Tradisi di kampung biasanya zakat masyarakat sekitar diberikan kepada kyai dan guru ngaji. Bagaimana hukumnya?
Sebagaimana dijelaskan bahwa yang berhak menerima zakat hanya terbatas pada delapan golongan saja, sementara yang lain tidak boleh menerimanya. Dalam hal ini terdapat perincian:
1 Tidak boleh menerima zakat apabila tergolong orang yang mampu.
2 Boleh menerima zakat
bagi guru ngaji yang tidak mampu dikarenakan waktunya dihabiskan untuk
mengajarkan ilmunya, sebagaimana diterangkan dalam kitab I’anah
al-Thalibin, juz II, hal. 189.
( وَاعْلَمْ ) أَنَّ ماَ لاَ يَمْنَعُ اْلفَقْرَ مِمَّا تَقَدَّمَ لاَ يَمْنَعُ الْمِسْكِنَةَ أَيْضاً كَمَا مَرَّ اَلتَّنْبِيْهُ عَلَيْهِ وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا أَيْضاً اِشْتِغاَلُهُ عَنْ كَسْبٍ يَحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ أَوْ بِالْفِقْهِ أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ أَوِ الْحَدِيْثِ أَوْ ماَ كاَنَ آلَةٌ لِذَلِكَ وَكاَنَ يُتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعْدِيْهِ وَكَوْنِهِ فَرْضُ كِفَايَةٍ (اعانة الطالبين,ج 2 ص 189)
Termasuk sesuatu yang
tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang
meninggalkan pekerjaan yang dapat memperbaiki ekonominya karena waktunya
hanya tersita untuk menghafal al-Qur’an, memperdalam ilmu fiqih, tafsir
atau hadits, atau ia sibuk melaksanakan sesuatu yang menjadi wasilah
tercapainya ilmu tersebut. Maka orang-orang tersebut dapat diberi zakat,
agar mereka dapat melaksanakan usahanya itu secara optimal. Sebab
manfaatnya akan dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum,
disamping itu perbuatan itu juga merupakan fardhu kifayah.
(I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 189)
Boleh menerima zakat meskipun kaya raya, karena guru ngaji atau kyai adalah termasuk orang yang berjuang di jalan kebaikan, maka termasuk kriteria Fii sabilillah, sebagaimana pendapat sebagian ulama’ Fiqih.
وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجاَزُوْا صَرْفَ الصَّدَقاَتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ : مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتىَ وَبِناَءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلُهُ تَعاَلَى فِىْ سَبِيْلِ اللهِ عاَمٌ فِى اْلكُلِّ. (تفسير المنير : ج 1 ص 344)
Menurut sebagian ulama’
ahli Fiqih yang dikutip oleh al-Qoffal bahwa sesungguhnya mereka itu
memperbolehkan pentasarufan zakat untuk semua bentuk kebaikan, seperti
untuk mengkafani mayit, membangun benteng dan memperbaiki masjid, karena
firman Allah Swt. Fii sabilillah itu umum bisa mencakup semuanya.
(Tafsir al-Munir, juz I, hal.344)
(Zakat Diberikan Kepada Santri)
Golongan yang berhak
menerima harta zakat sebanyak delapan macam golongan diantaranya adalah
fii sabilillah, artinya berjuang di jalan Allah Swt. Dari pemahaman ini
bolehkah para santri menerima zakat
Ada perbedaan pandangan di kalangan ulama’ mengenai hal ini, sebagaimana berikut:
Menurut Jumhur Ulama’: Santri tidak boleh menerima zakat kalau atas nama Fii sabilillah.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Hasyi’ah al-Shawi
( وَفِىْ سَبِيْلِ اللهِ أَيِّ الْقَائِمِيْنَ باِلْجِهَادِ مِمَّنْ لاَ فَيْءَ لَهُمْ وَلَوْ اَغْنِيَاءَ ) وَ يَشْتَرِىْ مِنْهاَ أَلَتَهُ مِنْ سِلاَحٍ وَ دَرْعٍ وَ فَرَسٍ . ( حاشية الصاوى على تفسير الجلالين,ج 2 ص 53 )
Dan (Zakat juga
diberikan) kepada orang-orang yang menegakkan agama Allah Swt. yakni
mereka yang melaksanakan perang di jalan Allah Swt. yaitu orang-orang
yang tidak mendapatkan harta fai’ (rampasan perang) meskipun tergolong
kaya raya. Dan zakat itu digunakan untuk membeli peralatan perang,
seperti: persenjataan, perisai dan kuda. (Hasyiah al-Shawi’ Ala Tafsir
al-Jalalain, hal. 53)
Menurut Imam Malik: Santri boleh menerima zakat
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiah al-Shawi:
وَ مَذْهَبُ ماَلِكٍ أَنَّ طَلَبَةَ الْعِلْمِ اَلْمُنْهَكِّيْنَ فِيْهِ لَهُمْ اَلْأَخْذُ مِنَ الزَّكاَةِ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ اِذَا اْنقَطَعَ حَقُّهُمْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ, لِأَنَّهُمْ مُجَاهِدُوْنَ اهـ ( حاشية الصاوى على تفسير الجلالين,ج 2 ص 53
Orang-orang yang
memprioritaskan seluruh waktunya untuk mencari ilmu, diperbolehkan
menerima zakat, meskipun mereka tergolong kaya raya. Dengan syarat
mereka sudah tidak mendapatkan jatah dari Baitul Maal. Karena
sesungguhnya mereka itu termasuk golongan para pejuang". (Hasyiah
al-Shawi ‘Ala Tafsir Jalalain, hal. 53)
(Hukum Zakat untuk Masjid dan Pesantren)
Hukum harta zakat dialokasikan pada pembangunan masjid, pondok pesantren, sekolahan atau yang semacamnya
Menurut mayoritas ulama’ tidak boleh memberikan kepada selain delapan golongan.
وَيَحْرُمُ عَلَى غَيْرِ مُسْتَحِقِّهَا اَخْذُهَا وَيَحْرُمُ اِعْطَاءُهَا لَهُ ( تنوير القلوب ص 227 )
Menurut sebagian ulama’ ahli fiqih yang dikutip oleh Imam Qoffal, mengalokasikan harta zakat untuk pembangunan masjid, pondok pesantren atau semacamnya, hukumnya boleh karena arti fii sabilillah bersifat umum, yaitu hal-hal yang mempunyai nilai kebaikan.
وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجاَزُوْا صَرْفَ الصَّدَقاَتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ : مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتىَ وَبِناَءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلُهُ تَعاَلَى فِىْ سَبِيْلِ اللهِ عاَمٌ فِى اْلكُلِّ. (تفسير المنير : ج 1 ص 344)
Menurut sebagian ulama’ ahli Fiqih yang dikutip oleh al-Qoffal bahwa sesungguhnya mereka itu memperbolehkan pentasarufan zakat untuk semua bentuk kebaikan, seperti untuk mengkafani mayit, membangun benteng dan memperbaiki masjid, karena firman Allah Swt. Fii sabilillah itu umum bisa mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir, juz I, hal.344)
BAB PUASA
(Penetapan Awal dan Akhir Bulan Ramadlan)
Masih ada perbedaan di
kalangan umat Islam tentang penetapan awal dan akhir bulan Ramadlan.
Sebagian menggunakan ru’yah (melihat bulan) dan sebagian lain memakai
hisab (hitungan). Bagaimanakah sebenarnya cara yang tepat dan sesuai
dengan ajaran Nabi?
Ada dua cara yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama’ untuk menentukan awal dan akhir puasa, yakni
Dengan melihat bulan
Dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban
Sebagaimana keterangan dalam kitab Ghoyatu al-Maqshad Fii Zawaidi al-Musnad bab Ru’yah al-Hilal, Sunan al-Daruqutni bab kitabu al-Shiyam, Ithaaf al-Khairah al-Mahrah bab Kitab Zakat, atau kitab-kitab hadits yang lain:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذِهِ الأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ.
Telah bercerita kepadaku
Ishaq bin Isa, Muhammad bin Jabir telah memberitahuku, dari Qais bin
Thalqin, dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda
sesungguhnya Allah ‘Azza Waa Jalla Menjadikan bulan-bulan sebagai
batasan waktu bagi manusia, maka berpuasalah karena melihatnya (hilal),
dan berbukalah karena melihatnya juga. Apabila bulan tertutup mendung
maka sempurnakanlah hitungan bulan sya’ban (30 hari). (Ghoyatu
al-Maqshad Fii Zawaidi al-Musnad bab Ru’yah al-Hilal)
Dan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin halaman 108 dijelaskan;
لاَيَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ اِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ اِكْماَلِ اْلعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَفَرْقٍ
Bulan Ramadlan sama
seperti bulan lainnya disepakati tidak boleh ditetapkan kecuali dengan
telah melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi 30 hari.
(Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 108)
(Waktu Niat Puasa)
Puasa adalah menahan
diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar
sampai terbenamnya matahari, misalnya makan dan minum dan lain-lain.
Para ulama’ sepakat bahwa puasa Ramadlan hukumnya adalah fardhu ‘ain, karena termasuk rukun Islam. Akan tetapi terdapat ikhtilaf tentang waktu pelaksanaan niat puasa Ramadlan?
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Niat puasa Ramadlan dilakukan setiap hari pada waktu malam hari dan untuk puasa sunnah tidak wajib niat di malam hari.
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ يَفْتَقِرُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى نِيَةٍ مُجَرِّدَةٍ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ إِنَّهُ يَكْفِيْهِ نِيَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ أَوَلِ لَيْلَةٍ مِنَ الشَّهْرِ اَنَّهُ يَصُوْمُ جَمِيْعَهُ.
( الميزان الكبرى ج 2 ص 27 )
وَمِنْ ذلك قَوْلُُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ النَّفْلِ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ قَبْلَ الزَّوَالِ مَعَ قَوْلِ ماَلِكٍ إِنَّهُ لاَ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ كاَلْوَاجِبِ
( الميزان الكبرى ج 2 ص 21 )
Lafadz niatnya adalah;
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَداَءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضاَنِ هذِهِ السَّنَةِ فَرْضاً ِللهِ تَعاَلَى
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ رَجَبَ سُنَّةً ِللهِ تَعاَلَى
Menurut Imam Malik
Niat puasa Ramadlan cukup satu kali pada awal bulan Ramadlan yang dilakukan di malam hari.
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ يَفْتَقِرُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى نِيَةٍ مُجَرِّدَةٍ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ إِنَّهُ يَكْفِيْهِ نِيَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ أَوَلِ لَيْلَةٍ مِنَ الشَّهْرِ اَنَّهُ يَصُوْمُ جَمِيْعَهُ.
( الميزان الكبرى ج 2 ص 27 )
Begitu juga dengan puasa sunnah, seperti puasa di bulan rajab menurut Imam Malik cukup niat satu kali yang dilakukan pada malam hari.
وَمِنْ ذلك قَوْلُُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ النَّفْلِ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ قَبْلَ الزَّوَالِ مَعَ قَوْلِ ماَلِكٍ إِنَّهُ لاَ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ كاَلْوَاجِبِ ( الميزان الكبرى ج 2 ص 21 )
Lafadz niatnya adalah;
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرٍ عَنْ أَداَءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضاَنِ هذِهِ السَّنَةِ فَرْضاً ِللهِ تَعاَلَى
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرٍ مِنْ رَجَبَ سُنَّةً ِللهِ تَعاَلَى
Menurut Imam Abu Hanifah
Sah, Niat puasa Ramadlan
yang dilakukan pada waktu malam maupun siang hari hingga waktu zawal
(matahari condong ke barat) dengan syarat niatnya disesuaikan dengan
puasa yang dikerjakan, misalnya puasa Ramadlan, puasa Nadzar dan
puasa-puasa yang lainnya. (al-Mizan al-Kubra, juz II, hal.20)
اَلثَّانِي مَعَ قَوْلِ أَبِىْ حَنِيْفَةَ إِنَّهُ لاَيَجِبُ التَّعْيِيْنُ اَىْ التَّثْبِيْتُ, بَلْ تَجُوْزُ النِّيَةُ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَيْلاً أَجْزَأَتْهُ النِّـيَةُ إِلَى الزَّوَالِ وَكَذلِكَ قَوْلُهُمْ فِي النَّذْرِ الْمُعَيَّنِ.
( الميزان الكبرى :20:2 )
(Puasa Sunnah dengan Niat Qadla’ Ramadlan)
Terkadang seseorang
dalam melakukan kewajiban berpuasa Ramadlan ada udzur (hal-hal yang
membolehkan untuk tidak melaksanakannya), akan tetapi dia masih
mempunyai kewajiban untuk menggantinya di lain hari. Jika orang tersebut
melakukan qadha’ Ramadlan bersamaan dengan berpuasa sunnah dengan niat
mengqadla’ puasa Ramadlan, bagaimanakah hukum dari niat tersebut?
Dalam masalah ini para ulama’ berpendapat sesuai dengan kadar keyakinan seseorang yang meninggalkan puasa tersebut.
Tidak sah, puasa sunnah dengan diniati mengqadla’ puasa Ramadlan, jika orang tersebut masih ragu bahwa dia pernah meninggalkan puasa Ramadlan, jadi lebih baik cukup diniati satu puasa sunnah saja.
Boleh dan Sah, puasa sunnah dengan diniati mengqadla puasa Ramadlan. Kalau memang benar-benar pernah meninggalkan puasa Ramadlan.
وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ اْلوُضُوْءِ هذِهِ اِنَّهُ لَوْشَكَّ اَنَّ عَلَيْهِ قَضاَءٌ مَثَلاً فَنَوَاهُ اِنْ كاَنَ وَاِلاَّ فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ اَيْضاً وَحَصَلَ لَهُ اْلقَضَاءُ بِتَقْدِيْرِ وُجُوْدِهِ بَلْ وَاِنْ باَنَ اِنَّهُ عَلَيْهِ وَاِلاَّ حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُلُ فِى مَسْأَلَةِ الْوُضُوْءِ اِلَى اَنْ قَالَ : وَبِهَذَا يَعْلَمُ اَنَّ الْاَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التَّطُوُّعُ بِالصَّوْمِ اَنْ يَنْوِىَ الْوَاجِبَ اِنْ كاَنَ عَلَيْهِ وَاِلاَّ فَالتَّطَوُّعُ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ اِنْ كاَنَ. (الفتاوى الكبرى كتاب الصوم ج 2 ص 50)
Dapat dipahami dari
masalah wudlu’ ini bahwasannya jika ragu-ragu ia punya kewajiban yang
harus diqadla’, maka dia harus berniat mengqadla’nya. Jika tidak
kemudian dia shalat sunnah, maka niatnya tetap sah dan qadla’nyapun
terbayar bahkan seandainya jelas bahwa dia memang mempunyai kewajiban
qadla’, jika tidak, maka dia memperoleh sunnah sebagaimana dalam masalah
wudlu’…. Dengan demikian diketahui, bahwa yang lebih baik bagi orang
yang ingin niat sunnah dalam puasanya, maka dia berniat puasa wajib jika
memang ada kewajiban terhadapnya, jika tidak maka dia niat puasa sunnah
agar memperoleh apa yang menjadi kewajiban terhadapnya. (al-Fatawi
al-Kubra, Bab Kitab al-shaum juz 2 halaman 50)
(Mengqodlo’ Puasa dan Haji untuk Orang yang Telah Meninggal)
Mengqodlo’ puasa dan haji untuk orang yang telah meninggal, yaitu melakukan puasa dan haji untuk orang yang sudah meninggal ketika dia masih mempunyai tanggungan puasa dan Haji. Seperti keterangan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Diceritakan dari Siti
Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: Apabila ada orang mati, sementara dia
masih punya tanggungan puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya.
(Shahih Muslim, juz II, hal. 463, al-Jam’u Baina al-Sakhikhaini
al-Bukhari, dan dalam kitab-kitab hadits yang lainnya)
وَحَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِىُّ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ أَبُو الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ - رضى الله عنه - قَالَ بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّى تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّى بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ - قَالَ - فَقَالَ « وَجَبَ أَجْرُكِ وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ « صُومِى عَنْهَا ». قَالَتْ إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « حُجِّى عَنْهَا ». (صحيح مسلم
Telah bercerita kepadaku
Ali bin Hujrin al-Sa’dy, telah bercerita kepadaku Ali bin Mushir Abu
al-Hasan dari Abdullah bin Ato’ dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya
ra. beliau berkata: suatu hari aku duduk di samping Nabi Saw. kemudian
ada seorang perempuan datang kepada Nabi dan ia berkata; sebenarnya aku
bersedekah untuk ibuku dengan seorang hamba, sedangkan ibuku telah
meninggal. Maka Nabi berkata: Pahalanya tetap bagimu dan harta
warisannya tetap kembali kepadanu. Perempuan itu berkata lagi, Ya
Rasulallah, sesungguhnya ibuku mempunyai tanggungan puasa Ramadlan,
bolehkan aku puasa untuknya?. Rasul menjawab: Berpuasalah untuk ibumu.
Kemudian perempuan itu bertanya lagi sebenarnya ibuku belum melaksanakan
ibadah haji, bolehkan aku melakukan haji untuknya? Rasul menjawab:
Berhajilah untuk ibumu. (Sahih Muslim)
Dengan demikian, haji yang belum ditunaikan dan puasa yang telah ditinggalkan oleh mayit bisa diqodho’
(Hukum Merokok Ketika Sedang Berpuasa)
Puasa adalah menahan makan dan minum yang dimulai sejak fajar sampai masuknya waktu adzan maghrib, akan tetapi di kalangan masyarakat kita terdapat beberapa persoalan tentang bagaimana hukumnya orang yang sedang berpuasa tetapi dia menghisap rokok?
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa salah satunya adalah masuknya sesuatu/’ain (seperti air, minuman atau makanan) melalui beberapa lubang yang terdapat di dalam anggota tubuh yang bisa sampai ke lambung. Begitu juga dengan asap dari hisapan rokok, apabila seseorang sedang berpuasa dan dia menghisap rokok, maka hukumnya adalah: Membatalkan puasa, karena asap rokok itu mengandung nikotin dan nikotin tersebut adalah termasuk kategori ‘ain. Diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin;
(فَائِدَةٌ) لاَ يَضُرُّ وُصُوْلُ الرِّيْحِ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِّ كَرَاءِحَةِ الْبُخُوْرِ أَوْ غَيْرِهِ اِلَى الْجَوْفِ وَاِنْ تَعَمَّدَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْناً وَخَرَجَ بِهِ ماَ فِيْهِ عَيْنٌ كَرَاءِحَةِ النُتْنِ يَعْنِى اَلتَّنْباَكُ لَعَنَ اللهُ مِنْ أَحَدِثِهِ لِأَنَّهُ مِنَ اْلبِدْعِ اْلقَبِيْحَةِ فَيَفْطُرُ بِهِ. (بغية المستر شدين باب شروط الصوم ص 111)
Tidak membatalkan puasa
sampainya angin dengan indra pencium, begitu juga menghirup angin atau
asap melalui mulut (tidak membatalkan puasa) walaupun disengaja, karena
bukan merupakan ‘ain (benda), dikecualikan hal yang ada ‘ainnya seperti
asap rokok (tembakau) yang dapat membatalkan puasa karena termasuk
katagori memasukkan ‘ain (nekotin) dan juga termasuk bid’ah yang jelek
(Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111)
Memang sebelumnya Imam Zayyadi pernah berpendapat bahwa merokok tidaklah membatalkan puasa, karena beliau mengira asap yang dihasilkan dari rokok itu sama saja dengan asap pada umumnya dan tidak termasuk kategori ‘ain, tetapi setelah beliau mengetahui kenyataannya secara pasti bahwa asap yang dihasilkan dari rokok tersebut ada kandungan nikotinnya, maka Imam Zayyadi merevisi pendapatnya yang pertama yaitu: Merokok tidak membatalkan puasa direvisi dengan pendapatnya yang kedua yaitu: Merokok dapat membatalkan puasa. Hal ini diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111-112.
(فَائِدَةٌ) لاَ يَضُرُّ وُصُوْلُ الرِّيْحِ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِّ كَرَاءِحَةِ الْبُخُوْرِ أَوْ غَيْرِهِ اِلَى الْجَوْفِ وَاِنْ تَعَمَّدَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْناً وَخَرَجَ بِهِ ماَ فِيْهِ عَيْنٌ كَرَاءِحَةِ النُتْنِ يَعْنِى اَلتَّنْباَكُ لَعَنَ اللهُ مِنْ أَحَدِثِهِ لِأَنَّهُ مِنَ اْلبِدْعِ اْلقَبِيْحَةِ فَيَفْطُرُ بِهِ , وَقَدْ أَفْتىَ ز.ي. بَعْدَ أَنْ أَفْتَى اَوَّلاًَ بِعَدَمِ اْلفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ اهـ ش.ق. (بغية المستر شدين باب شروط الصوم ص 111-112)
Tidak membatalkan puasa
sampainya angin dengan indra pencium, begitu juga menghirup angin atau
asap melalui mulut (tidak membatalkan puasa) walaupun disengaja, karena
bukan merupakan ‘ain (benda), dikecualikan hal yang ada ‘ainnya seperti
asap rokok (tembakau) yang dapat membatalkan puasa karena termasuk
katagori memasukkan ‘ain (nekotin) dan juga termasuk bid’ah yang jelek.
