهَا
تُفْعَلُ عَنْهُ. أَوْصَى ِبهَا أَمْ لَا، مَا حَكَاهُ الْعُبَادِي عَنِ
الشَّافِعِيِّ لِخَبَرٍ فِيْهِ. وَفَعَلَ بِهِ اَلسُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ
أَقاَرِبِهِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)
Barang siapa yang mati
dan punya tanggungan shalat, maka tidak wajib mengqadla’ dan membayar
tebusan (oleh ahli waris). Dan dalam satu pendapat, bahwa shalat itu
diqadla’, baik si mayit berwasiat atau tidak. Sebagaimana yang
diriwayatkan Al-Ubbady dari Imam Syafi’i. Imam Subki pernah mengerjakan
(Qadla’ shalat) itu untuk kerabatnya. (I’anah al-Thalibin, juz I,
hal.33)
(Fidyah sebagai Ganti Puasa yang Ditinggal oleh Mayit)
Ibadah puasa merupakan
kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt. Kepada seluruh umat Islam.
Orang-orang yang memenuhi syarat wajib melaksanakannya. Jika pada suatu
saat, orang tersebut tidak puasa ia berkewajiban mengganti puasa yang
ditinggalkan tersebut pada lain hari. Persoalannya adalah, bagaimanakah
jika orang itu tidak mengganti puasanya sampai ia meninggal dunia,
bolehkah keluarga atau kerabatnya menggantikan puasanya tersebut?
Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia yang belum mengganti puasanya.
Pertama, orang tersebut meninggalkan
puasa karena udzur, Ia meninggal sebelum sempat mengganti puasanya,
misalnya tidak ada waktu untuk mengqadla’ puasanya. Seperti orang yang
meninggal dunia pada pertengahan puasa atau pada saat hari raya, atau
karena sakit yang ia derita tak kunjung sembuh hingga ajal menjemputnya.
Kedua, tidak puasa karena tidak ada
udzur, tatapi orang tersebut memiliki kesempatan mengqadla’ puasanya,
namun ia tidak mengganti puasa yang telah ditinggalkannya itu, baik
karena malas atau alasan yang dibenarkan oleh syara’ kemudian ia
meninggal dunia sebelum mengganti puasanya.
Jawaban
1 Pada contoh yang
pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban untuk mengganti puasanya,
sebab ia tidak berbuat lalai atau meremehkan masalah agama.
2 Pada contoh yang kedua, orang itu mati
dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ada dua pilihan yang dapat
dilakukan oleh waris atau familinya, yaitu:
Memberikan makanan kepada fakir miskin
(Mengqadla’ puasanya orang yan meninggal)
Sebagaimana yang diterangkan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 192
وَمَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمُ
رَمَضَانَ أَوْ نَذَرٌ أَوْ كَفاَرَةٌ قَبْلَ إِمْكاَنِ فِعْلِهِ بِأَنْ
اِسْتَمَرَ مَرِضُهُ اَلَّذِيْ لاَ يُرْجَى بُرْؤُهُ أَوْ سَفَرُهُ
الْمُباَحُ إِلَى مَوْتِهِ فَلاَ تَدَارُكَ لِلْفاَئِتِ بِالْفِدْيَةِ
وَلاَ بِالْقَضَاءِ وَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَقْصِيْرِهِ فَإِنْ
تَعَدَّى بِاْلإِفْطَارِ ثُمَّ ماَتَ قَبْلَ التَّمَكُّنِ وَبَعْدَهُ أَوْ
أَفْطَرَ بِعُذْرٍ وَماَتَ بَعْدَ التَّمَكُّنِ أَطْعَمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
مِنْ تِرْكَتِهِ لِكُلِّ يَوْمٍ فاَتَهُ مُدَّ طَعاَمٍ مِنْ غاَلِبِ قُوْتِ
الْبَلَدِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ لَمْ يَلْزَمْ اَلْوَلِيَّ
إِطْعاَمٌ وَلاَ صَوْمٌ بَلْ يُسَنُّ لَهُ ذلِكَ لِخَبَرٍ مَنْ ماَتَ
وَعَلَيْهِ صِياَمٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (نهاية الزين, ص 192)
Orang mati dengan
meninggalkan puasa Ramadhan, Nadar atau puasa Kafarot, sedangkan ia
belum sempat menggantinya, seperti sakit yang ia derita terus
berkepanjangan dan sedikit harapan untuk sembuh, atau ia terus melakukan
perjalanan mubah (perjalanan yang tidak untuk maksiat) sampai ia mati.