Dan sesungguhnya Imam zayyadi telah memberikan fatwa seperti ini
(merokok ternyata membatalkan puasa) sesudah beliau memberikan fatwa
pertama yaitu tidak batalnya pusa karena merokok, sebelum beliau
mengetahui kenyataannya secara pasti. (Bughyah al-Mustarsyidin, bab
Syurut al-Shaum. hal.111-112).
BAB HAJI DAN UMRAH
(Tasyakuran Haji)
Setelah melaksanakan haji dan pulang ke rumahnya, jama’ah haji biasanya mengadakan tasyakuran yang disebut walimatul Naqi’ah yaitu: Walimah yang diadakan untuk selamatan orang yang datang dari bepergian (walimah haji), bahkan seorang yang telah melaksanakan haji disunnahkan untuk mengadakan tasyakuran, yakni dengan menyembelih sapi atau unta. Apakah walimah itu ada dasar hukumnya?
Dalam kitab al-Fiqih al-Wadlhih dijelaskan;
يُسْتَحَبُّ لِلْحَاجِّ
بَعْدَ رُجُوعِهِ اِلَى بَلَدِهِ اَنْ يَنْحَرَ جَمَلاً اَوْ بَقَرَةً اَوْ
يَذْبَحَ شَاةً لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْجِيْرَانِ
وَالْإِخْوَانِ تَقَرُّباً اِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَماَ فَعَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الفقه الواضح من الكتاب
والسنة , ج 1 ص 673)
Disunnahkan bagi orang
yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta, sapi atau
menyembelih kambing (untuk diberikan) kepada fakir, miskin, tetangga,
saudara. (hal ini dilakukan) sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah
‘Azza Waa Jalla, Sebagaimana yang telah diamalkan oleh Nabi Saw.
(al-Fiqih al-Wadlhih Min al-Kitab wa al-Sunnah, Juz I, hal. 673)
Kesunnahan ini berdasarkan hadits Nabi
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ نَحَرَ جَزُوْرًا اَوْ بَقَرَةً. (
صحيح البخاري , باب الطعام عند القدوم )
Dari Jabir bin Abdullah
ra. Bahwa ketika Rasulullah Saw. Datang ke Madinah (usai melaksanakan
ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi. (Shahih al-Bukhari,
bab al-Tho’amu ‘Inda al-Qudum)
amun di sebagian daerah, walimah haji itu tidak hanya dilakukan setelah mereka pulang dari tanah suci, selamatan itu juga dilakukan sebelum mereka berangkat ke tanah suci, atau setelah mereka melunasi ONH-nya. Kalau melihat isinya, maka walimah tersebut tujuannya tidak jauh berbeda dengan walimah setelah haji.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengadakan walimatul haji merupakan suatu ibadah sunnah yang diajarkan oleh Nabi Saw.
(Macam-Macam Thawaf dan Hukumnya)
Thawaf Ifadhah, thawaf
ini merupakan salah satu rukunnya haji, jadi hukum melaksanakannya
adalah wajib. Fathu al-Qadir bab al-Ihram juz 5 hal 234.
قَالَ ( وَهَذَا الطَّوَافُ هُوَ الْمَفْرُوضُ فِي الْحَجِّ ) وَهُوَ رُكْنٌ فِيهِ إذْ هُوَ الْمَأْمُوْرُ بِهِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ } وَيُسَمَّى طَوَافُ الْإِفَاضَةِ وَطَوَافُ يَوْمِ النَّحْرِ ( فتح القدير في باب الاحرام )
1 Thawaf Qudum, thawaf ini dilaksanakan ketika memasuki Baitul Haram dan hukum untuk melaksanakannya adalah sunnah. (Fathu al-Mu’in, hal. 62)
(وَطَوَافُ قُدُوْمٍ) ِلأَنَّهُ تَحِيَّةُ الْبَيْتِ وَإِنَّمَا يُسَنُّ لِحَاجٍ أَوْ قاَرِنٍ دُخُلُ مَكَّةَ قَبْلَ الْوُقُوْفِ وَلاَ يَفُوْتَ بِالْجُلُوْسِ وَلاَ بِتَأْخِيْرِ نعم يَفُوْتُ بِالْوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ ( فتح المعين:62 )
2 Thawaf Wada’, thawaf ini juga bisa dikatakan thawaf perpisahan, yaitu dilakukan ketika jama’ah haji hendak pulang dari Tanah Suci. Adapun hukumnya khilaf
Qoul mu’tamad, termasuk wajib
( قَوْلُهُ وَطَوَافُ الْوَدَاعِ ) بِالرَّفْعِ مَعْطُوْفٌ عَلَى إِحْرَامٍ أَيْضًا وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ عَدَّهُ مِنْ وَاجِبَاتِ الْحَجِّ رَأْيٌ ضَعِيْفٌ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ وَاجِبٌ مُسْتَقِلٌّ (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 305 )
Menurut Imam Syafi’i sunnah untuk melaksanakannya karena thawaf wada’ juga dilakukan pada tempat thawaf qudum. (al-Inayah Syarhu al-Hidayah bab al-Ihram, juz 4, hal.2)
وَقَوْلُهُ ( وَيُسَمَّى طَوَافَ الْوَدَاعِ ) الْوَدَاعُ بِفَتْحِ الْوَاوِ اسْمٌ لِلتَّوْدِيعِ كَسَلَامٍ وَكَلَامٍ وَهُوَ وَاجِبٌ عِنْدَنَا خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ ) فَإِنَّهُ عِنْدَهُ سُنَّةٌ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ طَوَافِ الْقُدُومِ ، ( الاناية شرح الهداية باب الاحرام )
(Hukum Thawaf dalam Kondisi Hadats)
Bagaimanakah hukum thawaf yang dilakukan dalam kondisi hadats?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat
Sebagian Ulama’, thawafnya tidak sah
Menurut Imam al-Muzani, thawafnya sah
Sebagaimana hal dijelaskan dalam kitab Hamisi Fathu al-Mu’in.
(وَشُرُوْطُ الطَّوَافِ) سِتَّةٌ اََحَدُهاَ (طُهْرٌ) عَنْ حَدَثٍ وَخُبُثٍ اهـ فتح المعين هذَا هُوَ الصَّحِيْحُ الْمُعْتَمَدُ وَلَناَ قَوْلٌ ضَعِيْفٌ ذَكَرَهُ اَلْمُزَنِىْ فِى مُخْتَصَرِهِ أََنَّ الطَّوَافَ يَصِحُّ مَعَ الْحَدَثِ اهـ (هامس فتح المعين, ص 61)
Syarat-syarat thawaf itu ada enam, salah satunya harus suci dari hadats dan najis. Demikian ini menurut pendapat shahih yang bisa dibuat pegangan. Dan kita pun sebenarnya menjumpai qoul dlaif yang telah disebutkan oleh al-Muzani dalam kitab mukhtasharnya yaitu: thawaf itu dihukumi sah meskipun dalam keadaan berhadats. (Hamisi Fath al-Muin, hal.61)
(Hukum Bermalam di Mina)
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum bermalam di Mina:
1 Menurut mayoritas ulama’, bahwa bermalam di Mina hukumnya wajib (karena termasuk wajib haji). Jadi ketika jama’ah haji tidak bisa bermalam di Mina, maka ada denda baginya. Hasyiyah al-Bajuri juz 1 hal. 322.
وَالسَّادِسُ الْمَبِيْتُ بِمِنَى هَذَا مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ لَكِنْ صَحَّحَ النَّوَاوِيُّ فِيْ زِياَدَةِ الرَّوْضَةِ الْوُجُوْبَ ( حاشية الباجوري ج 1 ص 322 )
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, ada dua pendapat: Yang pertama wajib bermalam di Mina dan yang kedua hukumnya sunnah, dengan catatan jika ditinggalkan tetap diharuskan membayar dam.
فِيْهِ قَوْلاَنِ لِلشَّافِعِيِّ أَظْهَرُهُمَا أَنَّهُ وَاجِبٌ وَالثَّانِيْ أَنَّهُ سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ جَبَّرَهُ بِدَمٍ (شرح المنهاج الجزء 2 ص 470 )
Waktu Melempar Jumrah Ula, Wustho dan Aqobah pada hari Tasyrik
Kapankah waktu yang tepat untuk melempar jumrah Ula, Wustho dan Aqobah pada hari Tasyrik:
Ulama’ berbeda pendapat tentang kapankah waktu yang tepat untuk melempar jumrah, pendapat mereka adalah sebagai berikut:
Harus setelah dhuhur, kalau sesuai dengan hari yang ditentukan, apabila tidak sesuai (molor/mundur) dari hari yang sudah ditentukan maka boleh dilakukan sebelum dhuhur.
( قَوْلُهُ بَعْدَ زَوَالِ إِلَخْ ) مُتَعَلِّقٌ بِرَمْيٍ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْجَمَرَاتِ أَيْ وَيَكُوْنُ الرَّمْيُ إِلَى الْجَمَرَاتِ الثَّلاَثِ بَعْدَ الزَّوَالِ فَلاَ يَصِحُّ الرَّمْيُ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهَذَا بِالنِّسْبَةِ لِرَمْيِ الْيَوْمِ الْحَاضِرِ أَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِرَمْيِ الْيَوْمِ الْغَائِبِ فَيَتَدَارَكُ فِيْ بَقِيَّةِ أَياَمِ التَّشْرِيْقِ وَلَوْ كاَنَ قَبْلَ الزَّوَالِ ( حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 306 )
Melempar jumrah Ula, Wustho, Aqobah, wajib dilakukan setelah dhuhur. Maka tidak sah melempar sebelum dhuhur, ini kalau dilakukan untuk lemparan pada harinya, akan tetapi kalau untuk lemparan yang dilakukan tidak sesuai dengan harinya maka boleh dilakukan sebelum dhuhur. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin bab haji juz 2 halaman 306)
Lebih utama dilaksanakan setelah masuk waktu dhuhur.
( وَاعْلَمْ ) أَنَّ الرَّمْيَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ثَلاَثَةُ أَوْقَاتٍ وَقْتُ فَضِيْلَةٍ وَهُوَ بَعْدَ الزَّوَالِ (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 306 )
Ketahuilah sesungguhnya
waktu melempar jumrah mempunyai tiga waktu, dan waktu yang lebih utama
adalah setelah dhuhur. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin bab haji juz 2
halaman 306)
Menurut Imam Haromain dan Imam Rofi’i dan pengikutnya Imam Asnawi, berpendapat bahwa melempar jumrah sebelum masuk waktu dhuhur hukumnya mubah (boleh), tetapi dengan syarat setelah keluarnya fajar. Diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
وَالْمُعْتَمَدُ جَوَازَهُ فِيْهَا أَيْضًا وَجَوَازَهُ قَبْلَ الزَّوَالِ بَلْ جَزَمَ الرَّفِعِىُّ وَتَبِعَهُ اْلاَسْنَوِىُّ وَقاَلَ اِنَّهُ الْمَعْرُوْفُ بِجَوَازٍ رَمَى كُلَّ يَوْمٍ قَبْلَ الزَّوَالِ وَعَلَيْهِ فَيَدْخُلُ بِالْفَجَرِ (إعانة الطالبين جز307,2)
Menurut pendapat yang
bisa dijadikan pedoman, bahwa boleh melempar jumrah sebelum dhuhur
sebagaimana telah ditetapkan oleh imam Rofi’i dan diikuti oleh imam
Asnawi bahwa boleh melempar jumrah setiap hari sebelum dhuhur dengan
syarat setelah masuk waktu fajar. ( I’anah al-Thalibin bab Haji juz 2
hal 307 )
(PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN PERNIKAHAN)
Sebab-Sebab Perempuan yang Haram Dinikah
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّنْ نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا (23)
Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan[281];
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sesusu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka
tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa’
ayat 23)
[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
(Wanita-wanita yang haram dinikah dapat dikelompokkan sebagai berikut)
Sebab nasab ada tujuh macam:
Ibu sampai ke atas
Anak Perempuan ke bawah
Saudara perempuan
Saudara perempuan dari bapak
Saudara perempuan dari Ibu
Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
Sebab sesusu (tunggal suson) ada tujuh macam
Ibu yang menyusui
Anak perempuan dari ibu yang menyusui
Saudara sesusuan
Saudara perempuan dari bapak (bapak disini adalah suami ibu yang menyusui)
Saudara perempuan dari ibu yang menyusui
Anak perempuan dari saudara laki-laki tunggal susu
Anak perempuan dari saudara perempuan tunggal susu (keponakan). Dalam hadits dijelaskan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ.
Perempuan yang haram dinikahi sebab hubungan mertua, itu ada empat:
Istrinya bapak (ibu mertua)
Istrinya anak laki-laki kandung (menantu perempuan)
ertua ( ibu dari istri )
Anak Tiri Perempuan dari istri
Selain dari bagian-bagian di atas ada juga perempuan yang haram dinikahi:
Mengawini saudara perempuan kandung istri (menghim
Menikahi perempuan yang bersuami atau perempuan yang belum habis masa iddahnya.]
(Iddah)
Iddah adalah masa penantian mantan istri (yang ditinggal mati atau sebab dicerai oleh suami), yang bertujuan untuk membersihkan rahim perempuan dalam waktu yang ditentukan.
Macam-macam iddah ada 2, yaitu
Istri yang ditinggal mati suami, hal ini masa ‘iddahnya ada 2
Jika masih mengandung, masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan
Jika tidak mengandung, massa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari
Istri yang diceraikan oleh suami, hal ini masa ‘iddahnya ada 3
Jika masih mengandung, masa iddahnya adalah sampai melahirkan
Jika dalam keadaan haid/nifas, maka iddahnya sampai masuk pada masa haid yang ke 4
Jika dalam keadaan suci, maka ‘iddahnya sampai masuknya masa haid yang ke 3
Hukum Menjatuhkan thalaq pada istri ketika dalam keadaan haid adalah haram, meskipun thalaqnya sah. Hal ini diterangkan dalam kitab Al-Bajuri ‘Ala Ibni Qasim, Juz II, hal. 171)
وَالطَّلاَقُ فِى الْحَيْضِ حَرَامٌ كَمَا مَرَّ فَالطَّلاَقُ الْمَأْمُوْرُ بِهِ يَكُوْنُ فِى الطُّهْرِ لِتَشَرُّعِ فِي الْعِدَّةِ حِيْنَئِذٍ بِخِلاَفِ الطَّلاَقِ فِى الْحَيْضِ فَاِنَّهَا لاَ تُشْرَعُ (الباجورى على إبن قاسم الجزء 2 ص : 171)
Urutan Wali Nikah
Akad nikah tidak sah kecuali ada wali yang menikahkannya. Urutan orang-orang yang berhak menikahkan perempuan adalah:
Ayah dari pihak perempuan
Kakek dari pihak perempuan
Saudara laki-laki kandung
Saudara laki-laki se ayah (tunggal bapak)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
Anak laki-laki dari saudara laki-laki se ayah (tunggal bapak)
Paman tunggal kandung (dari bapak)
Paman tunggal bapak (dari bapak)
Anak dari paman tunggal kandung (dari bapak)
Anak dari paman tunggal bapak (dari bapak)
Orang yang memerdekakan budak
Hakim (apabila wali dari nasab tidak ada).
Hal ini diterangkan dalam kitab Fathu al-Qarib hal 44. Dan keterangan yang lebih lengkap bisa dilihat dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Ibni Qasim juz 2 halaman 105.
وَ اَوْلَى الْوِلَايَةِ اَيْ اَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ اَلْأَبُ ثُمَّ الْجَدُّ اَبُو الْأَبِ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ ثُمَّ إِبْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ إِبْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ ثُمَّ الْعَمُّ ثُمَّ إِبْنُهُ عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ (فتح القريب ص 44 او حاشية الباجوري على ابن قاسم ج 2 ص 105 )
(Akad Nikah bagi Tuna Wicara)
Tata cara akad nikah bagi orang normal adalah sebagaimana biasanya yang telah kita ketahui bersama, namun bagaimanakah tata cara akad nikah bagi tuna wicara (orang bisu)?
1 Tidak boleh dilakukan sendiri, tetapi harus diwakilkan kepada seseorang yang mampu untuk mewakilinya
وَقِيْلَ لاَ يَنْعَقِدُ اَلنِّكاَحُ إِلاَّ بِالصِّيْغَةِ الْعَرَبِيَّةِ فَعَلَيْهِ يَصْبِرُ عِنْدَ الْعَجْزِ إِلَّى أَنْ يَتَعَلَّمَ أَوْ يُوَكِّلَ ( فتح المعين فى باب النكاح
Dikatakan, bahwa akad
itu nikah tidak sah kecuali dengan bahasa arab, maka hendaklah bersabar
bagi orang yang tidak mampu sampai dia belajar bahasa arab atau
mewakilkan kepada orang yang mampu. (Fathu al-Mu’in bab Nikah)
2 Cukup dengan mengunakan isyarah saja sudah cukup dan sah nikahnya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah sebagai berikut:
(قَوْلُهُ وَيَنْعَقِدُ) اَيْ النِّكَاحُ وَقَوْلُهُ بِإِشَارَةٍ اَخْرَسَ مُفْهِمَةٌ عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَيَنْعَقِدُ نِكَاحُ اْلأَخْرَسَ بِإِشَارَتِهِ الَّتِى لاَ يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطَنُ وَكَذَا بِكِتَابَتِهِ بِلاَ خِلاَفٍ عَلَى مَا فِي الْمَجْمُوْعِ (اعانة الطالبين الجزء: 3 ص: 277)
Akad nikah dihukumi sah
dengan menggunakan isyarah yang memahamkan bagi orang bisu, itu terdapat
di dalam kitab Tuhfah. Nikahnya orang bisu itu dihukumi sah dengan
menggunakan isyarah yang memahamkan, tidak ditentukan hanya orang yang
pandai memahami isyaroh tersebut. ”Juga sah nikahnya orang yang bisu itu
dengan tulisannya, pendapat ini tidak ada khilaf, (keterangan kitab
majmu’). I’anah al-Thalibin juz 3 hal 277
(Menikah Lagi Bagi Perempuan yang Cukup Lama Ditinggal Pergi Suami)
1 Tidak boleh karena masih dalam ikatan pernikahan.
2 Boleh, dengan syarat istri harus yakin kalau suaminya sudah meninggal dunia atau yakin kalau suami sudah menjatuhkan talaq
Menurut Qoul Qodim: Istri boleh menikah lagi dengan syarat tidak ada kabar dari suami selama 4 tahun
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab: Mughni al-Muhtaj, juz III, hal. 105.
وَمَنْ غَابَ وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ، وَفِي الْقَدِيمِ تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ، ( مغنى المحتاج ج 3 ص 105 )
Keterangan yang sama
bisa dilihat dalam kitab Al-Minhaj Lii an-Nawawi bab Kitabu al-‘idadi
juz 1 hal 372. dan Minhaj al-Thalibin juz 1 hal 116)
(Hukum Kado Pernikahan (Amplop Buwuhan)
Di sebagian masyarakat
terdapat suatu tradisi yang menarik saat menyelenggarakan
walimah/resepsi pernikahan pengantin, khitanan atau ulang tahun, yang
mana para tetangga atau sahabat dan handai taulan mendatangi undangan
acara tersebut dengan membawa dan memberikan kado atau uang buwuhan
kepada kemanten atau penyelenggara. Bagaimanakah hukum tradisi buwuhan
yang terjadi di masyarakat dilihat dari aspek hukum fikih?
Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat:
1 Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hibah.
عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَالَّذِى يَتَّجِهُ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلاَفْرَاحِ أَنَّهُ هِبَةٌ وَلاَ أَثَرَ لِلْعُرْفِ فِيْهِ لاِضْطِرَابِهِ مَالَمْ يَقُلْ خُذْهُ مَثَلاًَ وَيَنْوِى الْقَرْضَ وَيَصْدُقُ فِي نِيَةِ ذٰلِكَ هُوَ أَوْوَارِثُهُ وَعَلَى هٰذَا يُحْمَلُ إِطْلاَقُ جَمْعٍ أَنَّهُ قَرْضٌ أَىْ حُكْمًا ثُمَّ رَأَيْتُ بَعْضَهُمْ لِمَا نَقَلَ قَوْلَ هَؤُلاَءِ. وَقَوْلُ الْبُلْقِيْنِى أَنَّهُ هِبَةٌ (إعانة الطالبين، الجزء 3، ص 51)
Adapun ungkapan yang
terdapat dalam kitab tuhfah yaitu: pendapat yang dianggap kuat tentang
hadiah perkawinan (kado/buwuhan) adalah sebagai hibah (pemberian), dan
keumuman (urf) masyarakat yang menganggap bahwa buwuhan itu hutang tidak
ada pengaruh karena kebiasaan masyarakat tidak tetap, selama dia tidak
mengatakan “ambillah” dan dia berniat menghutangi. I’anah al-Thalibin
juz 3 hal 51
2 Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hutang, apabila memenuhi 3 (tiga) syarat sebagai berikut
Memberikannya dengan ucapan contoh ”ambillah uang ini
Berniat menghutangi
Adanya kebiasaan atau tradisi di masyarakat untuk mengembalikan uang buwuhan.