Maka orang itu tidak perlu mengganti puasa yang ditinggalkannya, baik
dengan puasa atau dengan membayar Fidyah (makanan pokok), sebab ia tidak
lalai. Tapi jika ia sengaja tidak berpuasa (tanpa sebab yang
dibenarkan), kemudian orang tersebut mati, baik sebelum sempat atau
telah punya waktu untuk mengganti puasanya. Atau orang itu tidak puasa
karena ada alasan yang dibenarkan, kemudian meninggal setelah ia
memiliki kesempatan untuk mengqadla’ puasanya, (dalam kedua masalah ini)
wali atau keluarga si mayit harus memberikan satu mud makanan pokok
daerah itu setiap satu hari. Makanan itu diambilkan dari tirkah (harta
peninggalan) si mayit (dan diberikan kepada para fakir miskin). Apabila
orang yang meninggal itu tidak memiliki harta, maka wali tidak wajib
berpuasa atau membayar fidyah yang diambil dari hartanya sendiri, tapi
(perbuatan itu) disunnahkan kepada si wali. Sesuai dengan hadits Nabi
Saw. barang siapa yang mati sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka
walinya boleh berpuasa untuknya.
(Nihayah al-Zain hal. 192
Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ
شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ (سنن ابن
ماجه,ج 1 ص 558, رقم 1747)
Dari Ibnu Umar ia
berkata, Rasulullah Bersabda; Barang siapa yang mati dan dia mempunyai
kewajiban berpuasa, maka hendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi
makan kepada fakir miskin. (Sunan Ibnu Majah [1747])
(قَوْلُهُ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ
مِسْكِيْناً إلخ) تَمْلِيْكُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً أَوْ فَقِيْرًا كُلُّ
وَاحِدٍ مُدُّ طَعَامٍ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ طَعَامًا
وَيُطْعِمُهُمْ إِيَّاهُ فَلَوْ غَدَاهُمْ أَوْعَشَاهُمْ لَا يَكْفِيْ
(إعانة الطالبين، جزء 2، ص240)
Fidyah adalah membayar
denda untuk mengganti kewajiban yang ditinggalkan dengan memberi makan
kepada 60 orang fakir miskin, masing-masing orang, satu mud (6 ons).
Dengan demikian ada beberapa pilihan,
apabila ada keluarga kita yang meninggal dunia dengan mempunyai hutang
puasa, yakni bisa dengan mengqadla’ puasanya atau dengan membayar
fidyah.
(Ziarah kubur)
Pada malam jum’at atau
siang harinya, sudah lazim bagi masyarakat Nahdliyin melakukan ziarah
kubur. Mereka berziarah ke makam leluhur dan sanak kerabat yang telah
lebih dahulu meninggalkannya. Berbagai kegiatan mereka lakukan di sana
seperti membaca al-Qur’an, dzikir ataupun tahlil. Bagaimanakah
sebenarnya hukum ziarah kubur tersebut apakah manfaat dan kegunaannya?
Pada masa awal Islam, Rasulullah memang
melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga akidah umat Islam yang waktu itu masih lemah. Setelah
akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik,
Rasulullah membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur.
Karena ziarah kubur dapat membantu orang yang hidup untuk mengingat akan
kematiannya. Nabi telah bersabda;
عَنْ بَرِيْدَةٍ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ
اْلقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِياَرَةِ قَبْرِ أُمِّهِ
فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِرُ اْلآخِرَةَ (سنن الترمذى، رقم 973)
Dari Buraidah ia
berkata, Rasulullah bersabda; saya pernah melarang kamu berziarah kubur.
Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam
ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat
mengingatkan kamu pada akhirat. (Sunan al-Tirmidzi_974)
Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, beliau mengatakan;
وَسُئِلَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
زِيَارَةِ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ
إلَيْهَا هَلْ يَجُوزُ مَعَ أَنَّهُ يَجْتَمِعُ عِنْدَ تِلْكَ الْقُبُورِ
مَفَاسِدٌ كَثِيرَةٌ كَاخْتِلَاطِ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَإِسْرَاجِ
السُّرُجِ الْكَثِيرَةِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ زِيَارَةُ
قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ
إلَيْهَا (الفتاوى الفقهية الكبرى، ج 1 ص 421)
Beliau ditanya tentang
berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan
perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam
para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula perjalanan ke
makam mereka.
(al-Fatawi al-Kubra, juz I, hal. 421)
Maka, ziarah kubur itu memang dianjurkan
dalam agama Islam bagi laki-laki ataupun perempuan, sebab di dalamnya
terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi orang yang telah
meninggal dunia yaitu berupa hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan
kalimat-kalimat thayyibah, maupun bagi orang yang berziarah itu sendiri,
yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.
(Keutamaan Ziarah Qubur)
Fadhilah atau keutamaan ziarah kubur ditegaskan dalam Nihayah al-Zain hal.164 bahwa
Disunnahkan untuk
berziarah kubur, barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau
salah satunya setiap hari jum'at, maka Allah mengampuni dosa-dosanya
dan dia dicatat sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang
tuanya”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa berziarah ke makam
kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakan
surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim di samping kuburnya maka Allah
mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat
pada ayat surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim”. Dan riwayat lain
menyebutkan pahala ziarah kubur kepada orang tua adalah seperti pahala
ibadah haji:
وَيُسَنُّ زِيَارَةُ الْقُبُوْرِ وَوَرَدَ
أَنَّ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ
جُمُعَةٍ مَرَّةً غُفِرَ لَهُ وَكَانَ باَرًا لِوَالِدِيْهِ، وَفِيْ
رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ
جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَ يَس وَالْقُرْآنَ الْحَكِيْمَ غَفَرَ اللهُ
لَهُ بِعَدَدِ ذٰلِكَ آيَةً وَحَرْفًا، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ
قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ كاَنَ كَحَجَّةٍ.