(I’anah At-Thalibin, Juz 3 hal 52.)
وَالَّذِيْ تَحَرَّرَ مِنْ كَلاَمِ الرَّمْلِى وَابْنِ حَجَرٍ وَحَوَاشِيْهِمَا أَنَّهُ لاَرُجُوْعَ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلأَفْرَاحِ أى لاَيَرْجِعُ بِهِ مَالِكُهُ إِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْفَرَحِ أَوْيَدِ مَأْذُوْنِهِ إِلاَّ بِشُرُوْطٍ ثَلاَثَةٍ أَنْ َيأَتْىِ بِلَفْظِ كَخُذْ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَنْوِىَ الرُّجُوْعَ وَيَصْدِقُ هُوَ أَوْ وَارِثُهُ فِيْهَا وَأَنْ يَعْتَادَ الرُّجُوْعَ فِيْهِ وَإِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ الْمُزَيَّنِ وَنُحُوهُ أَوْ فِي الطَّاسَةِ الْمَعْرُوْفَةِ لاَيَرْجِعُ إِلاَّ بِشَرْطَيْنِ إِذَنْ صَاحَبُ الْفَرَحِ وَشَرْطِ الرُّجُوْعِ كَمَا حَقَّقَّه شَيْخُنَا ح ف إهـ (اعانة الطالبين ج 3 ص 52)
Kesimpulan:
Status hadiah, kado atau
“buwuhan” sebagai hibah apabila si pemberi hadiah, kado atau “buwuhan”
tidak berniat untuk menghutangi kepada penyelenggara walimah
Status hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hutang, apabila si pemberi menyerahkan kepada yang di hiasi (seperti penganten) atau ditempat yang disediakan dan adanya adat atau kebiasaan uang hadiah, kado atau “buwuhan” dikembalikan lagi.
(Hukum Jihaz (Cincin Tunangan dan Sejenisnya)
Dalam menjalin hubungan
pra nikah saat meminang seseorang wanita di sebagian masyarakat terjadi
tradisi yaitu laki-laki menyerahkan harta misalnya cincin atau
sejenisnya. Yang disebut Jihaz (pengikat).
Bagaimanakah status cincin atau sejenisnya itu
Status harta Jihaz sebagai hadiah
Status harta Jihaz sebagai mas kawin
Al-Fatawi al-Kubro, Juz 4 hal 44 ;
(وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ إِمْرَأَةً فَأَجَابُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنَ الْماَلِ يُسَمَّى الْجِهَازُ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْلاَ، بَيَّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فَأَجَاَبَ) بِأَنَّ الْعِبَرَةَ بنِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفْعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ حسَبانِهِ مِنَ الْمَهْرِ حُسِبَ مِنْهُ َإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، أَوْبِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ َعَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زُوَّاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكْهُ وَيَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا (الفتاوى الكبرى ج 4 ص44 )
Ditanyakan” tentang
seorang laki-laki yang melamar wanita lain lantas keluarganya menerima,
kemudian laki-laki tersebut memberikan sesuatu harta yang dinamakan
dengan jihaz (pengikat) kepada mereka, apakah wanita yang dipinang
tersebut berhak memilikinya atau tidak? Jawab ”Sesungguhnya yang
dijadikan pedoman adalah dari si pelamar tersebut, jika dia berniat
memberikannya sebagai hadiah maka wanita pinangamnya berhak memilikinya,
atau jika niatnya sebagai nilai dari maskawin maka akan dianggap
sebagai maskawin untuk wanita yang dipinang. Jika pelamar berniat
sebagai maskawin, namun perkawinan itu gagal atau tidak ada niat sama
sekali, jika si pemberi jihaz berniat menarik kembali pemberiannya maka
si perempuan itu tidak bisa memilikinya dan barang itu harus
dikembalikan”.
Kesimpulan:
1 Apabila si pemberi
jihaz ketika memberikannya berniat atau bertujuan sebagai hadiah maka
wanita yang dipinang berhak untuk memiliki harta tersebut.
2 Apabila tujuan si pemberi jihaz sebagai nilai dari maskawin maka dianggap sebagai maskawin dan wanita berhak memilikinya, tetapi si pemberi jihaz (pelamar) juga boleh menariknya kembali apabila perkawinan gagal dan wanita yang dilamar harus mengembalikannya.
(Menjamak Shalat ketika Hajatan)
Ketika di rumah
menyelenggarakan hajatan seperti acara walimah pengantin, sering kali
kesibukan menyita waktu banyak sehingga kadang-kadang waktu shalat tanpa
disadari berlalu begitu saja.
Untuk menanggulangi kesibukan seperti itu dan demi menjaga kewajiban menunaikan shalat, bolehkah menjama’ shalat ketika ada hajatan atau kerepotan yang lain?
1 Tidak boleh, menurut sebagian ulama’ karena shalat jama’ digunakan pada saat berpergian bukan pada saat berada di rumah.
2 Boleh, menurut Ibnu Sirrin, Al-Qaffal, dan abu Ishaq al-Marwazy, karena menjama’ shalat sebagai kemurahan ketika dalam kondisi sibuk dan hal itu dilakukan bukan sebagai kebiasan.
Hal ini diterangkan dalam kitab Syarah Muslim li an-Nawawi juz 5 hal 219.
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ اِلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِي الْحَاضِرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لاَ يَتَّخِذُهُ عَادَةً وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيْرِيْن وَأَشْهَبُ مِنْ أَصْحِابِ مَالِكٍ وَحَكاَهُ الْخَطَابِي عَنِ الْقَفَالِ وَالشَّاشِى الْكَبِيْرِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِى عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِر (شَرَّحَ مُسْلِمُ لِلنَّوَاوِى فِي أَخِرِ جَوَازِ الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاَةِ ج 5 ص 219 )
sejumlah imam
berpendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat di rumah karena ada
keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini
pendapat Ibnu Sirin, Asyhab, pengikut Imam Malik, Al-Qoffal, Al-Syasyi,
Al-Kabir dari kalangan Asy-Syafi’i dan Abu Ishaq Al-Marwazi dari
kalangan Ahli Hadist. Pendapat ini di pilih oleh Ibnu Mundzir.
(فَائِدَةٌ) لَنَا قَوْلٌ بِجَوَازِ الْجَمْعِ فِيْ السَّفَرِ الْقَصِيْرِ إِخْتَارَهُ الْبَنْدَنِيْجِيْ وَظَاهِرُ الْحَدِيْثِ جَوَازَهُ وَلَوْ فِيْ حَضَرٍ كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ وَحَكَى الْخَطَّابِيْ عَنْ أَبِيْ إِسْحَاق جَوَازَهُ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ. (بغية المسترشدين، ص 77)
Menurut imam
Al-Bandanijiy: Diperbolehkan menjamak shalat ketika dalam bepergian
walaupun dekat seperti halnya yang dijelaskan dalam hadits diriwayatkan
oleh Al-Khottobi dari Abi Ishaq tentang diperbolehkannya menjamak sholat
ketika di rumah karena ada hajat
(KB)
Keluarga Berencana dalam
istilah Arab disebut: Tanzim An-nasl yang berarti: pengaturan keturunan
sebagai upaya atau tindakan yang membantu pasutri untuk
Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan
Mendapatkan kelahiran yang memang
Mengatur jarak (interval) diantara kehamilan
Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri
Menentukan jumlah anak dalam keluarga.
Jadi perlu di perhatikan pengertian KB bukanlah tahdid an-nasl: pembatasan keturunan akan tetapi tanzim An-nasl/pengaturan keturunan dengan metode kontrasepsi (cara pencegahan pembuahan)
Tujuan KB
Untuk mengatur
kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia yang
menjadi dasar terwujudnya masyarakat sejahtera dengan mengendalikan
kelahiran sekaligus dalam rangka menjamin terkendalinya pertumbuhan
pendidikan. Tujuan KB : GBHN, 1973
Metode KB
etode sederhana
Pantang berkala (sistem kalender)
Senggama terputus/coitus interuptus/’azal
Menggunakan alat kondom
Metode modern
Menggunakan Spiral/IUD. Dibagi menjadi 3 kelompok
Kontrasepsi hormoral misalnya
Pil Oral Kombinasi (POK)
Mini Pil, Suntikan dan Subkutia (implant)
Spiral/IUD (memasangnya harus dilakukan oleh suami)
Sterilisasi: Tubektomi (pemotongan tuba falloppi) dan Vasektomi (pemotongan vas deferens)
Kondom
(Hukum KB)
Bagaimana pandangan fiqih mengenai hukum keluarga berencana (KB)
1 Haram
pabila obat yang diminum
atau metode dan alat kontrasepsi yang digunakan menyebabkan tidak
berfungsinya rahim, seperti menggunakan metode Sterilisasi dengan alasan
bisa mengakibatkan:
Pemandulan permanent
Mengubah dan membunuh ciptaan Allah Swt.
Dalam pelaksanaannya melanggar larangan syar’i (melihat aurat mughallazhah)
2 Makruh
Apabila obat yang
diminum atau metode dan alat kontrasepsi yang digunakan bersifat menunda
atau mengatur kehamilan (tidak sampai merusak rahim).
Hukum haram dan makruh ini dijelaskan dalam kitab Al-Bajuri, Juz 2 hal 92 ;
وَكَذَا اِسْتِعْمَالُ اْلإِمْرَأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِئُ الْحَبَلَ وَيَقْطَعُهُ مِِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي اْلأَوَّلِ وَيَحْرُمُ فِي الثَّانِي . (الباجورى على فتح القريب في كتاب النكاح جزء 2 ص 92 )
Demikian halnya wanita
yang menggunakan sesuatu (seperti obat atau alat kotrasepsi) yang dapat
memperlambat kehamilan, hal ini hukumnya makruh. Sedangkan apabila
sampai memutus keturunan maka hukumnya haram.
3 Boleh
Sebagian ulama’ fiqih
berpendapat bahwa hukum dari KB adalah boleh dalam arti tanzim
(pengaturan) bukan tahdid (pembatasan/ pemandulan), pendapat mereka
berdasarkan pada seruan:
Al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا (9)
Dan hendaklah takut
kepada Allah Swt. orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah Swt. dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Hadist Riwayat Abu Hurairah
Sesungguhnya lebih baik
bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada
meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan (meminta-minta) orang
banyak”
Mahmud Syaltut (ahli fiqih kontemporer dari mesir) berpendapat hukum KB adalah boleh karena untuk mengatur interval (jarak) kelahiran dengan alasan untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, pendapatnya tersebut berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: ayat 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Q.S. Al-Baqarah: ayat 233
an berdasarkan hadist riwayat Muslim:
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ
جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ الأَسَدِيَّةِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ
الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ
فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ ». قَالَ مُسْلِمٌ وَأَمَّا خَلَفٌ فَقَالَ
عَنْ جُذَامَةَ الأَسَدِيَّةِ. وَالصَّحِيحُ مَا قَالَهُ يَحْيَى
بِالدَّالِ.
معانى بعض الكلمات : الغيلة : أن يجامع الرجل امرأته وهى ترضع
Saya pernah menginginkan
untuk melarang ghilah, (yaitu berhubungan badan ketika istri dalam masa
menyusui), namun setelah itu saya melihat bangsa Persia zaman romawi
melakukannya dan anak-anak mereka tidak mengalami bahaya kepada ghilah
tersebut”. Shahih Muslim bab Jawazu al-Ghilah.
Hukum KB adalah boleh ketika ada bahaya, seumpama jika seorang ibu terlalu sering/banyak melahirkan anak yang menurut pendapat dokter yang ahli dalam hal ini bisa membahayakan nyawa sang ibu, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada, karena untuk menyelamatkan.
وَكَذَا اِسْتِعْمَالُ اْلإِمْرَأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يَبْطِئُ الْحَبْلَ وَيَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي اْلأَوَّلِ وَيُحْرَمُ فِي الثَّنِي. وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقَهِيَّةِ إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةٌ إهـــ (البجورى على فتح القريب في كتاب النكاح جزء 2 ص 93 )
Demikian halnya wanita
yang menggunakan sesuatu (seperti obat atau alat kotrasepsi) yang dapat
memperlambat kehamilan, hal ini hukumnya makruh. Sedangkan apabila
sampai memutus keturunan maka hukumnya haram, dan ketika dalam keadaan
darurat maka sesuai dengan qaidah fiqhiyah “Ketika terjadi dua mafsadat
(bahaya) maka hindari mafsadat yang lebih besar dengan melakukan
mafsadat yang paling ringan”
BAB MAKANAN
(Kotoran Ikan)
Seringkali kita memasak
lauk pauk, misalnya ikan teri, pindang, atau ikan lain yang belum
dibuang dan dibersihkan kotorannya. Bagaimanakah hukum mengkonsumsi ikan
yang tidak dibuang atau tidak bersih kotorannya?
1 Tidak boleh, karena ‘ainun najasah (kotorannya) masih melekat.
وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ
سَمَكِ مِلْحٍ وَلَمْ يُنْزَعْ مَا فِيْ جَوْفِهِ لِأَنَّهُ فِي أَكْلِ
السَّمَكَةِ كُلِّهَا مَعَ مَا فِيْ جَوْفِهَا مِنَ النَّجَاسَةِ (الفتاوى
الكبرى الفقهية باب المسابقة والمناضلة )
2 Boleh mengkonsumsinya, menurut qaul yang berpendapat hewan yang halal dimakan, maka kotoran hukumnya suci.
(مَسْئَلَةٌ ب) ذَهَبَ بَعْضُهُمْ اِلَى طَهَارَةِ رَوْثِ الْمَأْكُوْلِ (بغية المسترشدين ص 14)
Sebagian ulama’ yang berpendapat terhadap kesucian kotoran hewan yang halal dimakan (Bughyah al-Mustarsyidin, hal.14)
(Hukum Mengkonsumsi Hewan Amphibi (hidup di dua alam)
Hewan yang bisa hidup di
dua alam yakni bisa hidup di daratan juga bisa hidup di air dinamakan
hewan amphibi. Misalnya katak, kepiting, buaya, kura-kura dan lain-lain.
Bagaimanakah pandangan ulama’ tentang hukum mengkonsumsi hewan sejenis
amphibi?
1 Menurut Imam Haramain: Haram mengkonsumsi hewan sejenis amphibi dengan alasan bisa hidup di dua alam.
2 Menurut Imam Baghawy: Halal mengkonsumsi hewan sejenis amphibi kecuali katak.
3 Menurut Qoul Dha’if: Halal mengkonsumsi hewan sejenis amphibi secara keseluruhan.
اَلضَّرْبُ الثَّانِىْ ماَ يَعِيْشُ فِى الْمَاءِ وَفِى الْبَرِّ أَيْضاً اِلَى قَوْلِهِ وَعَدَّ الشَّيْخُ اَبُوْحاَمِدٍ وَاِماَمُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هذَا الضَّرْبِ اَلضِّفْدَعُ وَالسَّرَطاَنُ وَهُمَا مُحَرَّماَنِ عَلىَ الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ وَفِيْهِمَا قَوْلٌ ضَعِيْفٌ أَنَّهُمَا حَلاَلٌ وَحَكاَهُ الْبَغَوِيُّ فِي السَّرَطَانِ عَنِ الْحُلَيْمِىِّ. ( المجموع شرح المهذب ج 9 ص 30 )
Jenis yang kedua adalah
hewan yang bisa hidup di air dan juga di daratan, Abu Hamid
mengkategorikan katak dan kepiting termasuk jenis ini, keduanya hukumnya
haram menurut pendapat yang shahih dan menurut pendapat yang dhaif
hukumnya halal. Sedangkan al-Baghowi mengecualikan katak.
(al-Majmu’, Juz 9, hal. 30)
(Makan Sebelum dan Sesudah Melaksanakan Shalat Ied)
Pada saat sebelum
melaksanakan shalat Idul Fitri dan sesudah shalat Idul Adha, para
jama’ah disunnahkan untuk makan terlebih dahulu, sebagaimana keterangan
sebagai berikut:
عَنْ اِبْنِ بُرَيْدَةِ عَنْ اَبِيْهِ قاَلَ كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَيَطْعَمَ يَوْمَ اْلاَضْحَى حَتَّى يُصَلِّى
Dari ibnu Buraidah dari
ayahnya ia berkata, bahwasannya Rasulullah pada hari raya Idul Fitri
tidak akan keluar, sehingga beliau makan. Dan beliau tidak akan makan
pada hari raya Idul Adha sehingga mengerjakan shalat Idul Adha. (Bulugh
al-Maram, hal. 105)
وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلُ عَلَى شَرْعِيَّةِ اْلأَكْلِ يَوْمَ اْلفِطْرِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَتَأْخِيْرِهِ يَوْمَ اْلأَضْحَى اِلَى مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ (سبل السلام ج 2 ص 65 )
Hadits ini menunjukkan
disyari’atkannya makan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri dan sesudah
shalat Idul Adha. (Subul al-Salam juz 2 hal.65)
Dengan demikian, makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri hukumnya sunnah. Adapun pada hari raya Idul Adha disunnahkan makan sesudah shalat, seperti yang telah dikerjakan oleh Rasulullah Saw.
(Hukum Merokok)
1 Haram
Menurut Syekh Abd. Aziz bin Abdillah bin Baz hukum merokok itu haram secara syar’i karena bisa membahayakan kesehatan (mendatangkan berbagai macam penyakit yang bisa menyebabkan kematian seseorang). Diterangkan dalam kitab: Hukmu Syurbu al-Dukhan Wa Imamati Man, Juz 1 hal. 1-3.
فَقَدْ دَلَّتْ اَلأَدِلَّةُ اَلشَّرْعِيَّةُ عَلىَ أَنَّ شُرْبَ الدُّخَانِ مِنَ اْلأُمُوْرِ اَلْمُحَرَّمَةِ شَرْعًا لِمَا اِشْـتَمَلَ عَلَيْهِ مِنَ اْلأَضْرَارِ ، قاَلَ تَعَالىَ:{وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} فَهِيَ مِنَ الْخَبَائِثِ اَلْمُحَرَّمَةِ، وَيُؤَدِّيَ شُرْبَهَا إِلىَ أَمْرَاضِ مُتَعَدِّدَةِ تُؤْدِيْ إِلىَ الْمَوْتِ، وَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»، فاَلضَّرَرُ بِالْجِسْمِ أَوِ اْلإِضْرَارُ بِالْغَيْرِ مَنْهِيٌ عَنْهُ، فَشُرْبُهُ وَبَيْعُهُ حَرَامٌ. (كتاب حكم شرب الدخان وامامة من جز 1 ص 1-3)
Dalil-dalil syar’i
menunjukkan bahwa sesungguhnya merokok itu termasuk perkara yang
diharamkan karena mengandung banyak bahaya. Allah berfirman “Dan (Allah)
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk”. Maka merokok termasuk perkara buruk yang diharamkan,
menghisapnya menyebabkan penyakit yang menyebabkan kematian. Nabi
bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”. Maka
membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain itu dilarang,
maka menghisap dan menjual rokok itu haram.
Menurut Imam Al Bajuri merokok terkadang juga bisa haram jika membelinya dengan uang jatah nafaqah yang dibutuhkan keluarga atau berkeyakinan tentang bahaya merokok. Diterangkan dalam kitab: al-Bajuri, Juz 1 hal. 343.
وَقَدْ تَعْتَرِيْهِ اْلحَرَمَةُ اِذَا كَانَ يَشْتَرِيْهِ بِمَا يَحْتَاجُهُ نَفَقَةَ عِيَالِهِ اَوْ تَيَقَّنَ ضَرَرَهُ. (كتاب البجوري جز 1 ص: 343)
2 Makruh
Menurut Qaul Mu’tamad,
seperti pendapat Imam Al Bajuri, hukum merokok itu adalah makruh.
Pendapat ini diterangkan dalam kitab: Irsyad al-Ihwan fi Bayani Ahkami
Syurbi al-Qahwah Wa al-Dukhan hal. 37-38.