(نهاية الزين ص 164)
Mengenai keutamaan ziarah kubur juga
diterangkan oleh Ibnu Najar dalam tarikhnya dari Abu Bakar Assiddiq,
Rasulullah bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya
atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakanya surat Yaasin
maka Allah mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang
terdapat pada surat Yaasin”. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Dar
al-Mansur, Juz 7 hal. 40, Makarim al-Akhlak, Juz 1 hal. 73 dan 248, dan
lain-lain.
وَأَخْرَجَ اِبْنُ النَّّجَارِ فِيْ
تَارِيْخِهِ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ اَلصِّدِّيِقِ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ " مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ
أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَا يَس غَفَرَ اللهُ لَهُ
بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْهَا " ( في الكتاب الدر المنثور جز 7 ص 40 و
مكارم الاخلاق جز 1 ص 83 , 248 )
Rasulullah bersabda;
“Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya
setiap hari jum'at maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat
sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang tuanya”.
Diterangkan dalam kitab: al-Mu'jam al-Kabir Litthabrani, Juz 19 hal. 85.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن
أَحْمَدَ أَبُو النُّعْمَانِ بن شِبْلٍ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا عَمُّ أَبِي مُحَمَّدِ بن النُّعْمَانِ، عَنْ يَحْيَى بن
الْعَلاءِ الْبَجَلِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:"مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ
أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا. (كتاب المعجم
الكبير للطبرانى جز 19 ص 85)
Rasulullah juga
bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau
bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya maka pahalanya
adalah sebesar pahala haji yang mabrur. Dan barang siapa yang istiqamah
berziarah kubur sampai datang ajalnya maka para malaikat akan selalu
menziarahi kuburannya”.
Hal tersebut diterangkan dalam kitab: al-Maudhu'at, Juz 3 hal. 240.
أَنْبَأَناَ
إِسْمَاعِيْلُ بِنْ أَحْمَدَ أَنْبَأَناَ حَمْزَةُ أَنْبَأَناَ أَبُوْ
أَحْمَدُ بِنْ عُدَى حَدَثَناَ أَحْمَدُ بِنْ حَفْصِ السَّعْدِى حَدَثَناَ
إِبْرَاهِيْمُ بِنْ مُوْسَى حَدَثَناَ خَاقَانِ السَّعْدِى حَدَثَناَ
أَبُوْ مَقَاتِلْ اَلسَّمَرْقَنْدِى عَنْ عُبَيْدِاللهِ عَنْ ناَفِعِ عَنْ
اِبْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبِيْهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ عَمَّتِهِ أَوْ خَالَتِهِ
أَوْ أَحَدٍ مِنْ قَرَابَاتِهِ كَانَتْ لَهُ حَجَّةٌ مَبْرُوْرَةٌ، وَمَنْ
كَانَ زَائِراً لَهُمْ حَتَّى يَمُوْتُ زَارَتْ اَلْمَلاَئِكَةُ قَبْرَهُ "
(كتاب الموضوعات جز 3 ص 240)
(Ziarah Kubur bagi Perempuan)
Pada dasarnya ziarah
kubur merupakan tuntunan Nabi bagi umatnya untuk selalu mengingat bahwa
setiap makhluk yang hidup akan mengalami kematian dan adanya kehidupan
akhirat kelak. Lalu bagaimanakah hukum ziarah kubur bagi perempuan:
1 Makruh, apabila perempuan mudah susah dan resah, menangis dengan menjerit akibat lemahnya hati dan perasaannya.
( قَوْلُهُ فَتُكْرَهُ ) أَيْ
اَلزِّياَرَةُ لِأَنَّهَا مَظِنَّةٌ لِطَلَبِ بُكَائِهِنَّ وَرَفْعِ
أَصْوَاتِهِنَّ لِمَا فِيْهِنَّ مِنْ رِقَّةِ اْلقَلْبِ وَكَثْرَةِ
الْجَزَعِ (إعانة الطالبين, ج 2 ص 142)
Dimakruhkan bagi wanita berziarah kubur karena hal tersebut cenderung membantu pada kondisi yang melemahkan hati dan jiwa.
(I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)
2 Sunnah, jika ziarah ke makam para Nabi, auliya’ dan orang shaleh.
يُسَنُّ لَهَا زِياَرَةُ قَبْرِ
النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَخْ وَقَالَ بَعْضُهُمْ
اَىْ مِثْلُ زِياَرَةِ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زِياَرَةُ سَائِرِ قُبُوْرِ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلعُلَمَاءِ
وَاْلأَوْلِياَءِ (إعانة الطالبين، ج …ص 142)
Disunnahkan bagi wanita berziarah kuburnya para Nabi, ulama’ dan para wali atau orang-orang yang shalih.