(اَلْمُعْتَمَدُ اَنَّهُ) اَيْ شُرْبُ الدُّخَانُ (مَكْرُوْهٌ كَمَا يَقُوْلُ اَلْبَاجُوْرِى اَلأََفْقَهُ) مِنْ كِتَابِ الْبُيُوْعِ مِنْ حَاشِيَةِ عَلىَ شَرْحِ اْلغَايَةِ، وَعِبَارَتُهُ بَعْدَ ذِكْرِ الْقَوْلِ باِلْحَرَمَةِ وَهٰذَا ضَعِيْفٌ وَكَذَا اْلقَوْلُ بِأَنَّهُ مُبَاحٌ وَاْلمُعْتَمَدُ أَنَّهُ مَكْرُوْهٌ. ( ارشاد الاخوان: في بيان احكام شرب القهوة والدخان. ص: 38 – 37 )
(Qoul yang mu’tamad)
sesungguhnya merokok itu makruh seperti yang dikatakan oleh Imam
al-Bajuri dari kitab al-buyu’ dari hasyiyah syarah al-Ghoyah,
perkataannya setelah menyebutkan hukum haram, ini pendapat yang lemah,
begitu juga dengan perkataan bahwa hukumnya boleh, dan yang mu’tamad
hukumnya makruh
3 Mubah
Menurut Syekh Ali
al-Ujhuri al-Maliki, merokok dihukumi sebagai sesuatu yang
diperbolehkan, dan pendapatnya tersebut juga di perkuat oleh pendapat
al-‘Arif Abdul Ghani an-Nablusy. Diterangkan di dalam kitab: Takmilah
Hasyiah Rad al-Muhtar, Juz 1 hal. 15.
وَلِلْعَلَّامَةِ الشَّيْخِ عَلِيٍّ الْأُجْهُورِيِّ الْمَالِكِيِّ رِسَالَةٌ فِي حِلِّهِ نَقَلَ فِيهَا أَنَّهُ أَفْتَى بِحِلِّهِ مَنْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ .قُلْت: وَأَلَّفَ فِي حِلِّهِ أَيْضًا سَيِّدُنَا الْعَارِفُ عَبْدُ الْغَنِيِّ النَّابْلُسِيُّ رِسَالَةً سَمَّاهَا ( الصُّلْحُ بَيْنَ الْإِخْوَانِ فِي إبَاحَةِ شُرْبِ الدُّخَانِ ) وَتَعَرَّضَ لَهُ فِي كَثِيرٍ مِنْ تَآلِيفِهِ الْحِسَانِ، ( تكملة حاشية رد المختار جز 1 ص 15 )
4 Wajib
Menurut pendapat Imam
al-Bajuri, hukum merokok itu terkadang bisa wajib apabila akan terjadi
bahaya jika meninggalkannya. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Bajuri,
Juz 1 hal. 343.
بـَلْ قَدْ يَعْتـَرِيْهِ اْلوُجُوْبُ كَمَا يَعْلَمُ الضَّرَرُ بِتَرْكِهِ. (كتاب البجوري جز 1 ص 343)
Al-Tommah al-Kubro
berpendapat kalau menghukumi haram atau makruh itu harus ada dalil
karena keduanya itu adalah hukum syar’i, sedangkan dalam masalah rokok
ini tidak ada dalil (al-Qur’an atau Hadits) yang menetapkannya dengan
hukum haram atau makruh, karena rokok tidaklah membuat mabuk, tidak
mengganggu pikiran juga tidak membahayakan, bahkan ada beberapa
manfaatnya sesuai dengan qoidah “Al-Aslu Fil Asyyaai Al-Ibaakhah”,
karena sesuatu yang membahayakan bagi sebagian orang tidak bisa menjadi
sebab mengharamkan kepada setiap orang. Seperti halnya madu!, pada satu
sisi madu bisa membahayakan bagi orang yang mengidap penyakit kuning dan
memperparah penyakitnya, tetapi di sisi lain madu bisa menjadi obat
bagi penyakit yang lain dengan keterangan yang pasti bahwa madu adalah
obat. Hal ini diterangkan dalam kitab Takmillah Hasiyah Raddul Muhtar ,
Juz 1 hal. 15.
وَأَقَامَ الطَّامَّةَ
الْكُبْرَى عَلَى الْقَائِلِ بِالْحُرْمَةِ أَوْ بِالْكَرَاهَةِ
فَإِنَّهُمَا حُكْمَانِ شَرْعِيَّانِ لَا بُدَّ لَهُمَا مِنْ دَلِيلٍ وَلَا
دَلِيلَ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ إسْكَارُهُ وَلَا
تَفْتِيرُهُ وَلَا إضْرَارُهُ، بَلْ ثَبَتَ لَهُ مَنَافِعُ، فَهُوَ دَاخِلٌ
تَحْتَ قَاعِدَةِ الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ وَأَنَّ فَرْضَ
إضْرَارِهِ لِلْبَعْضِ لَا يَلْزَمُ مِنْهُ تَحْرِيمُهُ عَلَى كُلِّ
أَحَدٍ ، فَإِنَّ الْعَسَلَ يَضُرُّ بِأَصْحَابِ الصَّفْرَاءِ الْغَالِبَةِ
وَرُبَّمَا أَمْرَضَهُمْ مَعَ أَنَّهُ شِفَاءٌ بِالنَّصِّ الْقَطْعِيِّ.
(حاشية رد المختار ج 1 ص0 15)
TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
(Hukum Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat Beragama)
Manusia tidak dapat
hidup tanpa orang lain, oleh sebab itu manusia disebut makhluk sosial
yang saling membutuhkan satu sama lain. Lebih-lebih kita hidup dalam
negara yang penuh keragaman, baik dari segi budaya, status sosial, suku,
budaya maupun agama. Untuk hidup damai dan berdampingan, tentu
dibutuhkan teposeliro (tenggang rasa) atau toleransi antara satu dengan
yang lainnya
Hukum toleransi dalam pergaulan antar umat beragama (pluralitas agama) adalah sebagai berikut
1 Dilarang (haram), apabila dalam berhubungan, rela (ridho) serta meyakini kebenaran aqidah agama lain.
2 Boleh, bergaul atau menjalin hubungan baik dalam urusan dunia saja dengan sebatas dhohir.
Dilarang, tapi tidak menjadi kufur yaitu: Apabila tolong menolong tersebut disertai rasa condong terhadap keyakinan (akidah) agama lain yang disebabkan ada hubungan kerabat atau cinta, tetapi tetap beri’tikad bahwa agama mereka adalah bathil, dan apabila tolong menolong yang disertai rasa condong itu dapat membuat rasa simpati dan rela terhadap agama mereka maka bisa keluar dari agama Islam
3 Tidak dilarang, (bahkan dianjurkan) apabila bertujuan untuk menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau untuk memperoleh kemanfaatan atau kemaslahatan.
Diterangkan dalam kitab: Tafsir Munir Lin Nawawi Juz : I Hal : 94. Kitab Al-Bab Fii ‘Ulumi al-Kitab bab surat Ali Imran juz 5 hal.143. dan dalam Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah juz 4 halaman 291-292:
وَاعْلَمْ اَنَّ كَوْنَ الْمُؤْمِنِ مُوَالِياً لِلْكاَفِرِ يَحْتَمِلُ ثَلاَثَةَ اَوْجُوْهٍ اَحَدُهَا اَنْ يَكُوْنَ رَاضِياً بِكُفْرِهِ وَيَتَوَلاَّهُ لِأَجْلِهِ وَهَذَا مَمْنُوْعٌ لِأَنَّ الرِّضَى بِالْكُفْرِ كُفْرٌ. وَثَانِيْهَا الْمُعَاشَرَةُ الْجَمِيْلَةُ فِى الدُّنْياَ بِحَسَبِ الظَّاهِرِ وَذَلِكَ غَيْرُ مَمْنُوْعٍ. وَثاَلِثُهاَ الرُّكُوْنُ اِلَى الْكُفْرِ وَالْمَعُوْنَةِ وَالنُّصْرَةِ اِمَّا بِسَبَبِ اْلقَرَابَةِ اَوْ بِسَبَبِ الْمَحَبَّةِ مَعَ اعْتِقَادٍ اَنَّ دِيْنَهُ باَطِلٌ فَهَذَا لاَ يُوْجِبُ الْكُفْرَ اِلاَّ اَنَّهُ مَنْهِىٌّ عَنْهُ لِأَنَّ الْمُوَالَةَ هَذَا الْمَعْنَى قَدْ تَجُرُّهُ اِلَى اسْتِحْساَنِ طَرِيْقِهِ وَالرِّضَى بِدِيْنِهِ وَذَلِكَ يَخْرُجُهُ عَنِ اْلاِسْلاَمِ. ( تفسير المنير الجزء 1 صحفة 94 )
Keterangan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah, sebagai berikut:
قَوْلُهُ : ( تَحْرُمُ
مَوَدَّةُ الْكَافِرِ ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ
وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ - - - اِلَخْ ,
أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ
نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر . ( حاشية البجيرمى على
الخاطب , فصل فى الجزية ج 4 ص 291-292 )
Kata pengarang, “Haram
mencintai non muslim” maksudnya, cinta, senang dan condong dengan hati.
Adapun berinteraksi dengan orang-non muslim dalam urusan zhahir adalah
makruh, sedangkan berinteraksi dengan mereka untuk menghindari bahaya
yang berasal dari mereka atau untuk memperoleh manfaat maka tidak
dilarang. (Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii
al-Jizyah, juz 4 halaman 291-292)
(Hukum Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim)
Yang dimaksud dengan non
muslim adalah orang yang bukan beragama Islam termasuk orang Yahudi,
Nasrani, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain.
Dalam hal memberi salam kepada orang non muslim, para ulama’ berbeda pandangan mengenai hal ini:
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa memberi salam kepada orang non muslim itu tidak boleh.
لَا يَجُوْزُ السَّلاَمُ عَلَى الْكُفَّارِ، هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الصَّحِيْحُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ. (المجموع شرح المهذب، ج 4، ص 507)
Tidak diperbolehkan
memberi salam terhadap orang-orang kafir, menurut pendapat (madzhab)
yang sahih yang disepakati mayoritas ulama’. (Al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 507)
رُوِىَ عَنْ سَهْلِ بْنِ اَبِىْ صَالِحٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ لاَ تَبْدَأُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ وَاِذاَ لَقِيتُمْ فِى الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ اِلَى اَضْيَقِهِ (المجموع شرح المهذب، ج 4، ص 508)
Diceritakan dari sahal
bin Abi shaleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi bersabda:
janganlah engkau memberi salam kepada orang Yahudi dan orang Nasrani,
dan ketika kamu bertemu di jalan, maka bergeserlah ke jalan yang lebih
sempit. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 508)
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa memberi salam kepada orang non muslim hukumnya boleh.
وَحَكَى الْمَاوَرْدِي فِي الْحَاوِي فِيْهِ وَجْهَيْن أَحَدُهُمَا هَذَا، وَالثَّانِيْ: يَجُوْزُ ابْتِدَاؤُهُمْ بِالسَّلَامِ، لَكِنْ يَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ، وَلَا يَقُوْلُ عَلَيْكُمْ . وَهَذَا شَاذُّ ضَعِيْفٌ. (المجموع شرح المهذب، ج 4، ص 507)
Dalam kitab Hawy Imam
Mawardi menceritakan bahwa memberi salam kepada orang non muslim ada dua
macam: yang pertama tidak boleh, kedua: boleh memberi salam kepada
orang non muslim, akan tetapi dengan mengucapkan as-Salamu ‘Alaika.
Jangan mengucapkan as-Salamu ‘alaikum. Pendapat ini lemah dan langka.
(Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 507)
عَنْ اَبِىْ اُمَامَةِ اْلبَاهِلِى اَنَّهُ كاَنَ لاَيَمُرُّ بِأَحَدٍ مِنَ الْيَهُودِي وَالنَّصَارَى اِلاَّ بِإِفْشاَءِ السَّلاَمِ عَلَيْهِمْ وَقاَلَ اَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ سَلَامِ كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُعَاهَدٍ
Diceritakan dari Abi
Umamah al-Bahali, sesungguhnya dia tidak pernah berjalan bertemu orang
yahudi kecuali dengan memberi salam kepada mereka. Abu Umamah berkata:
Rasulullah memerintah kepada kita supaya menebar salam kepada setiap
orang Islam dan orang kafir mu’ahad (orang kafir yang berjanji kepada
pemerintah akan tunduk dan patuh pada undang-undang Negara)
(Hukum Mengucapkan Salam Menggunakan Selain Bahasa Arab)
Ucapan salam sering kita
dengar di suatu acara atau setiap kali bertemu sanak famili, teman
maupun saudara, namun salam yang diucapkan itu berbeda-beda, ada yang
menggunakan bahasa arab dan juga ada yang menggunakan bahasa selain
bahasa arab (selain ucapan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh)
seperti dengan bahasa Jawa (sugeng injing, sugeng dalu), dengan bahasa
Indonesia seperti selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat
malam, salam kebangsaan, salam damai, salam sejahtera atau dengan bahasa
Inggris seperti hello, good morning, good afternoon dan masih banyak
lagi bahasa yang lain.
Bagaimanakah pandangan fiqih mengenai hukum ucapan salam selain bahasa arab tersebut?
Menurut imam Rafi’i ada tiga wajah
1 Tidak cukup
2 Sudah mencukupi
3 Jika mampu menggunakan bahasa arab maka tidak mencukupi, tetapi kalau tidak bisa bahasa arab maka sudah mencukupi.
4 Sah dan wajib menjawab bagi orang yang disalami jika bisa memahami maksudnya (pendapat yang shahih bahkan benar).
Keterangan kitab Al-Majmu’, Juz 4 hal 505;
حَكَى الرَّافِعِىُّ فِي السَّلاَمِ بِالْعَجَمِيَّةِ ثَلاَثَةَ أَوْجُهٍ اَحَدُهَا لاَ يُجْزِئُ وَالثَّانِيْ يُجْزِئُ وَالثَّالِثُ إِنْ قَدَرَ عَلَى الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يُجْزِئْهُ وَإِلاَّ فَيُجْزِئُهُ وَالصَّحِيْحُ بَلِ الصَّوَابُ صِحَّةُ سَلاَمِهِ بِالْعَجَمِيَّةِ وَوُجُوْبُ الرَّدِّ عَلَيْهِ إِذَا فَهِمَهُ الْمُخَاطَبُ سَوَاءٌ عَرَفَ الْعَرَبِيَّةَ اَمْ لاَ ِلأَنَّهُ يُسَمَّى تَحِيَّةً وَسَلاَمًا، وَاَمَّا مَنْ لاَ يَسْتَقِيْمُ نُطْقَةً بِالسَّلاَمِ فَيَسْلِمُ كَيْفَ اَمْكَنَهُ بِاْلإِتِّفَاقِ ِلأَنَّهُ ضَرُوْرَةٌ إهـ ( المجموع شرح المهذب الباب صفة السلام واحكامه جزء 4 ص 505 )
Imam Rofi’i mengemukakan
tiga pendapat tentang salam dengan menggunakan bahasa selain bahasa
arab, 1. Tidak cukup, 2. Cukup, 3. Jika mampu menggunakan bahasa arab
maka tidak cukup, tetapi kalau tidak bisa maka cukup, sedangkan pendapat
yang shahih bahkan benar salam sah menggunakan bahasa apa saja selain
bahasa arab dan wajib menjawab bagi orang yang disalami jika bisa
dipahami maksudnya baik yang mengucapkan salam bisa bahasa arab atau
tidak bisa, karena salam selain bahasa arab bisa disebut sebagai
penghormatan dan ucapan selamat, sedangkan bagi orang yang tidak mampu
mengucapkan salam maka para ulama’ sepakat baginya tetap disunnahkan
salam sebisanya karena darurat
Penjelasan
Ucapan “Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu” adalah sebagai tanda penghormatan dan
ucapan doa selamat, demikian pula ucapan salam dengan menggunakan
berbagai bahasa yang bisa dimengerti, bahkan menurut kesepakatan para
ulama’ “bagi orang yang tidak mampu mengucapkan salam dengan bahasa arab
disunnahkan mengucapkan salam dengan menggunakan bahasa selain bahasa
Arab yang mudah dimengerti atau mudah dipahami.
BUDAYA DAN ETIKA
(Panggilan Sayyidina)
Banyak cara dalam upaya memuliakan dan memberi penghormatan pada orang lain misalnya panggilan gus atau mas bagi putra kyai, raden ageng atau pangeran bagi keluarga kerajaan. Begitu pula dengan panggilan sayyid artinya tuan besar. Di kalangan masyarakat NU sering lafadz sayyidina diucapkan tatkala menyebut nama Nabi dan para sahabatnya.
Penyebutan sayyidina pada Nabi Muhammad bertujuan memberikan penghormatan, dan lebih bersopan santun kepada Nabi Muhammad Saw. Dan hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, sebagaimana keterangan di bawah ini:
حَدَّثَنِى الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى أَبُو صَالِحٍ حَدَّثَنَا هِقْلٌ - يَعْنِى ابْنَ زِيَادٍ - عَنِ الأَوْزَاعِىِّ حَدَّثَنِى أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنِى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ ». (صحيح مسلم, باب تفضيل نبينا على بعض )
Telah bercerita kepadaku
al-Hakam bin Musa Abu Shalih, telah bercerita kepadaku Hiql (yaitu Ibnu
Ziyad) dari al-Auza’i, telah bercerita kepadaku Abu Ammar, telah
bercerita kepadaku Abdullah bin Farrukh, telah bercerita kepadaku Abu
Hurairah, dia berkata “Rasulullah Saw. Bersabda: “Aku adalah sayyid bagi
manusia di hari kiamat dan orang yang pertama kali bangkit dari alam
kubur, pertama kali sebagai pemberi syafa’at dan yang di syafa’ati”.
(Shahih Muslim: bab Tafdhil Nabiyina ‘ala Jamii’)
وَقَوْلُهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا َاْلأَوْلَى ذِكْرُ السِّياَدَةِ، ِلاَنَّ اْلاَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلاَدَبِ. (الباجورى على ابن قاسم ج 1 ص 156 )
Setiap kali menyebut
nama Muhammad Rasulullah, yang lebih utama adalah menambah dengan
sayyidina, karena lebih utama dengan jalan/cara sopan santun. (al-Bajuri
ala Ibni Qasim Juz 1, hal. 156)
Dan dalam kitab Tafsir al-Baghawi, Imam Mujahid dan Imam Qotadah berkata: Janganlah kamu sekalian memanggil nama Nabi dengan namanya secara langsung (wahai Muhammad), tetapi panggillah dengan penuh tawadhuk dan lemah lembut. Misalnya memanggil dengan nama keagungan dan kebesarannya: Wahai Rasulullah, dan lain-lain.
وَقاَلَ مُجَاهِدٌ وَقَتاَدَةُ: لاَ تَدْعُوْهُ بِاسْمِهِ كَمَا يَدْعُوْ بَعْضَكُمْ بَعْضًا: ياَ مُحَمَّدُ، ياَ عَبْدَ اللهِ، وَلَكِنْ فَخَّمُوْهُ وَشَرِّفُوْهُ، فَقُوْلُوْا: ياَ نَبِيَّ اللهِ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ، فِيْ لَيِّنٍ وَتَوَاضُعٍ ( تفسير البغوى ج 3 ص 433 )
(Berdiri untuk Menghormati Seseorang)
Sudah tidak asing lagi
di kalangan pesantren dan masyarakat apabila ada seorang kyai atau
ulama’ lewat mereka berdiri untuk menghormati kyai tersebut.
Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmu kyai tersebut.
Bagaimanakah hukum berdiri untuk penghormatan tersebut?
Mayoritas ulama’ membolehkan berdiri untuk menghormati seseorang yang datang. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ( المجادلة اية 11
Hai orang-orang beriman
apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadalah:11
ذَهَبَ جُمْهُوْرُ اْلفُقَهَاءِ اِلَى جَوَازِ اْلقِيَامِ لِلْقاَدِمِ اِذَا كاَنَ مُسْلِمًا مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ وَالصَّلاَحِ عَلَى وَجْهِ التَّكْرِيْمِ لِأَنَّ احْتِرَامَ الْمُسْلِمِ وَاجِبٌ وَتَكْرِيْمَهُ لِدِيْنِهِ وَصَلاَحَهُ مِمَّا يَدْعُوْ اِلَيْهِ اْلاِسْلاَمُ لِأَنَّهُ سَبِيْلُ الْمَحَبَّةِ وَالْمَوَدَّةِ وَقَدْ قاَلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ (لاَ تَحْقَرِنْ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْأً وَلَوْ أَنْ تَكَلَّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنَبِّسَطٌ اِلَيْهِ بِوَجْهِكَ) . (روائع البيان في تفسير ايات الأحكام, ج 2 ص 454)
Mayoritas
ulama’ mengatakan bahwa boleh berdiri untuk (menghormati) orang Islam
yang mulia dan baik, dengan tujuan untuk menghormatinya. Menghormati
seseorang karena agama dan kebaikannya, termasuk perbuatan yang sangat
dianjurkan oleh agama dan karena perbuatan itu merupakan jalan untuk
menambah rasa cinta dan kasih sayang. Nabi bersabda janganlah kamu
meremehkan perbuatan baik (yang dilakukan seseorang), sekalipun (dalam
bentuk) kamu berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.