(I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)
(Mengharap Barokah)
Dari dahulu masyarakat
Indonesia marak melakukan ziarah makam para wali. Ziarah makam para wali
yaitu mendatangi makam seseorang yang dianggap sebagai waliyullah
(orang yang dekat dengan Allah Swt.) yang berada di wilayah tertentu.
Seperti di pulau jawa terdapat makam wali songo dan wali-wali lainnya.
Tujuan melakukan ziarah selain untuk
mengingatkan kepada kematian juga untuk mengharap limpahan barokah
(berkah) yang diyakini dapat mengalir dari do’a para wali tersebut. Ada
sebagian orang berpendapat bahwa mengharap barokah itu termasuk syirik.
Benarkah anggapan tersebut?
Sebelum membahas tentang hukum mengharap
barokah terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian barokah.
Menurut Imam Syamsudin al-Syakhawi barokah adalah: Berkembang dan
bertambahnya kebaikan dan kemulyaan. Hal ini diterangkan dalam kitab
al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’:
اَلْمُرَدُ بِالْبَرَكَةِ اَلنُّمُوُّ
وَالزِّياَدَةُ مِنَ الْخَيْرِ وَالْكَرَمَةِ. (القول البديع فى الصلاة على
الحبيب الشفيع, ص 91)
Yang dimaksud dengan
barokah adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan.
(al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’, hal.91)
Barokah itu ada yang diletakkan pada
diri seseorang atau atsar (hal-hal yang membekas, memberikan kesan
berupa jasa atau yang lain) dari seseorang. Mengenai dalil yang
menerangkan barokah yang terdapat pada diri seseorang adalah perkataan
Imam Mujahid dan Imam Atho’ dalam kitab Tafsir al-Baghawy;
( وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا
كُنْتُ ) اَىْ نَفَّاعًا حَيْثُ مَا تَوَجَّهْتُ . وَقَالَ مُجَاهِدٌ
مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ , وَقَالَ عَطَاءٌ اَدْعُوْ اِلَى اللهِ وَاِلَى
تَوْحِيْدِهِ وَعِبَادَتِهِ . وَقِيْلَ مُبَارَكاً عَلَى مَنْ تَبِعَنِيْ (
تفسير البغوى ج 3 ص 233 )
(Dan Dia (Allah)
menjadikan aku (Nabi Isa as) seorang yang diberkati di mana saja aku
berada) yaitu berguna di manapun aku menghadap. Imam Mujahid berkata:
Mengajarkan kebaikan. Imam Atho’ berkata: Aku berdo’a kepada Allah, dan
mengesakan-Nya juga menyembah-Nya. Dan dikatakan diberkahi atas orang
yang mengikutiku (Nabi Isa As.). (Tafsir al-Baghawy juz 3 halaman 233)
Adapun dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada atsar seseorang adalah hadits sebagai berikut
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ مَوْلَى أَسْمَاءَ عَنْ
أَسْمَاءَ قَالَ أَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةً طَيَالِسَةً عَلَيْهَا
لَبِنَةُ شَبْرٍ مِنْ دِيبَاجٍ كِسْرَوَانِيٍّ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوفَانِ
بِهِ قَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُهَا كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ فَلَمَّا قُبِضَتْ
عَائِشَةُ قَبَضْتُهَا إِلَيَّ فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرِيضِ مِنَّا
يَسْتَشْفِي بِهَا (مسند احمد بن حنبل, باب حَدَّثَنَا أَسْمَاءُ بنت ابي
بكر الصديق , رقم 25705)
Telah bercerita kepadaku
Yahya bin Sa’id dari Abdul Malik, beliau berkata: Abdullah budaknya
Asma’ binti Abu Bakar ra, menceritakan dari Asma’, dia berkata; Asma’
memperlihatkan kepadaku pakaian yang berlubang yang berjahit sutra, lalu
asma berkata, ini adalah pakaian Rasulullah Saw. yang pernah beliau
pakai. Pakaian itu dulu disimpan oleh ‘Aisyah ra. Ketika Aisyah ra.
Wafat, saya yang menyimpannya. Kami selalu mencelupnya ke air untuk
mengobati orang yang sakit dari kalangan kami. (Musnad Ahmad bin Hambal
bab Hadatsana Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq, [25705]).
Berdasarkan paparan di atas, hukumnya
boleh mencari barokah (berkah) dengan berziarah ke makam-makam para
wali, dengan catatan tidak meyakini bahwa tempat itulah yang memberikan
berkah, akan tetapi hanya Allah Swt. semata yang memberikan barokah.
(Membakar Kemenyan di Kuburan)
Di kalangan masyarakat
terkadang melakukan upaya membakar kemenyan (dupo) di kuburan, pada
waktu mulai membangun rumah, ataupun pada waktu mulai menanam padi dan
acara selamatan-selamatan lainnya. Bagaimanakah hukum perilaku
masyarakat seperti di atas?
Perilaku masyarakat di atas terkait dengan keyakinan dan pengharapan, dengan demikian hukumnya ditafsil:
1 Haram dan kufur, bila beri’tikad bahwa
kemenyan yang dibakar memberikan pengaruh, misalnya dapat mendatangkan
keberuntungan dan rizki.
2 Boleh, melakukan upaya membakar
kemenyan untuk menghilangkan bau yang tidak nyaman dan beri’tikad bahwa
semua kemanfaatan yang dihasilkan hanya datang dari Allah.
dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 249
جَعَلَ الْوَسَائِطِ
بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ ، فَإِنْ صاَرَ يَدْعُوْهُمْ كَمَا
يَدْعُوْ اللهَ فِي اْلأُمُوْرِ وَيَعْتَقِدُ تَأْثِيْرُهُمْ فِي شَيْءٍِ
مِنْ دُوْنِ اللهِ تَعاَلَى فَهُوَ كُفُرٌ ، وَإِنْ كاَنَ نِيَتُهُ
التَّوَسُّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ تَعَالَى فِي قَضَاءِ مُهِمَّاتِهِ ، مَعَ
اعْتِقَادٍ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ الْمُؤْثِرُ فِي
اْلأُمُوْرِ دُوْنَ غَيْرِهِ ، فاَلظَّاهِرُ عَدَمُ كُفْرِهِ وَإِنْ كاَنَ
فِعْلُهُ قَبِيْحاً. (بغية المسترشدين :249
(Hukum Membangun Kuburan)
Banyak sekali pemakaman
baik di pemakaman umum maupun di tanah pribadi yang diberi pagar,
diperbaiki dengan rapi dan indah, bahkan ada yang membangun dengan
melakukan pengkijingan, pemasangan atap dan seterusnya. Kadang hal ini
menelan dana yang tidak sedikit, misalnya makam para wali, makam dari
golongan keluarga kaya dan sebagainya. Bagaimanakah hukum membangun
makam seperti di atas?
1 Haram, membangun kuburan di tanah Musabbalah (tanah kuburan umum) dan tanah wakaf.
2 Makruh, membangun kuburan di tanah pribadi atau tanah yang tidak diwakafkan karena termasuk menyia-nyiakan harta.
3 Boleh, membangun kuburan Nabi, sahabat, auliya’ dan orang-orang shaleh karena dibuat untuk tabarruk (mencari berkah)
(Khasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib, Fashlun Fil Janazah juz II, hal.297)
( وَلَا يُبْنَى ) أَيْ يُكْرَهُ فِي
غَيْرِ الْمُسَبَّلَةِ وَالْمَوْقُوفَةِ وَيَحْرُمُ فِيهِمَا كَمَا أَشَارَ
لِذَلِكَ الشَّارِحُ ، إلَّا إنْ خِيفَ نَبْشُهُ أَوْ تَخْرِقةُ سَيْلٍ
لَهُ فَلَا يُكْرَهُ حِينَئِذٍ وَلَا فَرْقَ فِي عَدَمِ الْكَرَاهَةِ
لِأَجْلِ ذَلِكَ بَيْنَ الْمُسَبَّلَةِ وَغَيْرِهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ
الزَّرْكَشِيّ .ا هـ .حَجّ وَلَوْ وُجِدَ بِنَاءٌ فِي أَرْضٍ مُسَبَّلَةٍ
وَلَمْ يُعْلَمْ أَصْلُهُ تُرِكَ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ وُضِعَ بِحَقٍّ
قِيَاسًا عَلَى مَا حَرَّرُوهُ فِي الْكَنَائِسِ وَمِنْ الْبِنَاءِ
الْأَحْجَارُ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِتَرْكِيبِهَا نَعَمْ
اسْتَثْنَى بَعْضُهُمْ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَنَحْوَهُمْ ، بِرْمَاوِيٌّ وَعِبَارَةُ الرَّحْمَانِيِّ :
نَعَمْ قُبُورُ الصَّالِحِينَ يَجُوزُ بِنَاؤُهَا وَلَوْ بِقُبَّةِ
الْأَحْيَاءِ لِلزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ. (حاشية البجيرمي على الخطيب،
فصل في الجنازة، جزء 2، ص. 297).
(Hukum Memindah Kuburan)
Terkadang kita menjumpai
di tengah-tengah masyarakat ada pemindahan mayit dari pemakaman yang
satu ke pemakaman yang lain, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, hal
ini dilakukan karena berbagai alasan diantaranya karena perluasan jalan
raya, sengketa tanah, bahkan juga keinginan dari pihak keluarga sendiri
untuk dipindahkan. Hal semacam ini bolehkah dilakukan?
1 Haram, dilakukan pemindahan tersebut,
baik tempatnya berjauhan maupun dekat, karena mengakibatkan terbukanya
aib si mayit, kecuali dalam keadaan dharurat. Sebagaimana keterangan
dalam kitab Mahalli, juz I, hal. 352.