(Rawaai’ al-Bayan Fii Tafsiri Ayat al-Ahkam, juz II, hal.404)
(Jabat Tangan dengan Dicucup atau Dicium)
Sering kali kita melihat
seseorang saat bertemu atau berjumpa dengan temannya yang lain mereka
saling berjabat tangan, terutama di lingkungan pondok pesantren. Etika
ini juga dilakukan oleh santri saat berhadapan dengan orang tua, kyai,
atau guru mereka, namun tidak hanya berjabat tangan, melainkan dengan
mencium atau mencucup tangan mereka yang dipandang mulia, bahkan ada
sebagian dari santri yang mencium kaki kyainya (sebagai wujud
penghormatan kepada gurunya)
Namun terkadang hal ini dipandang sebelah mata oleh sebagian orang sebagai upaya pengkultusan atau budaya patron yang kurang baik. Bagaimanakah sebenarnya pandangan agama terhadap perilaku jabat tangan dengan cara mencium, mencucup tangan atau bahkan mencium kaki?
1 Makruh, apabila dilakukan terhadap orang kaya karena kekayaannya.
وَافَقَ النَّوَوِيُّ بِكَرَاهَةِ اْلاِنْحِنَاءِ وَتَقْبِيْلِ نَحْوِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ لاَ سِيَمَا لِنَحْوِ غَنِيٍّ لِحَدِيْثٍ : "مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ" . وَيُنْدَبُ ذَلِكَ لِنَحْوِ صَلاَحٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ شَرَفٍ (بغية المسترشدين ص 296 )
Imam Nawawi sepakat
terhadap hukum makruh merunduk dan mencium tangan atau kaki apalagi
kepada orang kaya, berdasarkan hadits “Barang siapa bertawadhu’ terhadap
orang kaya maka hilanglah 2/3 agamanya”. Dan disunnahkan mencium atau
merunduk kepada orang-orang saleh, orang-orang yang berilmu dan
orang-orang mulia. (Bughya al-Mustarsyidin hal 296)
2 Sunnah, apabila itu dilakukan kepada orang-orang yang mulia dan orang yang sudah tua.
وَافَقَ النَّوَوِيُّ بِكَرَاهَةِ اْلاِنْحِنَاءِ وَتَقْبِيْلِ نَحْوِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ لاَ سِيَمَا لِنَحْوِ غَنِيٍّ لِحَدِيْثٍ : "مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ" . وَيُنْدَبُ ذَلِكَ لِنَحْوِ صَلاَحٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ شَرَفٍ (بغية المسترشدين ص 296 )
Imam Nawawi sepakat
terhadap hukum makruh merunduk dan mencium tangan atau kaki apalagi
kepada orang kaya, berdasarkan hadits “Barang siapa bertawadhu’ terhadap
orang kaya maka hilanglah 2/3 agamanya”. Dan disunnahkan mencium atau
merunduk kepada orang-orang saleh, orang-orang yang berilmu dan
orang-orang mulia.
(Bughya al-Mustarsyidin hal 296)
Menurut Imam al-Hafidz al-Iraqi Ra.: Mencium badan, tangan dan kaki orang-orang saleh atau orang-orang mulia dengan niatan untuk mendapatkan berkah (tabarukan) adalah perbuatan baik dan terpuji.
وَقَالَ اَلْحَافِظْ اَلْعِرَاقِيْ : وَتَقْبِيْلُ اْلأَمَاكِنِ الشَّرِيْفَةِ عَلَى قَصْدِ التَّبَرُّكِ وَأَيْدِيْ الصَّالِحِيْنَ وَأَرْجُلِهِمْ حَسَنٌ مَحْمُوْدٌ بِاعْتِبَارِ الْقَصْدِ وَالنِّيَةِ اهـ. (بغية المسترشدين ص 296 )
Imam Hafidz al-Iraqi Ra.
berkata: Mencium badan, tangan atau kaki orang-orang yang dianggap
mulia dengan maksud mendapatkan berkah, adalah perbuatan baik dan
terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya
(Bughya al-Mustarsyidin hal 296)
Budaya mencium tangan ulama’, kyai, ahli zuhud dan orang yang sudah tua, sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. seperti contoh: sahabat Abu Ubaidah mencium tangan sahabat umar, sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan sahabat ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. Sebagaimana keterangan berikut ini:
وَرَوَى اِبْنُ حِباَّنِ اِنَّ كَعْباً قَبَّلَ يَدَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لَمَّا نَزَلَتْ تَوْبَتُهُ. (بغية المسترشدين ج 1 ص 638)Sesungguhnya Ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. (HR. Ibnu Hibban). (Bughya al-Mustarsyidin hal 638)
(Mahal al-Qiyam, (Berdiri Ketika Membaca Barzanji)
Ketika membaca shalawat
barzanji, ketika sampai bacaan “Ya Nabi Salam ‘Alaika” biasanya
orang-orang melantunkannya sambil berdiri yang dikenal dengan istilah
Mahal al-Qiyam. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa berdiri ketika
membaca shalawat adalah bid’ah syayyiah sebab tidak ada dalil yang
membenarkannya, benarkah begitu?. Dan sebetulnya bagaimanakah hukum
berdiri ketika membaca shalawat?
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan ibadah yang sangat terpuji. Tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad Saw. Salah satu cara untuk mengagungkan seseorang adalah dengan cara berdiri. Oleh karena itu boleh hukumnya berdiri ketika membaca shalawat Nabi Saw. Sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Bayan Wa al-Ta’rif Fii Dzikri al-Maulid al-Nabawi, hal.29-30:
وَيَقُوْلُ اَلْبَرْزَنْجِىُّ فِىْ مَوْلِدِهِ الْمَنْثُوْرِ هٰذَا وَقَدْ اِسْتَحْسَنَ الْقِيَامُ عِنْدَ ذِكْرِ مَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ اَئِمَّةِ ذُوْ رِوَايَةٍ, وَرِوَيَةٌ اِلَخْ فَطُوْبَى لِمَنْ كاَنَ تَعْظِيْمَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غاَيَةَ مَرَامِهِ وَمَرْماَهُ وَنَعْنِيْ بِالْاِسْتِحْسَانِ باِلشَّيْئِ هُناَ كَوْنُهُ جاَئِزًا مِنْ حَيْثُ ذَاتِهِ وَاُصُلِهِ وَمَحْمُوْدًا وَمَطْلُوْباً مِنْ حَيْثُ بِوَاعِثِهِ وَعَوَاقِبِهِ اِلَخْ لاَ بِالْمَعْنىَ الْمُصْطَلَحِ عَلَيْهِ فِيْ اُصُوْلِ الْفِقْهِ (البيان والتعريف فى ذكر المولد النبوى ص 29-30)
Imam al-Barzanji dalam
kitab maulidnya, yang berbentuk prosa mengatakan sebagian ulama’ ahlu
hadits yang mulia itu mengaggap baik (istihsan) berdiri ketika
disebutkan sejarah kelahiran Nabi. Betapa beruntungnya orang yang
mengagungkan Nabi Saw. Yang dimaksud dengan istihsan disini ialah jaiz
(boleh) dilihat dari aspek perbuatan itu sendiri serta asal usulnya, dan
dianjurkan dari sisi tujuan dan dampaknya. Bukan dari istihsan dalam
pengertian ilmu usul fiqh. (Al-Bayan Wa al-Ta’rif Fii Dzikri al-Maulid
al-Nabawi,, hal. 29-30)
Berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, maka seluruh peserta diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati Sang Saka Merah Putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa.
Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, maka berdiri untuk menghormati Nabi tentu lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi dari bentuk penghormatan. Bukankah Nabi Saw. Adalah manusia yang teragung yang lebih layak di hormati dari pada yang lain. Oleh sebab itu Imam Nawawi berpendapat:
اَلْقِياَمُ لِلْقاَدِمِ مِنْ اَهْلِ الْفَضْلِ مُسْتَحَبٌّ وَقَدْ جَاءَ فِيْهِ اَحاَدِيْثٌ وَلَمْ يَصَحْ فِى النَّهِىْ عَنْهُ شَيْئٌ صَرِيْحٌ (صحيح مسلم بشرح النووى رقم ج 12 ص 80 )
Berdiri untuk
(menyambut) kedatangan orang yang mempunyai keutamaan itu dianjurkan.
Ada banyak hadits yang menerangkan hal tersebut. Tidak ada dalil yang
secara nyata menyatakan larangan berdiri itu. (Shahih Muslim Bi Syarh
al-Nawawi, juz XII, hal.80)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu bentuk penghormatan, berdiri menyambut kedatangan orang terhormat itu dianjurkan. Maka berdiri untuk menghormat Nabi ketika membaca shalawat itu lebih dianjurkan.
(Hukum Membaca Manaqib Syeh Abdul Qodir atau Manaqib yang Lainnya)
Di kalangan masyarakat
Islam Indonesia seringkali kita temukan adanya kegiatan pembacaan
manaqib Syeh Abdul Qadir al-Jilany. Bagaimanakah hukum tradisi tersebut?
Manaqib adalah sejarah atau biografi seorang ulama’ yang mempunyai nilai-nilai yang patut untuk dijadikan suri tauladan seperti halnya Syeh Abdul Qadir al-Jilany. Adapun pembacaan manaqib beliau tidak lain adalah untuk mencari dan mendapatkan berkah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat di depan para wali baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Jala’ al-Dzulam ‘Ala ‘Aqidah al-‘Awam.
اِعْلَمْ يَنْبَغِىْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبُ اْلفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ اَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكاَتِ وَالنَّفَحاَتِ وَاسْتِجاَبَةِ الدُّعاَءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِى حَضْرَاتِ الْلاَوْلِياَءِ فِى مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ اَحْياَءً وَاَمْوَاتاً وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحاَلَ ذِكْرِهِمْ وَكَثْرَةِ الْجُمُوْعِ زِياَرَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكِرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ (جلاء الظلام على عقيدة العوام)
Ketahuilah! Seyogyanya
bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan agar ia mencari
berkah dan anugerah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat di depan para
wali, di majelis-majelis perkumpulan mereka, baik masih hidup maupun
sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika
banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika
mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka. (Jala’u
al-Dzulam ‘Ala ‘Aqidah al-‘Awam)
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa pembacaan manaqib orang yang shalih adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan.
(Hukum Berjabat Tangan dengan Ghoiru Mahrom)
1 Tidak Boleh
Menurut jumhur ulama’
hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita lain (ghoiru
mahrom) adalah tidak diperbolehkan. Hal ini diterangkan dalam kitab
Tanwir al-Qulub hal. 199 dan Hasiyah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir.
وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلاَمْرَادُ الْجَمِيْلُ ( تنوير القلوب ص 199)
قَوْلُهُ: [ وَلاَ تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ ]: أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ ، ( حاشية الصاوى على الشرح الصغي
2 Makruh
Menurut Imam Ahmad bin
Hambal, hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dengan perempuan
lain adalah makruh. Hal ini diterangkan dalam kitab Masail al-Imam Ahmad
bin Hambal
وَكَرَهَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ مُصَافَحَةَ النِّسَاءِ، وَشَدَّدَ أَيْضاً حَتَّى الْمُحْرِمِ. ( مسائل الامام احمد بن حنبل
3 Boleh
Menurut Syekh Muhammad
Amin al-Kurdi, hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dan
perempuan boleh tetapi dengan syarat harus menggunakan satir seperti
kaos tangan atau yang lainnya.
وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلاَمْرَادُ الْجَمِيْلُ ( تنوير القلوب ص 199)
Dalam kitab Syarhu an-Nail Wasyifaul ‘alil juz 9 hal 436 dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa berjabat tangan dengan orang yang alim maka fadhilahnya adalah seperti berjabat tangan denganku (Rasulullah)”. Dari sinilah diperbolehkan berjabat tangan bagi orang perempuan, bocah atau budak wanita kepada para alim yang betul-betul menyatukan hatinya dengan Allah Swt.
فَصْلٌ " لاَ تَفْتَرِقُ كَفَّا مُتَصَافِحَيْنِ فِي اللَّهِ حَتَّى تَتَنَاثَرَ ذُنُوبُهُمَا كَالْوَرَقِ " رُوِيَ ذَلِكَ ، وَأَنَّهُ " مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي " ، وَجَازَتْ مُصَافَحَةُ مُوَحِّدٍ وَإِنْ أُنْثَى أَوْ صَغِيرًا ، أَوْ رَقِيقًا إنْ لَمْ يَكُنْ كَبَاغٍ . ( شرح النيل وشفاء العليل
(Macam-Macam Batasan Aurat)
Definisi Aurat
Aurat adalah bagian
tubuh manusia yang tabu dan dosa untuk diperlihatkan kepada orang lain
kecuali terhadap makhrom atau suami dan istri sendiri. Secara umum aurat
itu dibagi menjadi dua yaitu
1 Aurat Ghalidhah (yaitu Qubul, lubang depan yang biasanya disebut dzakar atau vagina dan dubur, yaitu lubang belakang atau anus
2 Aurat Khafifah yaitu seluruh anggota tubuh selain dari qubul dan dubur. Keterangan dalam kitab al-Jauhar al-Nirah, Juz 1 hal. 189.
الْعَوْرَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ: غَلِيظَةٌ كَالْقُبُلِ وَالدُّبُرِ ، وَخَفِيفَةٌ وَهِيَ مَا عَدَاهُمَا
(Kriteria Pembagian Batasan Aurat)
Pendapat berbagai Ulama’ dalam membagi kriteria aurat secara terperinci diuraikan di bawah ini
Aurat Laki-Laki
Menurut pendapat madzhab
Syafi’iyah, aurat orang laki-laki di dalam shalat dan di luar shalat
adalah anggota tubuh mulai dari pusar sampai dengan lutut. Diterangkan
di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 4 hal. 12-14 dan kitab I’anah
al-Thalibin, Juz 1 Fasal Fii Syuruti Al-Shalat
وَالْعَوْرَةُ مِنَ الرَّجُلِ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إلَى الرُّكْبَةِ ( قَوْلُهُ وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ ) هُوَ تَتِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرَادُ الْعَوْرَةُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا بِقَرِينَةِ الْإِظْهَارِ فِي مَحَلِّ الْإِضْمَارِ ا هـ
Menurut Imam Zarkasyi, aurat pria di luar shalat dan ketika berada di tempat yang sepi adalah hanya dubur dan dzakar (alat kelaminnya) saja. Hal ini diterangkan dalam kitab: Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, juz 3 hal. 467 dan kitab Tuhfah al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj, Juz 6 hal. 243.
قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنَ الرَّجُلِ
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, aurat orang laki-laki di luar shalat adalah hanya kubul dan dubur saja. Diterangkan dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin bab Fii Syuruti al-Shalat hal 34.
فائدة : قاَلَ فِي الْقَلاَئِدِ : لَناَ وَجْهٌ أَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ فِيْ غَيْرِ الصَّلاَةِ اَلْقُبُلُ وَالدُّبُرُ فَقَطْ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ اهـ ( بغية المسترشدين باب شروط الصلاة ص 34
Dalam kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 1 hal. 411. diterangkan bahwa aurat orang laki-laki di dalam shalat hanyalah qubul (dzakar) dan dubur (anus) saja. Tetapi pendapat ini hanya khusus untuk orang laki-laki saja tidak berlaku bagi budak perempuan (amat)
قَوْلُهُ أَيْضًا بِجَامِعِ أَنَّ رَأْسَ كُلٍّ مِنْهُمَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ أَيْ: فِي الصَّلَاةِ نَعَمْ يَفْتَرِقَانِ فِي أَنَّ لَنَا وَجْهًا بِأَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ خَاصَّةً وَهُوَ لَا يَجْرِي فِي الْأَمَةِ
Dikatakan, Imam Malik juga berpendapat bahwa aurat yang wajib ditutupi bagi orang laki-laki dan amat (budak perempuan) adalah dua alat kelaminnya saja. (Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 256.
وَخَرَجَ بِذَلِكَ السُّرَّةُ وَالرُّكْبَةُ فَلَيْسَا بِعَوْرَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ وَقِيْلَ الَرُّكْبَةُ مِنْهَا دُوْنَ السُّرَّةِ وَقِيْلَ عَكْسُهُ وَقِيْلَ اَلسَّوْاَ تَانِ فَقَطْ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ.
Dan menurut Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi perintah menutupi aurat itu adalah bertujuan untuk memuliakan dan menjaga kemaluan, tidak untuk merendahkan dan menghinakannya, karena kemaluan adalah termasuk barang yang tabu dan jijik apabila terbuka atau telanjang dan tidak buruk secara dhahir dan hakikinya. Barang yang harus ditutupi itu adalah qubul (dzakar atau vagina) dan dubur (anus) sebagaimana dijelaskan di dalam kitab: Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir, Juz 1 bab Satru al-Aurat.
قَوْلُهُ: (وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ): السَّتْرُ بِفَتْحِ السِّينِ لِأَنَّهُ مَصْدَرٌ ، وَأَمَّا بِالْكَسْرِ فَهُوَ مَا يَسْتَتِرُ بِهِ . وَالْعَوْرَةُ: مِنْ الْعَوَرِ ، وَهُوَ الْقُبْحُ لِقُبْحِ كَشْفِهَا لَا نَفْسِهَا ، حَتَّى قَالَ مُحْيِي الدِّينِ بْنُ الْعَرَبِيِّ: الْأَمْرُ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ لِتَشْرِيفِهَا وَتَكْرِيمِهَا لَا لِخِسَّتِهَا فَإِنَّهُمَا – يَعْنِي الْقُبُلَيْنِ - مَنْشَأُ النَّوْعِ الْإِنْسَانِيِّ الْمُكَرَّمِ الْمُفَضَّلِ. ا هـ
(Aurat Wanita)
Pendapat dari pengikut
madzhab Syafi’iyah, bahwa aurat wanita di luar shalat ketika bersama
orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya. Sebagaimana diterangkan
dalam kitab: Matan Safinah an-Najah, hal. 12.
وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَا نِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ.
Aurat orang perempuan ketika shalat adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini diterangkan dalam kitab Hasyiah Bujairami, Juz 4 hal. 74 dan Hasyiah al-Jamal, Juz 4 halaman. 12-14.
(وَ) عَوْرَةُ (حُرَّةٍ غَيْرُ وَجْهٍ وَكَفَّيْنِ) ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:{وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَإِنَّمَا لَمْ يَكُونَا عَوْرَةً ؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إلَى إبْرَازِهِمَا.
Imam Muzani, telapak kaki orang perempuan dalam shalat maupun di luar shalat adalah bukan termasuk aurat. Diterangkan dalam kitab Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 257.
وَفِيْ قَوْلِهِ اَوْ وَجْهٌ أَنَّ بَاطِنَ قَدَمَيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَة وَقَالَ الْمُزَانِيْ لَيْسَ القَدَمَانِ عَوْرَةً
Dikatakan aurat orang
perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi
adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.
Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj juz 1 hal 411.
وَاَمَّا فِى الْخَلْوَةِ فَكاَلْمَحَارِمِ وَقِيْلَ كَالرَّجُلِ ( حاشية الجمل على شرح المنهاج ج 1 ص 411 )
Imam al-Zarkasyi berpendapat dalam kitab Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, Juz 3 hal. 467. bahwa orang perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.
قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنْ الرَّجُلِ, وَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ مِنْ الْمَرْأَةِ
Dalam kitab Matan Sulam al-Safinah, hal 12-13: aurat orang perempuan adalah dari pusar sampai dengan lututnya saja ketika bersama muhrimnya atau ketika bersama dengan sesama wanitanya.
وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَانِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ وَعِنْدَ مَحَارِمِهَا واَلنـِّسَاءِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
(Aurat Budak atau Hamba Sahaya)
penganut madzhab Syafi’i
aurat budak ketika shalat adalah seperti auratnya wanita khurri (wanita
merdeka) yaitu seluruh tubuhnya kecuali kepala, wajah dan kedua telapak
tangannya, diterangkan dalam kitab: Hasyiah Qulyubi wa ‘Amirah, Juz 3
hal. 442. dan bisa dilihat dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 46.
وَالثَّانِي عَوْرَتُهَا (أي اْلأَمَةُ) كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا، أَيْ عَوْرَتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ.
Menurut qoul yang lebih shahih seperti yang telah diterangkan oleh Imam al-Baihaqi aurat budak ketika shalat maupun di luar shalat adalah seperti auratnya orang laki-laki yaitu antara pusar sampai dengan lutut.