وَنَبْشُهُ بَعْدَ
دَفْنِهِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ حَرَامٌ إلَّا لِضَرُورَةٍ: بِأَنْ دُفِنَ
بِلَا غُسْلٍ أَوْ فِي أَرْضٍ، أَوْ ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ، أَوْ وَقَعَ
فِيهِ مَالٌ، أَوْ دُفِنَ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ لَا لِلتَّكْفِينِ فِي
الْأَصَحِّ. (المحلى، ج 1 ص 352)
Menggali kembali kuburan
untuk dipindahkan atau tujuan lainnya hukumnya haram kecuali karena ada
sesuatu yang dharurat seperti: mayit belum dimandikan, mayit dikubur
atau memakai pakaian ghosob, terdapat harta berharga, atau mayit dikubur
tidak menghadap kiblat, bukan karena untuk mengkafani (menurut pendapat
yang lebih sahih). (al-Mahalli, juz I, hal. 352)
2 Makruh, pemindahan tersebut baik
tempatnya berjauhan maupun dekat karena tidak ada dalil yang jelas
mengenai hal ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Hawasyi al-Syarwani;
وَقَضِيَّةُ قَوْلِهِ
بَلَدٍ آخَرَ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ نَقْلُهُ لِتُرْبَةٍ وَنَحْوِهَا
وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَأَنَّ كُلَّ مَا لَا يُنْسَبُ
لِبَلَدِ الْمَوْتِ يَحْرُمُ النَّقْلُ إلَيْهِ ثُمَّ رَأَيْت غَيْرَ
وَاحِدٍ جَزَمُوا بِحُرْمَةِ نَقْلِهِ إلَى مَحَلٍّ أَبْعَدَ مِنْ
مَقْبَرَةِ مَحَلِّ مَوْتِهِ ( وَقِيلَ يُكْرَهُ ) إذْ لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ
لِتَحْرِيمِهِ (حاشية الشروانى، ج 4 ص 199)
Batasan pemindahan itu
selagi tidak melebihi jarak kuburan daerahnya si mayit. Dalam hal ini
menurut sebagian ulama’ pemindahan itu tidak diharamkan, akan tetapi
dihukumi makruh, karena tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini.
(Hasyiyah al-Syarwani, juz IV, hal. 199)
(Membongkar Kuburan)
Di suatu daerah terdapat
peristiwa pembongkaran makam, hal ini dilakukan karena mayat di
dalamnya harus divisum terkait dengan kasus kriminal yang terjadi.
Bagaimanakah hukum dari pembongkaran pemakaman mayat tersebut?
1 Haram, karena hal tersebut merupakan perkara yang membuka aib si mayit.
2 Boleh, apabila hal ini mendapat izin dari keluarga mayat.
Keterangan di atas berdasarkan kitab Bujairami ‘Ala al-Khotib, Juz II, halaman. 309.
وَأَمَّا نَبْشُهُ بَعْدَ
دَفْنِهِ وَقَبْلَ الْبَلَى عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِتِلْكَ الْأَرْضِ
لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَتَكْفِينِهِ فَحَرَامٌ
لِأَنَّ فِيهِ هَتْكًا لِحُرْمَتِهِ إلَّا لِضَرُورَةٍ بِأَنْ دُفِنَ بِلَا
غُسْلٍ وَلَا تَيَمُّمٍ بِشَرْطِهِ وَهُوَ مِمَّنْ يَجِبُ غُسْلُهُ
لِأَنَّهُ وَاجِبٌ ، فَاسْتَدْرَكَ عِنْدَ قُرْبِهِ فَيَجِبُ عَلَى
الْمَشْهُورِ نَبْشُهُ وَغُسْلُهُ إنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ أَوْ دُفِنَ فِي
أَرْضٍ أَوْ فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ وَطَالَبَ بِهِمَا مَالِكُهُمَا
فَيَجِبُ النَّبْشُ وَلَوْ تَغَيَّرَ الْمَيِّتُ لِيَصِلَ الْمُسْتَحِقُّ
إلَى حَقِّهِ ، وَيُسَنُّ لِصَاحِبِهِمَا التَّرْكُ .( البجيرمى على الخاطب
ج 2 ص 309 )
Sebab-sebab wajibnya membongkar kuburan:
Mayat belum dimandikan
Mayat tidak menghadap kiblat
Jika mayat membawa barang orang lain (ghosob)
Ada janin pada perut mayat dan
diperkirakan janin tersebut masih hidup, (misalnya karena janin berumur 6
bulan lebih), menurut ahli kedokteran.
Orang kafir yang dikubur di pemakaman orang islam.
Terkena banjir atau bencana yang lain.
Orang kafir yang dikubur di tanah suci (Makkah)
Adanya tuntutan orang lain terhadap ahlul waris mayit karena terjadi kasus.
Keterangan dalam kitab Inarah al-Duja, hal. 158
وَيَنْبَسُ الْمَيِّتُ لِلْأَرْبَعَةِ لِلْغُسْلِ مَعْ تَوْجِيْهِهِ لِلْقِبْلَةِ
هَذَا لَمْ إِذَا يَتَغَيَّرْ وَانْتِقَا لِلْمَالِ إِنْ دُفِنَ مَعْهُ مُطْلَقًا
كَذَاكَ لِلْجَنِيْنِ حَيْثُ دُفِنَا مَعْ أُمهِ وَظُنَّ حَيًّا هَاهُنَا
Dengan demikian membongkar kuburan hukumnya boleh ketika dalam keadaan darurat.
Non Muslim Meninggal sebelum Baligh Masuk Sorga atau Neraka
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada 3 pendapat
Menurut sebagian ulama’ anak orang kafir
yang meninggal belum baligh akan masuk neraka karena dinisbatkan
(dibangsakan) pada orang tuanya yang kafir.
عَنْ خَدِيْجَةَ اَنَّهَا سَاَلَتْ
اَلنَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَوْلاَدِهَا
اَلَّذِيْنَ مَاتُوْا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ زَوْجٍ لَهَا قَبْلَ
النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اِنْ شِئْتِ اَرَأَيْتُكِ تَقْبِلَهُمْ فِى النَّارِ وَاِنْ
شِئْتِ اِسْمَعْكِ نَعْلاَئِهِمْ فِى النَّارِ وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى
قَالَ وَلاَ يَلِدُوْا اِلاَّ فاَجِرًا كَفَّارًا، فَإِنَّهُمْ حِيْنَ
وَلَدُوْا كاَنُوْا كُفَّارًا.
Diceritakan dari Siti
Khadijah Ra., sesungguhnya dia bertanya pada Nabi tentang anak-anaknya
yang telah meninggal pada masa Jahiliyah dengan suami sebelum Nabi, Maka
Nabi Muhammad Saw. Berkata: Kalau kamu ingin mengetahui, aku akan
menunjukkan keberadaan anakmu di neraka, kalau kamu ingin mengetahui aku
akan memperdengarkan sandal anakmu yang ada di neraka, Allah Swt.
berfirman: Anak-anak orang kafir tidak dilahirkan kecuali menjadi orang
yang rusak dan kafir.
Menurut sebagian ulama anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk surga karena dikembalikan pada fitrah (suci)
رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَاَبُوْاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
Diceritakan dari Nabi
Muhammad Saw. beliau bersabda; setiap bayi yang dilahirkan adalah suci,
tergantung orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Menurut sebagian ulama’, anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan dijadikan pelayan surga.
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَذَرُوْنَ مِنَ اللاَّهُوْنِ مِنْ أُمَّتِىْ
فَقَالُوْا اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ فَقاَلَ أَطْفاَلُ
الْمُشْرِكِيْنَ لَمْ يَذْنِبُوْا فَيُعَذِّبُوْا وَيُعَمِّلُوْا حَسَنَةً
فَيُثاَبُوْا فَهُمْ خُدَّامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
Diceritakan dari Nabi
Muhammad Saw. Beliau bersabda: apakah kalian tahu apa yang dinamakan
Lahun dari umatku?. Para sahabat menjawab: Allah dan rasulnya yang lebih
tahu. Kemudian Nabi bersabda: mereka adalah anak-anak orang kafir yang
meninggal sebelum baligh, belum melakukan dosa dan akan disiksa, dan
belum melakukan perbuatan baik kemudian mendapat pahala, yaitu anak-anak
orang kafir (yang meninggal sebelum baligh) mereka akan menjadi pelayan
di surga. (Bustan al-Arifin, hal. 101-102)
(Adzan dan Iqomah saat Mayit Dibaringkan dalam Liang Lahat)
Adzan merupakan salah
satu ibadah yang dianjurkan oleh agama Islam. Karena di dalam adzan ada
manfaat yang sangat besar, serta terkandung syiar agama Islam. Ketika
akan melaksanakan shalat, adzan dikumandangkan sebagai tanda masuknya
waktu shalat. Dan salah satu kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah
adzan setelah mayit diletakkan dalam kuburan. Bagaimanakah hukum adzan
tersebut?
Dalam hal ini pandangan ulama’ terbagi menjadi dua
1 Tidak disunnahkan adzan setelah mayit
diletakkan dalam liang lahat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan
kesunnahan pelaksanaan hal tersebut dari Nabi.
2 Sunnah karena bisa disamakan pada adzan dan iqomah ketika anak baru lahir ke dunia.
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ الْأَذَانُ
عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنَّتِهِ قِيَاسًا
لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهِ (إِعَانَةُ
الطَّالِبِيْنَ، ج.1، ص. 230)
Ketahuilah, sesungguhnya
adzan itu tidak disunnahkan ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur.
Berbeda dengan orang yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah, karena
kematian dikiaskan dengan kelahiran. (Ianah al-Thaliban, juz I, hal.
230).
Dengan demikian adzan dan iqomah tersebut tidak dapat dikatakan haram.