Keterangan kitab Fathu al-Wahab, Juz 1 hal. 87 dan kitab Hasyiah Qulyubi Wa ‘Umairah, Juz 3 hal. 442.
(وَ) ثَالِثُهَا (سَتْرُ
الْعَوْرَةِ) صَلَّى فِي الْخَلْوَةِ أَوْ غَيْرِهَا، فَإِنْ تَرَكَهُ مَعَ
الْقُدْرَةِ لَمْ تَصِحَّ صَلاَ تُهُ (وَعَوْرَةُ الرَّجُلِ) حُرًّا كَانَ
أَوْ عَبْدًا (مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ) لِحَدِيثِ
الْبَيْهَقِيّ، وَإِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ أَمَتَهُ عَبْدَهُ أَوْ
أَجِيرَهُ فَلَا تَنْظُرُ إلَى عَوْرَتِهِ، وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ
السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، (وَكَذَا اْلأَمَةُ) عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ
السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ (فِي اْلأَصَحِّ) إلْحَاقًا لَهَا بِالرَّجُلِ.
(Aurat Karyawati (Wanita Karier)
Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali kepala.
وَفِيْهِ وَجْهٌ اَنَّ جَمِيْعَ ذٰلِكَ عَوْرَةٌ كَمَا فِيْ حَقِّ الْحُرَّةِ سِوَى الرَّأْسِ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )
Aurat karyawati adalah
seluruh badan, kecuali anggota badan yang tampak dan terbuka ketika
bekerja, seperti kepala, leher, lengan tangan dan ujung betis. Karena
anggota tersebut butuh untuk dibuka dan sulit untuk menutupnya.
(وَالثَّانِيَّةُ) مَا يَبْدُو وَيَنْكَشِفُ فِِِي حَالِ الْمِهْنَةِ فَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ مِنْهَا وَهُوَ الرَّاْسُ وَالرَّقَبَةُ وَالسَّاعِدُ وَطَرْفُ السَّاقِ لِاَنَّهَا تَحْتَاجُ اِلَي كَشْفِهِ وَيَعْسُرُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )
ثَالِثَتُهَا جَمِيْعُ الْبَدَنِ إِلاَّ مَا يَظْهَرُ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْكَافِرَاتِ (نهاية الزين ص 47 )
Aurat Khuntsa (orang yang mempunyai dua jenis kelamin)
Aurat khuntsa adalah semua badannya sebagaimana wanita merdeka. (Hasyiyah Qulyubi bab Suruti al-Shalat juz 1)
عَوْرَةُ الْخُنْثَى الرَّقِيْقِ لاَ تَخْتَلِفُ , وَالْخُنْثَى الْحُرِّ كَاْلأُنْثَى الْحُرَّةِ , اِبْتِدَاءً وَكَذَا دَوَامًا , عِنْدَ شَيْخِنَا الرَّمْلِيُّ وَخَالَفَهُ الْخَطِيْبُ (حاشية قليوبى باب شروط الصلاة ج 1
Aurat khuntsa adalah
semua anggota badannya, kecuali wajah, kedua telapak tangan dan
kepalanya. Diterangkan dalam kitab Khawasyi al-Syarwani, Juz 2 hal 120.
وَ الْخُنْثَى (فِي
اْلأَصَحِّ) عَوْرَتُهَا كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا ، أَيْ عَوْرَتُهَا
مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ (حاشية الشروانى )
Pornografi
Pornografi adalah bentuk gambar atau patung yang menampilkan keindahan bagian tubuh yang dapat menimbulkan syahwat bagi orang lain, baik yang terdapat pada media cetak, elektronik, maupun pada perilaku seseorang, terutama yang bersumber dari kaum wanita. Dan sangat disayangkan pada saat ini di berbagai daerah di Indonesia makin banyak aksi-aksi porno, baik penayangan dari media cetak, media elektronik maupun langsung.
Dari fenomena tersebut kemudian memunculkan RUU APP. Dan kemudian Pro dan kontra terhadap RUU itupun semakin ramai dan menguat.
Bagaimanakah hukum melihat pornografi?
1 Haram melihat, apabila sampai menimbulkan syahwat dan fitnah.
وَمِنْ مَعَاصِى الْعَيْنِ اَلنَّظْرُ بِهَا مِنَ الذَّكَرِ اِلَى شَيْئٍ مِنْ جَمِيْعِ بَدَنِ أَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ اْلاَجْنَبِيَّاتِ مَعَ الْقَصْدِ. (تَنْبِيْهٌ) عَدَّ فِى الزَّوَاجِرِ نَظْرُ اْلأَجْنَبِيَّةِ بِشَهْوَةٍ وَخَوْفِ فِتْنَةٍ وَلَمْسُهَا كَذٰلِكَ . (اسعاد الرفيق ص 67)
2 Boleh, asal tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 20 - 21)
فَلَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ
فِي نَحْوِ مِرْآةٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ وَيُؤَيِّدُهُ
قَوْلُهُمْ لَوْ عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِرُؤْيَتِهَا لَمْ يَحْنَثْ
بِرُؤْيَةِ خَيَالِهَا فِي نَحْوِ مِرْآةٍ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَهَا
وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلَا
شَهْوَةً وَلَيْسَ مِنْهَا الصَّوْتُ فَلَا يَحْرُمُ سَمَاعُهُ إلَّا إنْ
خَشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ وَكَذَا إنْ الْتَذَّ بِهِ كَمَا بَحَثَهُ
الزَّرْكَشِيُّ. (تحفة المحتاج , ج 9 ص 20 - 21)
3 Terlepas dari pro-kontra di atas, para ulama’ sepakat melarang untuk mengeksploitasi keindahan tubuh di depan public terutama bagi kaum hawa, hal itu menunjukkan bahwa agama sebenarnya lebih menjunjung tinggi kehormatan manusia.
(Hukum Pergaulan Bebas)ANAK MUDA MAUPUN TUA
Pada zaman sekarang
memang lebih marak dengan yang namanya pergaulan bebas, sehingga
seakan-akan Negara kita punya nilai kebebasan tanpa adanya moral, bahkan
masyarakat Indonesia yang biasa dikenal kental dengan adat
ketimurannya, sedikit demi sedikit mulai luntur, karena semakin hebatnya
pengaruh, transformasi budaya luar.
Pada suatu forum, misalnya acara ulang tahun atau pesta-pesta yang lain sering terlihat dalam acara tersebut banyak bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, yang notabene adalah remaja. Sehingga para santri merasa sangat tabu akan hal itu. Bagaimanakah hukum menghadiri suatu acara atau pesta yang demikian itu?
Hukum berbaurnya laki-laki dan perempuan:
1 Haram dan berdosa apabila menghadiri acara tersebut jika nantinya dapat menimbulkan fitnah. Keterangan kitab Is’adul Rafiq:
مِنْ أَقْبَحِ الْمُحَرَّمَاتِ, وَأَشَدِّ اْلمَحْظُوْرَاتِ إِخْتِلاَطُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فىِ الْجُمُوْعَاتِ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمَفَاسِدِ وَاْلفِتَنِ اْلقَبِيْحَةِ (اسعاد الرفيق ص 67
Sebagian perkara yang
sangat diharamkan dan dikhawartirkan adalah bercampurnya laki-laki dan
perempuan dalam tempat perkumpulan yang dapat menimbulkan fitnah. (Is’ad
al-Rafiq hal. 67)
2 Makruh, bilamana menilai kehadirannya dalam acara tersebut timbul rasa khawatir atau takut terkena fitnah/berdampak negatif.
قاَلَ فى الزَّوَاجِرْ: وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هٰذِهِ اْلأَحَادِيْثِ, وَيَنْبَغِى حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعدُنَا عَلىَ مَا إِذَا تَحَقَّقَتْ الفِتْنَةُ: أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ, وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.(اسعاد الرفيق ص:136)
3 Boleh menghadiri acara tersebut jika tidak menimbulkan fitnah dan tentunya berdampak positif atau memberikan hal yang lebih baik.
Berbaurnya laki-laki dan perempuan tidak dipermasalahkan jika tidak melanggar aturan agama dan norma-norma yang berlaku, sehingga pergaulan mereka memang merupakan hal yang wajar. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’adur Rofiq hal :136.
(Hukum Onani atau Masturbasi)
Onani adalah merangsang kemaluan sendiri untuk mencapai orgasme (bagi laki-laki) dan bagi perempuan disebut masturbasi.
Bagaimanakah hukum dari masturbasi atau onani?
1 Haram, menurut Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Abu Hanifah
2 Boleh, menurut Imam Ahmad bin Hambal tetapi dengan tiga syarat:
1 Khawatir akan melakukan perzina’an
2 Tidak mampu menikah (tidak punya mahar untuk menikahi wanita)
3 Dengan menggunakan tangannya sendiri, tidak menggunakan tangan orang lain.
Hal ini dijelaskan dalam kitab as-Showi ‘ala Syarhi Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 112.
قَوْلُهُ كَاْلاِسْتِمْناَءِ بِالْيَدِّ أَيْ فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيْ وَأَبِيْ حَنِيْفَةَ فَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلْ يَجُوْزُ بِشُرُوْطِ ثَلاَثَةِ أَنْ يَخَافَ الزِّناَ وَأَنْ لاَ يَجِدَ مَهْرَ حُرَّةٍ أَوْ ثَمَنَ أَمَّةٍ وَأَنْ يَفْعَلَهُ بِيَدِهِ لاَ بِيَدِ أَجْنَِبيِّ أَوْ اَجْنَبِيَّةِ . الصاوي على شرح تفسير الجلالين جز 3 ص 112
(Hukum Menyemir Rambut)
Semir rambut adalah zat
kimia yang dapat merubah warna rambut dari warna aslinya. Bagaimanakah
hukum menggunakan semir rambut tersebut untuk menyemir rambut?
(Hukum menyemir rambut dengan warna hitam)
1 Tidak boleh menyemir
rambut dengan warna hitam, baik laki-laki maupun perempuan, karena hal
tersebut ada unsur merubah ciptaan Allah Swt. (Is’ad al-Rofiq, juz II,
hal.119)
مِنْهاَ التَّخْضِيْبُ
لِلشَّعْرِ باِلسَّوَادِ وَلَوْلِاْمرَأَةٍ كَماَ قاَلَهُ ابْنُ حَجَرٍ فِى
الْمِنْهَجِ الْقَوِيْمِ اِلَى اَنْ قاَلَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ
اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْوَلِىْ خَضْبُ شَعْرِ الصَّبِىِّ وَالصَّبِيَّةِ
اِذَا كاَنَ اَصَبَّ بِالسَّوَادِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ
الْخِلْقَةِ وَفِىْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا
لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اِسْتِحْباَبُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصُفْرَةٍ اَوْ
حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ
2 Makruh Tanzih, sama halnya dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah Swt. Karena itu lebih baik diterima apa adanya dari pada merubah warna asli rambut yang diberikan Allah kepada kita. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)
وَقِيْلَ يُكْرَهُ
كَرَاهَةَ تَنْزِيْهاً وَالْمُخْتاَرُ التَّحْرِيْمُ لِقَوْلِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِجْتَنِبُوْا باِلسَّوَادِ
3 Boleh menyemir rambut dengan warna hitam, bagi istri yang mendapat izin dari suaminya. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)
قَالَ الشِّهَابُ
الرَّمْلِيُّ فِيْ شَرْحِ نَظْمِ الزُّبَدِ نَعَمْ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ
ذَلِكَ بِإِذْنِ زَوْجِهَا اَوْ سَيِّدِهَا لِأَنَّ لَهُ غَرَضًا فِيْ
تَزْيِيْنِهَا
Hukum menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna kuning atau merah (selain hitam)
Sunnah menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna merah atau kuning. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 119)
وَفِىْ شَرْحِ
الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ
اِسْتِحْبَابُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصَفْرَةٍ اَوْ حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ
خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ (إسعاد الرفيق ج 2 ص 119)
Dalam Syarah Muslim,
Imam Nawawi mengatakan ”Sunnah bagi laki–laki dan perempuan menyemir
rambut dengan warna kuning atau merah dan haram menyemir rambut dengan
warna hitam menurut pendapat yang lebih shahih.” (Is’ad al-Rofiq, juz
II, hal. 119)
يُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ إِلَخْ ...وَخَضْبُ شَيْبِ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بِحَمْرَةٍ اَوْ اَصْفَرٍ اَىْ لاَبِسَوَادٍ اَمَّا بِهِ فَيَحْرُمُ (إعانة الطالبين ج 2 ص 339 )Disunnahkan menyemir uban rambut kepala dengan warna merah atau kuning yakni tidak dengan warna hitam karena hal tersebut hukumnya haram. (I’anah al-Tholibin, juz II, hal.339)
(Hukum Pria Memakai Perhiasan Emas)
Wanita akan tampak
kelihatan anggun dan cantik apabila memakai perhiasan (emas) yang tidak
berlebihan, akan tetapi lain halnya apabila pria yang memakainya.
Bagaimanakah hukum pria memakai perhiasan emas?
Dalam hal ini ada beberapa pandangan di kalangan ulama’
1 Haram bagi pria memakai emas murni maupun campuran
وَكَذَا يَحْرُمُ عَلَى
الرِّجاَلِ وَمِثْلُهُمْ اَلْخُنَاثَى (اَلتَّخْتِمُ بِالذَّهَبِ) لِخَبَرِ
أَبِيْ دَاوُدَ باِسْناَدٍ صَحِيْحٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَخَذَ فِيْ يَمِيْنِهِ قَطْعَةَ حَرِيْرٍ وَفِيْ شِمَالِهِ
قَطْعَةَ ذَهَبٍ. وَقَالَ هَذَانِ أَيْ اِسْتِعْمَالُهُمَا حَرَامٌ عَلَى
ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ حَلَّ لِأُناَثِهِمْ, وَأُلْحِقَ باِلذُّكُوْرِ
اَلْخُناَثَى اِحْتِيَاطًا. وَاحْتَرَزَ بِالتَّخْتِمِ عَنْ اِتْخَاذُ
أَنْفٍ أَوْ أَنْمِلَةٍ أَوْ سِنٍّ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرَمُ اِتْخَاذُهاَ
مِنْ ذَهَبٍ عَلَى مَقْطُوْعِهَا وَإِنْ أَمْكَنَ اِتْخَاذُهَا مِنَ
الْفِضَّةِ .(الاقناع فى حال الفاظ ابى شجاع ص 172)
Begitu juga bagi
laki-laki, diharamkan memakai cincin dari emas sedangkan bagi khuntsa
hukumnya disamakan dengan laki-laki karena adanya sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih; Bahwa Rasulullah Saw.
mengambil sepotong sutra pada tangan kanannya dan sepotong emas pada
tangan kirinya. Beliau bersabda; sutra dan emas ini, keduanya haram
dipakai kaum laki-laki dari umatku. Para khuntsa disamakan dengan
laki-laki, karena berhati-hati, dikecualikan dari haramnya memakai
cincin yaitu untuk membuat hidung, ujung jari atau gigi palsu dari bahan
emas. Demikian itu diperbolehkan bagi orang yang organ-organnya
tersebut terpotong, meskipun masih memungkinkan membuatnya dari bahan
perak. (al-Iqna’ Fii Haali al-Fadzi Abi Syuja’, hal.172)
ذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ اِلَى حَرَمَةِ التَّخَتُّمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ دُوْنَ النِّسَاءِ. (فقه السنة جز 3 ص 258)
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwasannya haram bagi laki-laki memakai cincin dari emas, bukan untuk orang perempuan.
(Fiqih as-sunnah, juz III, hal. 258)
2 Makruh bagi pria memakai perhiasan baik dari emas murni maupun campuran. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.364
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ
الْعُلَمَاءِ اِلَى كَرَاهَةِ التَّخْتِمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ
كَراَهَةَ تَنْزِيْهٍ وَلَقَدْ لَبِسَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ
مِنْهُمْ سَعْدُ ابْنُ اَبِيْ وَقَاصٍ وَطَلْحَةُ بْنِ عَبْدِ اللهِ
وَصُهَيْبٌ وَحُذَيْفَةُ وَجَابِرُ بْنُ سَمْرَةَ وَالْبَرَّاءُ بْنُ
عاَزِبٍ وَلَعَلَّهُمْ حَسَبُوْا اَنَّ النَّهِيَّ لِلتَّنْـزِيْهِ (فقه
السنة جز 3 ص259)
Ada sebagian ulama’ yang memakruhkan laki-laki memakai perhiasan emas, karena ada sebagian sahabat yang memakainya, diantaranya adalah Said bin Abi Waqhas dan Talhah bin Abdullah, Suhaib, Hudzaifah, Jabir bin Samroh, Barra’ bin ‘Azib, mereka mengira bahwa larangan itu adalah makruh tanzih. (Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.259
(Hukum Tindik bagi Laki-Laki)
Sering terlihat di
sebagian kalangan dan kadang menjadi tradisi atau trend menindik
(melubangi) hidung atau telinga guna memasang anting atau sejenisnya
baik laki-laki maupun perempuan.
Bagaimanakah pandangan fiqih apabila orang laki-laki menindik hidung atau telinga
1 Haram mutlak bagi anak atau orang laki-laki menindik/melubangi hidung atau telinganya, menurut Ulama’ Syafi’iyah
(وَحَرَمٌ تَثْقِيْبُ) أَنْفٍ مُطْلَقًا (وَأُذُنِ) صَبِيٍّ قَطْعًا وَصَبِيَّةٍ عَلَى اْلاَوْجُهِ لِتَعْلِيْقِ الْحَلْقِ كَمَا صَرَحَ بِهِ الْغَزَالِى وَغَيْرُهُ ِلأَنَّهُ إِيْلاَمٌ لَمْ تَدْعُو إِلَيْهِ حَاجَةٌ
Haram mutlak menindik
(melubangi) hidung, para ulama’ sepakat atas keharaman menindik telinga
anak laki-laki yang masih kecil guna memasang anting, sedangkan pada
anak perempuan yang masih kecil menurut qoul aujah juga haram sebab hal
itu menyakiti sebelum ada keperluan. I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 –
178.
2 Makruh bagi anak laki-laki yang masih balita, menurut sebagian Ulama’ Hambaliyah.
وَفِي الرِّعَايَةِ لِلْحَنَابِلَةِ يَجُوْزُ فِي الصَّبِيَّةِ لِغَرْضِ الزِّيْنَةِ. وَيُكْرَهُ فِي الصَّبِيِّ . إهـ
Dalam kitab ri’ayah
karangan pengikut madzhab Hambali menyatakan boleh menindik anak
perempuan yang masih kecil, sebab bertujuan sebagai perhiasan, sedangkan
pada anak laki-laki yang masih kecil hukumnya makruh.
3 Boleh, menurut Imam Zarkasyi, melubangi telinga laki-laki yang masih balita.
وَجَوَّزُهُ الزَّرْكَشِىُّ وَاسْتَدَلَّ بِمَا فِي حَدِيْثِ أُمِّ زَرْعٍ فِي الصَّحِيْحِ ، وَفِي فَتَاوِى قَاضِيْخَان مِنَ الْحَـنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَبَأْسَ بِهِ ِلأَنَّهُمْ كَانُوْا يَفْعَلُوْنَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَنْكِرُ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،
Imam Zarkasyi
memperlobehkannya berdasarkan hadits Ummi Zarin di dalam hadits Shahih.
Fatwa-fatwa Syech Qodikhon pengikut Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa
tidak mengapa melakukan hal itu sebab pernah dilakukan pada zaman
jahiliyah, sedangkan Nabi Saw. tidak mengingkarinya
Menindik telinga bagi perempuan kebanyakan ulama’ tidak melarang karena hal itu ada hak baginya untuk memperindah dan menghiasi dirinya. Asalkan saat menindik tidak menimbulkan dampak negatif.
وَالتَّعْذِيْبُ فِي مِثْلِ هَذِهِ الزِّيْنَةِ الدَّاعِيَةِ لِرَغْبَةِ اْلأَزْوَاجِ إِلَيْهِنَّ سَهِلَ مُحْتَمِلٌ وَمُغْتَفِرٌ لِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ . فَتَأَمَّلَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ .
(إعانة الطالبين الجزء الرابع ص: 175 – 178)
Sedangkan menyakiti demi
untuk perhiasan yang dapat menimbulkan rasa cinta suami pada istrinya
itu sangat ringan dan tidak masalah sebab ada unsur kemaslahatan.
Keterangan tersebut di atas terdapat pada kitab I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 – 178.
(Hukum Tato)
Di kalangan remaja
sering kita jumpai banyak para remaja yang bertato, menurut mereka tato
merupakan style atau mode, bahkan bagi sebagian dari mereka merasa ada
suatu kebanggaan tersendiri kalau bisa mentato tubuhnya, bahkan ada yang
hampir seluruh tubuhnya terlukis tato.
Tato adalah zat yang dapat dituangkan pada tubuh dengan bentuk gambar atau yang lain melalui berbagai cara sehingga tato tersebut terkadang berada di kulit lapisan luar atau kulit lapisan dalam, dan bisa menyebabkan tidak meresapnya air pada kulit baik ketika mandi besar ataupun wudlu’. Bagaimanakah hukum orang yang tubuhnya di tato? Dan sahkah wudlu’nya?
Ulama’ berpendapat: Hukum mentato tubuh adalah Haram, karena perbuatan itu dilaknat Allah Swt dan Nabi pun melaknatnya juga. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rafiq hal. 122
وَمِنْهاَ الْوَشْمُ وَطَلَبُ عَمَلِهِ قاَلَ الْكُرْدِىُّ وَهُوَ أَىْ الْوَشْمُ غََرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبْرَةِ حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ عَلَيْهِ وَيَحْشَى بِهِ الْمَحَلُّ مِنْ نَيْلَةٍ اَوْ نَحْوِهاَ لِيَزْرُقَ اَوْ يَسْوَدَّ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ فاَعِلَ ذلِكَ (اسعاد الرفيق ص 122)
Mengenai tentang sah dan tidaknya wudlu’ atau mandi besar orang yang tubuhnya bertato para ulama’ berbeda berpendapat:
1 Tidak sah wudlu’ atau mandi besarnya tubuh yang bertato, apabila tato tersebut berada di lapisan luar kulit, karena bisa mencegah sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.
Apabila di bawah kulit maka sah, karena tidak menghalangi sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.
وَ(رَابِعُهَا) أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْعُضْوِ حَائِلٌ بَيْنَ الْمَاءِ وَالْمَغْسُوْلِ كَنُوْرَةٍ وَشَمْعٍ وَدُهْنٍ جَامِدٍ وَعَيْنِ حَبْرٍ وَحَنَاءٍ بِخِلاَفِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ مَائِعٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ الْمَاءُ عَلَيْهِ وَأَثْرُ حَبْرٍ وَحَنَاءٌ. (فتح المعين، ص 5).
Apabila tato itu
dilakukan atas dasar persetujuan orang yang ditato, dia tidak khawatir
akan terjadi bahaya ketika menghilangkannya, dan apabila tato tersebut
tidak dihilangkan, maka dia tidak bisa menghilangkan hadatsnya, karena
tatonya bercampur najis. Otomatis kalau dia ingin bersuci harus
menghilangkan tatonya terlebih dahulu.
Akan tetapi apabila dia khawatir dengan bahaya apabila menghilangkannya, maka dima’fu/dimaafkan untuk membiarkan tatonya tersebut, dan bersucinya tetap sah dan orang tersebut tetap sah menjadi imam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, juz I, hal. 178
وَكَذَا الْوَشْمُ وَهُوَ غَرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبرة حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ نَحْوَ نِيْلَةٍ لَيَزْرُقَ بِهِ أَوْ يَخْضُرَ فَفِيْهِ تَفْصِيْلُ الْجَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ إِنَّ بَابَهُ أَوْسَعُ فَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ فَعَلَ الْوَشْمَ بِرِضَاهُ فِي حَالَةِ تَكْلِيْفِهِ وَلَمْ يَخَفْ مِنْ إِزَالَتِهِ ضَرَرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ مُنِعَ ارْتِفَاعُ الْحَدَثِ عَنْ مَحَلِّهِ ِلَتَنَجُّسِهِ وَإِلَّا عُذِرَ فِي بَقَاِئهِ وَعُفِيَ عَنْهُ بِالنِّسْبَةِ لَهُ وَلِغَيْرِهِ وَصَحَّتْ طَهَارَتُهُ وَإِمَامَتُهُ وَحَيْثُ لَمْ يُعْذَرْ فِيْهِ وَلَا فِي مَاءٍ قَلِيْلًا أَوْ مَاِئعًا أَوْ رَطْبًا نَجْسُهُ كَذَا أَفْتَى بِهِ اْلَواِلُد رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَإِلَّا أَيْ بِأَنْ وَصَلَهُ بِهِ مَعَ وُجُوْدٍ صَالِحٍ طَاِهرٍ أَوْ مَعَ عَدَمِ الْحَاجَةِ أَصْلًا حَرُمَ عَلَيْهِ لِلتَّعَدِّيْ وَ وَجَبَ عَلَيْهِ نَزْعُهُ وَيجْبر عَلَى ذَلِكَ ِإنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ وَإِنْ اكْتَسَى لَحْمًا كَمَا لَوْ حَمَلَ نَجَاسَةً تَعَدَّى بِحَمْلِهَا مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْ ِإزَالَتِهَا وَكَوَصْلِ الْمَرْأَةِ شَعْرَهَا بِشَعْرٍ نَجِسٍ فَإِنْ امْتَنَعَ لَزِمَ الْحَاكِم نَزْعَهُ لِدُخُوْلِ النِّيَابَةِ فِيْهِ كَرَدِّ الْمَغْصُوْبِ وَلَا اعْتِبَارَ بِأَلَمِهِ حَالًا إِنْ أَمِنَ مَآلًا وَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ حِيْنَئِذٍ
(Hukum Wanita Memakai Celana Ketat)
Cara berbusana adalah
berbeda-beda, sesuai dengan budaya dari setiap daerah tertentu, misalnya
cara berbusana di Indonesia juga berbeda-beda, yang jawa memakai
pakaian adat Jawa, yang dari batak memakai busana adat Batak, dan
lain-lain. Kalau jubah adalah budaya busana dari bangsa arab. Intinya
setiap daerah pasti memiliki khas atau budaya sendiri-sendiri.
Namun di masa moderen seperti saat ini, terdapat banyak perkembangan mode atau style dalam berpenampilan pada masyarakat, khususnya bagi kaum hawa banyak sekali perkembangan dalam model atau cara berbusana, seperti halnya memakai celana, disamping berfungsi sebagai penutup aurat juga sebagai sarana untuk mempercantik diri dan memperindah penampilan. Tidak sedikit dari para wanita yang menggunakan celana ketat, sehingga sampai terlihat lekukan-lekukan tubuhnya.
Dari fenomena di atas, bagaimanakah pandangan fiqih tentang hukum wanita yang berbusana dengan memakai celana ketat?
Dalam hal ini, para ulama’ berbeda pandangan
1 Tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya.
2 Makruh bagi wanita memakai celana ketat.
وَيَكْفِى مَا يُحْكَي لِحَجْمِ الْاَعْضَاءِ (اَيْ وَ يَكْفِيْ جِرْمٌ يَدْرِكُ النَّاسُ مِنْهُ قَدْرَ الْاَعْضَاءِ كَسَرَاوِيْلَ ضَيْقَةٍ) لَكِنَّهُ خِلَافُ الْاَوْلَى (اَيْ لِلرَّجُلِ وَاَمَّالْمَرأَةُ وَالْخُنْثَي فَيُكْرَهُ لَهُمَا) ( حاشية إعا نة الطا لبين ج 1 ص 134 )
وَشَرْطُ السَّاتِرِ فِى الصَّلاَةِ وَخاَرِجِهاَ اَنْ يَشْمِلَ الْمَسْتُوْرُ لَبِساً وَنَحْوَهُ مَعَ سَتْرِ اللَّوْنِ فَيَكْفِى مَا يَمْنَعُ اِدْرَاكَ لَوْنِ الْبَشَرَةِ
(Mauhibah Dzil Fadlal, juz II, hal. 326-327 dan al-Minhaj al-Qawim juz 1 hal 234).
(Hukum Wanita Kerja pada Malam Hari)
Di era globalisasi saat
ini, jumlah tenaga kerja wanita bertambah besar bahkan hampir
mendominasi lapangan pekerjaan dalam bidang industri. Di perusahaan
besar pekerjaan berjalan full time/24 jam atau sehari penuh, dan dalam
24 jam tersebut biasanya dibagi menjadi 3 sift (giliran), berarti setiap
delapan jam ganti sift. Ketika seorang pekerja wanita mendapat giliran
jam kerja pada waktu malam hari, dikhawatirkan terjadi kerawanan dan
tidak menuntut kemungkinan bisa membahayakan kemanan dari pekerja wanita
tersebut. Kalau dipandang dari agama bagaimanakah hukum seorang wanita
bekerja pada malam hari di luar rumah
Dalam hal ini para ulama’ mempunyai pandangan yang berbeda-beda:
1 Apabila diduga kuat bisa menimbulkan fitnah maka hukumnya adalah haram.
2 Makruh, apabila hanya sekedar ada kekhawatiran akan terjadinya fitnah.
Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rofiq:
قاَلَ فِى الزَّوَاجِرِ وَهُوَمِنَ الْكَباَئِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِناَ عَلَى مَا اِذَا تَحَقَّقَتْ اَلْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهاَ فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ (اسعاد الرفيق ج 2 ص 136)
Dalam kitab Al-Zawajir
disebutkan bahwa sesuai dengan redaksi hadits di atas, maka (keluarnya
wanita dari rumah) adalah termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini
sesuai dengan kaidah-kaidah kita, maka harus dipahami dalam keadaan jika
memang benar-benar akan terjadi fitnah. Adapun jika hanya sekedar ada
kekhawatiran terjadinya fitnah, maka hukumnya makruh. Sedangkan jika
disertai dengan dugaan kuat adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun
bukan dosa besar.
(Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 136)
3 Boleh, bagi wanita bekerja di malam hari karena untuk mencari nafkah, asalkan aman dari fitnah dan mendapat ijin dari suaminya atau wali (bagi yang masih belum punya suami). Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
وَمِنْهاَ (اَيْ مِنَ الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ ِلأَجْلِهَا) اِذَا خَرَجَتْ لِاكْتِسَابِ نَفَقَةٍ بِتِجَارَةٍ أََوْ سُؤَالِ أَيْ سُؤَالِ نَفَقَةٍ أَيْ طَلَبِهاَ عَلَى وَجْهِ الصَّدَقَةِ أَوْكَسْبٍ اِذَا عَسَرَالزَّوْجُ (اعانة الطالبين ج 4 ص 81
Dan diantara hal-hal
yang memperbolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah jika keluarnya
itu untuk mencari nafkah, dengan berdagang, meminta sedekah atau mencari
pekerjaan ketika suami sedang dalam kesulitan uang (ada udzur)
(I’anah al-Thalibin, juz IV, hal. 81)
(Hukum Mengeraskan Bacaan Al-Qur’an bagi Wanita di Hadapan Khalayak Umum)
Setiap tahun di Pondok
Pesantren Ngalah, ketika merayakan acara Haflah Akhirussanah diadakan
lomba Qiro’ah dan pidato yang diikuti oleh santri putra dan putri. Bagi
santri putra sudah tidak ada keraguan lagi dalam hukum fiqih mengenai
hukum suaranya. Namun bagi santri putri ini bagaimanakah hukum mengikuti
lomba tersebut, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan suara
perempuan itu termasuk aurot, sedangkan lomba tersebut memakai pengeras
suara (sounds system), bertempat di atas panggung dan disaksikan oleh
seluruh santri dan masyarakat sekitar.
Dari keterangan tersebut di atas, bagaimanakah hukum seseorang Perempuan/wanita mengeraskan suaranya ketika membaca al-Qur’an (Qiro’ah) atau berpidato dengan menggunakan alat pengeras suara di hadapan khalayak umum?
1 Haram, apabila menimbulkan fitnah atau menimbulkan rasa ladzat atau syahwat.
2 Boleh, apabila tidak
menimbulkan fitnah atau tidak menimbulkan rasa ladzat atau syahwat,
karena suara orang perempuan bukan termasuk aurat menurut pendapat yang
lebih shahih.
Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 3. halaman 260.
وَلَيْسَ مِنَ العَوْرَةِ الصَوْتُ فَلاَ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ اِلاَّ اَنْ خُشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ أَوِ التَّلَذُّذُ بِهِ أَىْ فَاِِنَّهُ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ أَىْ وَلَوْ بِنَحْوِ قُرْأَنٍ. وَمِنَ الصَّوْتِ اَلزَّغاَرِيْدُ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )
suara perempuan tidak
termasuk aurat, maka tidak haram mendengarkannya, kecuali jika
dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau laki-laki menikmati suaranya,
maksudnya haram bagi laki-laki untuk mendengarkannya, walaupun yang
dibaca itu al-Qur’an. Dengungan nada tanpa kata-kata (rengeng-rengeng)
juga termasuk suara
وَفِي الْبُجَيْرَمِىِّ وَصَوْتـُهَا لَيْسَ بِعَوْرَاةٍ عَلىَ اْلاَصَحِّ لَكِنْ يَحْرُمُ اْلاِصْغاَءُ اِلَيْهِ عِنْدَ خَوْفِ اْلفِتْنَةِ وَاِذَا قَرَعَ باَبَ اْمرَأَةٍ أَحَدٌ فَلاَ تُجِيْـبُهُ بِصَوْتٍ رَخِيْمٍ بَلْ تُغَلِّظُ صَوْتَهَا بِاَنْ تَأْخُذَ طَرَفَ كََفِّهَا بِفِيْهَا . اهـ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )
suara perempuan bukanlah
aurat menurut pendapat yang lebih shahih, tetapi haram mendengarkannya
ketika akan menimbulkan fitnah. Apabila seorang laki-laki mengetuk pintu
rumah perempuan, maka perempuan tersebut tidak boleh menjawabnya dengan
suara yang lembut, melainkan ia harus menjelekkan suarannya dengan cara
menutupkan ujung telapak tangannya pada mulutnya.
(Hukum Jual Beli Kucing)
Bagaimanakah hukum dari
jual beli kucing, karena sekarang ini semakin marak masyarakat yang
melakukan transaksi perdagangan hewan kucing, bahkan banyak pasar yang
khusus menjual macam-macam kucing?
Diperbolehkan menjual hewan yang bisa diambil manfaatya, seperti digunakan untuk berburu, diambil kulitnya atau madunya, disamping hewan tersebut ada dan dapat disaksikan oleh pembeli yakni hadir pada tempatnya juga harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
Hewan yang dijual dalam keadaan suci.
diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
Dapat diserahkan pada pihak pembeli.
Hal ini diterangkan dalam kitab:
Ihya’ Ulummu ad-din juz 2 halaman 67 penerbit hidayah dan hal 62 terbitan Darul Kutub Beirut
وَيَجُوْزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالنَّحِلِ وَبَيْعُ اْلفَهْدِ وَاْلأَسَدِ وَمَايَصْلُحُ لِصَيِّدِ اَوْيَنْتَفِعُ بِـجِلْدِهِ
Diperbolehkan menjual kucing, lebah, harimau dan hewan yang dapat digunakan untuk berburu atau diambil kemanfaatannya.
Raudhah at-Thalibin halaman 505
وَمِمَّا يَنْتـَفِعُ
بِهِ اَلْقِرْدُ وَاْلفِيْلُ وَاْلهِرَّةُ وَدُوْدُ اْلقُزِّ وَبَيْعُ
النَّحِلِ فِي اْلكَوَارَةِ صَحِيْحٌ إِنْ شَاهِدَ جَمِيْعُهُ وَإِلاَّ
فَهُوَ مِنْ بَيْعِ اْلغَائِبِ .
Diantara hewan yang
dapat diambil manfaatnya antara lain, kera, kucing, ulat sutra, dan
menjual lebah yang masih dalam sarangnya hukumnya shahih apabila dapat
di lihat semuanya (barang yang dijual dapat disaksikan), apabila tidak
maka termasuk kategori jual beli barang ghaib.
(HUKUM HIBURAN DAN PERMAINAN)
(Nyanyian, Orkesan, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll)
Pengertian Hiburan dan Permainan
Macam-macam hiburan
dalam istilah agama Islam menurut Syekh Ahmad bin Muhammad al-Shawy
diistilahkan dengan ”Lahwun” dan untuk macam-macam seni musik seperti
orkes dan lain sebagainya diistilahkan dengan istilah ”Laghwun” yang
keduanya memiliki pengertian: segala hal yang dapat menyibukkan
seseorang sehingga dapat melupakan kepentingan dirinya sendiri.
Adapun permainan dikategorikan dengan istilah ”La’bun” yaitu: segala hal yang dapat menyibukkan seseorang tanpa ada manfaatnya sama sekali terhadap keadaan diri ataupun hartanya.
Hal ini diterangkan di dalam kitab Tafsir al-Shawy juz 04 hal. 119:
إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ (36)
Sesungguhnya kehidupan
dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan
bertakwa, Allah Swt. akan memberikan pahala kepadamu dan dia tidak akan
meminta harta-hartamu. (Q.S. Muhammad ayat 36)
اَللَّعْبُ مَـايُشْغِلُ اْلاِنْسَـانَ وَلَيْـسَ فِيْـهِ مَنْفَعَةٌ فِيْ الْحَـاِل وَاْلماَلِ وَاللَّـغْوُ مَـا يُشْغِلُ اْلاِ نْسَـانَ عَنْ مُهِمَّـاتِ نَفْسِـهِ (اَلصَّـاوِيْ عَلَى الْجَلاَ لَيْـنِ فِىْ تَفْسِيْـرِ قَوْلِـهِ تَعـَالىَ انَِّـمَا الْحَيـَاةُ الدُّنْيـَا لَعِبٌ وَلَـهْوٌ)
Hukum Hiburan dan PermainaN
1 Haram
Di dalam kitab Ihya’
Ulumi al-Diin diterangkan ada golongan yang mengharamkan nyanyian,
mereka menggunakan dalil riwayat dari Ibnu Mas’ud al-Hasan al-Bishri dan
al-Nakha’i, dengan landasan al-Qur’an Surat Luqman ayat 6. yang
berbunyi:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ (6)
Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Swt. tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah Swt. itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan. (Q.S. Luqman ayat 6)
اِحْتَجُوْا بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ قَالَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ وَالْحَسَنُ الْبِصْرِيُّ وَالنَّخَعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ إِنَّ لَهْوَ الْحَدِيْثِ هُوَ الْغِنَاءُ (احياء علوم الدين ج 2 باب بيان حجج القائلين بتحريم السماع والجواب عنها)
Mereka menafsirkan lafadz Lahwal Hadits (perkataan yang tidak berguna) ini dengan arti nyanyian.
Ada sebagian ulama’ memberi hukum haram pada hiburan dan permainan (Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll) dengan landasan dalil hadits di bawah ini:
وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِنَّ اللهَ تَعَالىَ حَـرَّمَ الْقَيْنَةَ ( اَىْ اَلجْاَرِيَةَ ) وَبَيْعَهَا وَثمَٰنَهَا وَتَعْلِيْمَهَا
Aisyah ra. Meriwayatkan
hadits: Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. telah
mengharamkan al-Qoinah (penyanyi wanita/budak wanita yang menghibur),
haram menjual belikannya, haram uang hasil darinya dan haram
mengajarkanya.
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali menafsiri hadits di atas bahwa yang dimaksud perkataan Qoinah ialah budak perempuan yang menyanyi untuk laki-laki di tempat minum-minuman (semacam bar atau club malam/dugem)
فَنَقُوْلُ أَمَّا الْقَيْنَةُ فَالْمُرَادُ بِهَا الْجَارِيَةُ الَّتِيْ تَغَنِّيَ لِلرِّجَالِ فِيْ مَجْلِسِ الشُّرْبِ (احياء علوم الدين ج 2 باب بيان حجج القائلين بتحريم السماع والجواب عنها)
Golongan dari madzhab Hambali berpendapat Nyanyian adalah haram hukumnya, baik dinyanyikan oleh perempuan maupun laki-laki apabila mendatangkan syahwat bagi orang yang mendengarkan atau menyebabkan bercampurnya kaum laki-laki dan wanita atau disertai mabuk-mabukan.
اَلْحَناَبِلَةُ - قاَلُوْا : اَلْغِناَءُ حَرَامٌ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ النِّسَاءِ أَمْ مِنَ الرِّجاَلِ إِذاَ كاَنَ الْقَوْلُ يُثِيْرُ الشَّهْوَةَ لِمَنْ اِسْتَمَعَ إِلَيْهِ أَوْ أَدَى إِلَى اخْتِلاَطِ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ أَوْ خُرُوْجِ عَنْ حِشْمَةٍ وَوَقاَرٍ ( الفقه على المذاهب الاربعة الجزء 5 ص 27 )
2 Makruh
Menurut Imam Tabrani
dalam kitabnya al-Mu’jam al-Ausat hukum dari hiburan dan permainan
(nyanyian, musik, seni tari, ludruk, wayang, dll.) adalah makruh.