SIKAP DAN KEPRIBADIAN SEORANG SUFI
(Definisi Sufi yang Dikemukakan oleh Para Ulama’)
Menurut Imam Junaidi al-Baghdady
وَقَالَ جُنَيْدِيْ:
اَلصُّوْفِيْ كَالاَرْضِ يُطْرَحُ عَلَيْهَا كُلُّ قَبِيْحٍ وَلاَ يَخْرُجُ
مِنْهَا إِِلاَّ كُلُّ مَلِيْحٍ وَقَالَ اَيْضًا: اَلصُّوْفِى كَالاَرْضِ
يَطَئُوْهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَكَالسَّمَاءِ وَكَالسَّحَابِِ تُظِلُّ
كُلَّ شَيْءٍ وَكَالْمَطَارِ يُسْقِى كُلَّ شَيْءٍِ . في الكتاب نشأة
التصوف وتصريف الصوف ص 22
Seorang sufi itu
bagaikan bumi yang bila dilempari keburukan maka ia akan selalu
membalasnya dengan kebaikan. Seorang sufi itu bagaikan bumi yang mana di
atasnya berjalan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk (semua
diterimanya). Seorang sufi juga bagaikan langit atau mendung yang
menaungi semua yang ada di bawahnya, dan seperti air hujan yang
menyirami segala sesuatu tanpa memilah dan memilih, [yang baik maupun
yang buruk semuanya diayominya]”. Kitab Nasyatu at-Tashawuf Wa Tashrifu
as-Shufi hal 22
Dan menurut Aba Bakar al-Syibly dalam kitab Hilyah al-Auliya' Hal 11.
قَالَ اَبَا بَكَرْ الشِّبْلِيْ:
اَلصُّوْفِيْ, مَنْ صَفاَ قَلْبَهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ
اْلمُصْطَفَى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ
اْلقَفَا، وَأَذَاقَ اْلهَوَى طَعْمَ اْلجَفَا.(كتاب حلية الاولياء ص:11)
Orang sufi itu adalah
seseorang yang membersihkan hatinya maka bersihlah hatinya, dan
mengikuti jalannya Nabi al-Musthafa Saw. Serta tidak terlalu memikirkan
perkara duniawi (lebih mementingkan masalah ukhrowi), dan menghilangkan
keinginan hawa nafsunya. Hilyatu al-Auliya’ halaman 11
Aba Hammam Abd. Rahman bin Mujib as-Shufi berpendapat:
سَمِعْتُ أَبَا هَمَّامْ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنِ مُجِيْبٍ اَلصُّوْفِي وَسُئِلَ عَنِ اَلصُّوْفِيْ
فَقَالَ: لِنَفْسِهِ ذَابِحٌ، وَلِهَوَاهُ فَاضِحٌ، وَلِعَدُوِّهِ جَارِحٌ،
وَلِلْخَلْقِ نَاصِحٌ. دَائِمِ اْلوَجَلِ، يَحْكُمُ اْلعَمَلَ، وَيَبْعَدُ
اْلأَمَلَ وَيَسُّدُّ اْلخِلَلَ، ويَغْضَى عَلىَ الزَّلَلِ، عُذْرُهُ
بِضَاعَةٍ، وَحَزْنُهُ صَنَاعَةٌ وَعَيْشُهُ قَنَاعَةٌ بِالْحَقِّ عَارِفٌ
وَعَلىَ الْبَابِ عَاكِفٌ وَعَنِ الْكُلِّ عَازِفٌ. (كتاب حلية الاولياء
ص:11)
1 Ciri-ciri orang sufi itu adalah sebagai berikut;
2 Seseorang yang merasa dirinya hina
3 Menahan dan memerangi hawa nafsunya
4 Memberi nasehat kepada mahluk
5 Selalu mendekatkan diri kepada Allah
6 Berperilaku bijaksana
7 Menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi dalam hal duniawi)
8 Tidak mau mencela
9 Mencegah perbuatan dosa
10 Waktu luangnya digunakan untuk beribadah
11 Susahnya sengaja di buat-buat (karena memang seorang sufi itu
terhindar dari 12 berbagai macam kesedihan dan kesusahan duniawiyah)
13 Hidupnya sederhana
14 Arif terhadap sesuatu yang benar
15 Mengasingkan diri dan mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia.
(Ciri-Ciri Kepribadian dan Perilaku Seorang Sufi)
Menurut Imam Qusyairi dalam kitabnya
Risalah al-Qusyairiyah hal. 126-127 ciri-ciri kepribadian dan perilaku
seorang sufi dibagi menjadi dua yaitu:
1 Seorang sufi al-Shadiq: merasa miskin
setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan,
dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.
2 Seorang sufi al-Kadzib: merasa kaya
akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal
yang mana sebelumnya dia tidak masyhur.
عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ
الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ،
وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ
يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ،
وِيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ. ( كتاب رسالة القشيرية ص 126-127 )
_________________________________________________
Demikialah Rangkaian Tentang masalah kumpulan Ibaroh Ilmu fiqh,
bila ada ke khilafan Mohon maaf seribu maaf,
Akhiron _ Wassalamualaikum warohmatullohi wabaratuh?
(H.Taufieq Fauzie)
Wallahu 'alam segala kebaikan milik AllahWallahu 'alam segala kebaikan milik Allah,