حَدَثَنَا مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمُوِيَّهْ اَلْجَوْهَرِيُّ اَلأَهْوَازِيُّ ، حَدَثَنَا حَفْصٍ بِنْ عُمَرُو الرَّبَّالِيْ ، حَدَثَنَا اْلمُنْذِرُ بْنُ زِيَادٍ الَطَّائِيُّ ، عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمْ ، عَنْ أَبِيْهِ ، عَنْ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُلُّ لَهْوٍ يُكْرَهُ إِلاَّ مُلاَعِبَةُ الرَّجُلِ اِمْرَأَتَهُ ، وَمَشِيْهِ بَيْنَ اْلهَدَفَيْنِ ، وَتَعْلِيْمِهِ فَرَسَهُ » « لمَ ْيَرْوِ هٰذَا الْحَدِيْثِ عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمْ إِلاَّ اْلمُنْذِرُ بْنُ زِيَادْ ، تَفَرَّدَ بِهِ: حَفْصُ بْنُ عُمَرُو الَرَّبَّالِيْ » (المعجام الاوسط للطبرنى ج 7 ص 170)
Dan diambil dari pendapat Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata: sesungguhnya ghina’ (Lagu-laguan) merupakan hiburan yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil. Barang siapa terlalu banyak terlena karenanya maka dia dianggap bodoh dan ditolak kesaksiannya. Keterangan dalam kitab al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-Arba’ah:
فَقَدْ نُقِلَ عَنِ اْلإِ مَامِ الشَّافِعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: اَلْغِنَاءُ لهَوْ ٌمَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ الْباَطِلُ, مَنِ اِسْتَكْثَرَ مِنْهُ فَهُوَ سَفِيْهٌ وَتُرَدُّ شَهَادَتُهُ.(كتاب الفقه على المذاهب الأربعة الجزء 5 ص 54
Imam Al-Qaffal, Al-Rauyani dan Abu Mansur berpendapat bahwa hiburan dan permainan seperti tari-tarian berirama hukumnya makruh tidak sampai haram dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk ”lahwun, laghwun dan la’bun” (dagelan, musik dan pemainan). Hal ini diterangkan dalam kitab الإتحاف على الإحياء dan dalam kitab احيـاء فى باب السمـاع, sama halnya nyanyian dan mendengarkan lagu atau musik. Keterangan dari kitab Al-Manhaj juz 5 hal 380.
وَلَنَذْكُرُمـَا لِلْعُلَمـَاءِ فِيـْهِ اَيْ فِي الـَّرقْصِ مِنْ كَلاَمِ فَذَهَبَتْ طَاِئـفَةٌ اِلىَ كَرَاهَتِـهِ مِنْهُمْ اَلْقَفَّـالُ حَـكَاهُ عَنْهُ الَرَّوْيـَانِـيْ فِي اْلبَحْرِ. وَقَـالَ اَلأُسْتـَاذُ اَبـُوْ مَنْصُـوْر تُكَلِّفُ اَلـَّرقْصُ عَلىَ اْلإِ يْقـَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهٰـؤُلاَءِ اِحْتَجُـوْا بِاَنَّهُ لَعِبٌ وَلَـهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ.
Imam Ghozali berpendapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 02 bahwasanya nyanyian, orkesan dan sejenisnya adalah termasuk hiburan (Laghwun) yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil tetapi tidak sampai haram, sebagai contoh adalah permainan orang-orang Habasyah dan tarian mereka, Rasulullah pernah menyaksikannya dan tidak membencinya. Dalam hal ini Lahwun dan laghwun tidak dimurkai Allah Swt.
اَلْغِنـَاءُ لَـهْوٌ مَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ اْلبـَاطِلَ وَقَوْلِـِه لَـهْوٌ صَحِيْحٌ وَلَكِنَّ اللَّهْوَ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُ لَـْهوٌ لَيْسَ بِـحَرَامٍ فَلَعْبُ اْلحَبَشَةِ وَرَقْصُهُمْْ لَـهْوٌ وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ اِلَيْهِ وَلاَ يَكْرَهُهُ بَلِ اللَّّّـهْوُ وَاللَّـغْوُ لاَ يـُؤَا خِذُ الله ُبِهِ (احيـاء جز 2 فى باب السمـاع )
Menurut Qordowi, hiburan dan permainan (Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll) hukumnya adalah باطل apabila digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faidah dan membuat seseorang sibuk sehingga sampai mengganggu atau dapat mengurangi ketaatannya kepada Allah Swt., sedangkan hukum melakukan sesuatu yang tidak berfaidah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban. Pendapat Qordowi ini berdasarkan Hadits:
كُلُّ لَهْوٍ بَاطِلٌ إِذَا شَغَلَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ )صحيح البخاري , كتاب بدء الوحي(
Setiap hiburan itu adalah batil apabila bisa melalaikan seseorang dari ketaatan kepada Allah Swt.
Menurut riwayat Imam al-Baihaqi hukum nyanyian atau orkesan dan sejenisnya dihukumi makruh karena dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati, seperti halnya air bisa menumbuhkan tanaman. Diterangkan dalam kitab al-Sunan al-Kubro lii al-Baihaqi bab al-Rajul Yaghni Fayattakhidu al-Ghina’ juz 7 halaman 931
وَ أَخْبَرَنَا ابْنُ بِشْرَانَ أَنْبَأَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ صَفْوَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى الدُّنْيَا حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْجَعْدِ أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ كَعْبٍ الْمُرَادِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِى الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَالذِّكْرُ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِى الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
3 Boleh
Imam Bukhari
meriwayatkan hadits dalam kitab sahihnya bab an-Niswah al-Laati Yahdina
al-Mar'ah juz 1 hal 145 dari Siti Aisyah bahwa Nabi pernah berkata:
4765 – حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ
Dari hadits tersebut di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa Nabi menginginkan seorang penyanyi
yang dapat disuruh Nabi untuk menghibur kaum Anshar ketika Siti Aisyah
menikahkan seorang gadis dengan pemuda anshar karena kaum anshar sangat
kagum dan senang dengan nyanyian.
Diceritakan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Nasa'i bahwa pada hari raya sahabat Abu Bakar berkunjung ke rumah Siti Aisyah untuk halal bi halal kepada Nabi Saw., ketika beliau masuk beliau menjumpai ada dua gadis di samping Siti Aisyah yang sedang menyanyi, seketika itu Abu Bakar menghardik mereka seraya berkata: Apakah pantas ada seruling syaitan di rumah Rasulullah?! Kemudian Nabi Saw. bersabda: “Biarkanlah mereka, wahai Aba Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya. Adapun bunyi hadits yang menceritakan peristiwa itu adalah sebagai berikut ini dalam kitab Sunan an-Nasai juz 6 hal. 59.
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ وَتُغَنِّيَانِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَجًّى بِثَوْبِهِ وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى مُتَسَجٍّ ثَوْبَهُ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَهُنَّ أَيَّامُ مِنَى وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ بِالْمَدِينَةِ
Dari cerita di atas bisa
dibuat dalil bahwa Nabi tidak melarang hiburan dan permainan (nyanyian,
orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang dll)
Menurut Imam Al-Fauroni: Hukum dari hiburan dan permainan (nyanyian, orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang, dll) adalah boleh, dengan alasan bahwa semua perkara itu adalah termasuk Lahwun, Laghwun dan La’bun dan hukum asal dari Lahwun, Laghwun dan La’bun itu adalah mubah. Diterangkan di dalam kitab al-Itkhaf juz 06.
وَهَـؤُلاَءِ اِحْتَجُّـوْا بِاَنَّهُ لَعْبٌ وَلَـهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَائِـفَةٌ إِلَى إِبَاحَتِـهِ قَـالَ اَلْفَـوْرَانِـيْ فِيْ كِتـَابِهِ اَلْعُمْدَةُ اَلْغِنَـاءُ يُبـَاحُ أَصْلُهُ
Imam Haromain, Imam al-Makhali, Imam Ibni ‘Imad Al-Suhrowardi, Imam Rofi’i dan Ibnu Abi Dam berpendapat: Hiburan tarian atau sejenisnya adalah tidak haram, apabila tidak menyebabkan rusaknya harga diri dan tidak ada penyerupaan laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya
قَـالَ إِمـَامُ الْحَرَمَيْـِن اَلـَّرقْصُ لَيْـسَ بِـمُحَرَّمٍ فَاِنَّـهُ مُـجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اِسْتِقَامَةٍ أَوْ اِعْوِجَـاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُـحْرَمُ اَلمْـُرُوْءَةُ وَكَذَلِكَ قـَالَ اَلمْـَحَلِّىْ فِي الدَّخَـاِئرِ وَابْنُ الُعِمَـادِ اَلسُّهْـرَوَرْدِيْ وَالرَّفِعِيْ وَبِهِ جَزَمَ اْلمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ اَبِي الدَّمِ (الإتحاف على الإحياء في باب السماع)
PERDUKUNAN
(Berobat dengan Suwuk)
Masyarakat kita telah
lama mengenal pengobatan penyakit melalui doa-doa yang disebut suwuk.
Bagaimanakah hukum pengobatan dengan cara suwuk?
Sesungguhnya di dalam al-Qur’an telah dijelaskan:
وَتُبْرِىءُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ بِإِذْنِي (الماءدة:110)
Dan (ingatlah) di waktu kamu (Nabi Isa) menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, (QS. Al-Maidah: 110).
Tentang pengobatan dengan menggunakan suwuk ini pernah ditanyakan pada Rasulullah dalam sebuah hadits berikut:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا ». (سنن أبى دا ود,جز 1, 230)
Dari ‘Auf bin Malik
berkata, bahwasannya kami mengobati penyakit dengan menggunakan suwuk
pada zaman jahiliyah, lalu kami bertanya kepada Rasul, wahai Rasul
bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut? Rasul menjawab,
hadapkanlah suwuk-suwuk kalian kepadaku, sesungguhnya hal itu tidak
membahayakan selama kalian tidak syirik (menyekutukan Allah Swt.).
(Sunan Abi Dawud, juz I, hal. 230)
Diceritakan dalam sebuah hadits Sunan Abi Dawud, mengenai pengalaman para sahabat Nabi yang telah melakukan pengobatan dengan suwuk:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَهْطًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- انْطَلَقُوا فِى سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا فَنَزَلُوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ شَىْءٌ يَنْفَعُ صَاحِبَنَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّى لأَرْقِى وَلَكِنِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَأَبَيْتُمْ أَنْ تُضَيِّفُونَا مَا أَنَا بِرَاقٍ حَتَّى تَجْعَلُوا لِى جُعْلاً. فَجَعَلُوا لَهُ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ فَأَتَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْهِ أُمَّ الْكِتَابِ وَيَتْفُلُ حَتَّى بَرَأَ كَأَنَّمَا أُنْشِطَ مِنْ عِقَالٍ. قَالَ فَأَوْفَاهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِى صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالُوا اقْتَسِمُوا. فَقَالَ الَّذِى رَقَى لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِىَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَنَسْتَأْمِرَهُ. فَغَدَوْا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مِنْ أَيْنَ عَلِمْتُمْ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَحْسَنْتُمُ اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Dari Abi Said al Khudzri
ra. Bahwasannya sekelompok sahabat Nabi berangkat melakukan suatu
perjalanan, mereka berhenti diperkampungan Arab. Salah satu dari
penduduk tersebut berkata, Sesungguhnya pemimpin kami disengat
kalajengking. Apakah ada di antara kalian yang bisa memberi manfaat
(mengobati pemimpin kami)? Seorang laki-laki dari sahabat menjawab,
betul. Demi Allah Swt. sesungguhnya kami bisa menyuwuk (mengobatinya)
tetapi, ketika kami akan bertamu, kalian malah menolak. Aku tidak akan
mengobati, sehingga kalian memberi gaji (upah). Bayarlah gaji tersebut
dengan seekor kambing. Lalu satu kambing didatangkan. Laki-laki tersebut
membaca surat al-Fatihah, kemudian meniupkan ludahnya sehingga pimpinan
itu sembuh, (saking cepatnya) seperti orang yang terlepas dari tali
serban. Abi Said berkata,” mereka menepati janji dengan memberi gaji
(upah).” Lalu para sahabat berkata, “Bagilah (upah tersebut).” Lelaki
tukang suwuk berkata, “Jangan lakukan hal itu sehingga kita datang
kepada Rasul.” Lalu Rasul bersabda, “Dari mana kalian tahu bahwa ummul
kitab bisa dipergunakan untuk menyuwuk? Bagus….kalian, bagilah! Dan aku
minta bagian”
(Sunan Abi Dawud, juz II, hal. 232-233)
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa mengobati berbagai penyakit dengan do’a-do’a itu dibenarkan. Dan mengambil ongkos/upah dari pengobatan itu juga diperbolehkan.
(Batasan Praktik Orang-orang Pintar (Dukun)
Dilarang praktiknya
orang-orang pintar (dukun) dikarenakan dalam praktiknya menggunakan
sihir yang jelas bertentangan dengan syari’at Islam, yakni terdapat
kemusyrikan yaitu menggunakan perantara jin dan setan, serta menimbulkan
bahaya pada orang lain.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ ». (سنن ابى داود رقم 3385)
Dari Abdullah Ia pernah
mendengar bahwa Rasulullah bersabda: sesungguhnya suwuk, zimat, dan
sihir adalah syirik. (Sunan Abi Dawud, hal. 3385)
Dibenarkan praktiknya orang-orang pintar (dukun) dengan tiga ketentuan yang harus diperhatikan yaitu: Pertama, amalan, hizib, azimat atau yang semisalnya harus menggunakan kalam Allah Swt. Kedua, menggunakan bahasa yang dapat dipahami maknanya. Ketiga, meyakini semua hanya sebatas ikhtiar serta keberhasilan yang terwujud atau semua kejadian yang terjadi semata karena takdir Allah Swt.
وَسُئِلَ بَعْضُهُمْ عَنْ رَجُلٍ صَالِحٍ يَكْتُبُ لِلْحَمَى وَ يَرْقَى وَيَعْمَلُ النَّشْرَةَ وَيُعَالِجُ اَصْحَابَ الصَّرْعِ وَالْجُنُوْنِ بِأَسْمَاءِ اللهِ وَالْخَوَاتِمِ وَاْلعَزَائِمِ وَيَنْتَفِعُ بِذَالِكَ مِنْ عَمَلِهِ وَلاَ يَأْخُذُ عَلَى ذلِكَ اَلْاُجُوْرَ هَلْ لَهُ بِذلِكَ اَجْرٌ اَمَّا الْكُتُبُ لِلْحَمَى وَالرَّقِى وَالنَّشْرُ باِلْقُرْأَنِ وَبِالْمَعْرُوْفِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ فَلاَ بَأْسَ بِهِ اهـ (فتاوى حاشية ص 88)
PEMAKAMAN
(Macam-macam Orang Mati Syahid)
Menurut Imam Ibnu Rif’ah dan sahabatnya, orang yang mati syahid itu ada tiga golongan, yaitu
1 Syahid ‘Indallah (mati syahid menurut Allah) diantaranya
2 Orang yang meninggal karena dibunuh secara zhalim
3 Meninggal karena tenggelam
4 Meninggal karena terbakar
5 Meninggal karena tertimpa bangunan
6 Meninggal karena sakit perut
7 Meninggal karena dilukai oleh orang lain
8 Meninggal karena kerinduan
9 Meninggal mendadak
10 Meninggal karena sakit waktu melahirkan
11 Meninggal di negeri orang kafir Harbi (Musuh)
Orang yang meninggal di atas termasuk golongan yang wajib diperlakukan sebagaimana mestinya (dimandikan dan dishalati)
Syahid Fid Dunya (mati syahid menurut manusia)
Orang yang meninggal sebagai pengatur strategi perang yang tidak terjun langsung dalam medan peperangan.
1 Orang yang meninggal dunia dalam peperangan akan tetapi memihak kepada kelompok lain.
2 Orang yang meninggal dunia dalam peperangan karena riya’ dan mencari popularitas.
3 Orang-orang yang meninggal di atas sebagai syahid secara hukum, jadi tidak wajib dimandikan dan dishalati.
Syahid Fid Dunya Wal Akhirat (mati syahid menurut Allah dan Manusia)
Yang termasuk golongan ini, yaitu orang yang meninggal karena berperang membela agama Allah (fii sabilillah). Mayat golongan ini tidak dimandikan dan tidak perlu dishalati. (Kifayah al-Akhyar, Fashal Fii al-Mu’tadati al-Raj’iyah juz I, hal.164).
وَإثْنَانِ لاَيُغْسَلاَنِ وَلا يُصَلَّى عَلَيْهِمَا : اَلشَّهِيْدُ فِى مَعْرَكَةِ اْلكُفََّارِ وَالسِّقْطُ اَّلذِى لَمْ يَسْتَهِل
Dan dua orang yang tidak dimandikan dan tidak dishalati atas mereka: (1) orang yang meninggal dalam medan pertempuran melawan orang-orang kafir dan (2) janin yang jatuh (bayi kluron) yang belum sempat menangis.
(وَاثْنَانِ لاَ يُغْسَلاَنِ وَلَا يُصَلّى عَلَيْهِمَا الشَّهِيْدُ فِي مَعْرَكَةِ الْكُفَّارِ وَالسِّقْطُ الَّذِيْ لَمْ يَسْتَهِلْ ) وَيُصَلَّى عَلَيْهِ إِنْ اخْتَلَجَ اعْلَمْ أَنَّ الشَّهِيْدَ يَصْدُقُ عَلَى كُلِّ مَنْ قُتِلَ ظُلْمًا أَوْ مَاتَ بِغَرَقٍ أَوْ حَرَقٍ أَوْ هَدَمٍ أَوْ مَاتَ مَبْطُوْناً أَوْ مَاتَ عِشْقًا أَوْ كَانَتْ إِمْرَأَةٌ وَمَاتَتْ فِي الطَّلْقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ وَكَذَا مَنْ مَاتَ فُجْأَةً أَوْ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَالَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ وَمَعَ صِدْقِهِ أَنَّهُمْ شُهَدَاءٌ فَهَؤُلَاءُ يُغْسَلُوْنَ وَيُصَلَّي عَلَيْهِمْ كَسَاِئرِ المْـَوْتَى وَمَعْنَى الشَّهَادَةِ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ. وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِْي قِتَالِ الْكُفَّارِ مُدَبِّرًا غَيْرَ مُتَحَرِّفٍ لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلىَ الْفِئَةِ أَوْ كَانَ يُقَاتِلُ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَهَذَا شَهِيْدٌ فِي الْحُكْمِ ِبمَعْنَى أَنَّهُ لَا يُغْسَلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَهُوَ شَهِيْدٌ فِي الدُّنْيَا دُوْنَ الآخِرَةِ وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ بِسَبَبِ الْقِتَالِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَرْضِِّي فَهَذَا شَهِيْدٌ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. ( كفاية الأخيار، فصل ويلزم في الميت، جزء 1 ص 154
(Talqin Saat Naza’ (Sakaratul Maut)
Talqin
terhadap orang yang akan meninggal dunia adalah mengajari ucapan kalimah
toyyibah supaya dalam akhir hayatnya tetap membawa kalimat “Laa Ilaha
Illallah, Muhammad Rasulullah”.
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ خَالِدِ بْنِ مَخْلَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ .
1. صحيح مسلم باب تلقين الموتى.
2. سنن أبي داود باب مافى التلقين
3. السنن الكبرى للبيهقى وفي ذيله باب ما يستحب من تلقين الميت
Dari said dan Abu
Hurairoh ra. Mereka berkata, Rasul bersabda: “Ajarilah orang mati kalian
dengan kalimat Laa Ilaha Illallah”. Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim
pada kitab sahihnya, dari cerita Khalid bin Makhlad, dari sulaiman.
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari cerita Abi Khazim, dari
Abu Hurairah.
Yang dimaksud hadits di atas adalah Rasulullah mengutus kita agar mengajari orang yang sedang naza’ (menjelang meninggal dunia) dengan ucapan kalimat tauhid. Sebagaimana firman Allah:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاء (27)
Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[788] dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang
yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (Q.S. Ibrahim:27)
(788) Yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sangat di anjurkan mengajari kalimat tauhid kepada orang yang akan meninggal dunia, karena pada saat menjelang kematiannya akan menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kesengsaraan kehidupan manusia di akhirat selanjutnya.
(Posisi Jenazah Ketika Dishalati)
Posisi jenazah ketika dishalati
Posisi jenazah laki-laki yaitu posisi kepala terletak di sebelah kiri imam
Posisi jenazah perempuan yaitu posisi kepala terletak di sebelah kanan imam.
وَيَجْرِىْ هَذَا
التَّفْصِيْلُ فِى الْوُقُوْفِ فِى الصَّلاَةِ عَلىَ الْقَبْرِ اِلَى اَنْ
قاَلَ وَيُضَمُّ لِهذِهِ الْقَاعِدَةِ قاَعِدَةٌ اُخْرَى سَيَأْتِيْ
اَلتَّصْرِيْحُ بِهَا فِىْ عِباَرَةِ الْبَرْماَوِىِّ وَهِيَ يُجْعَلُ
مُعْظَمُ الْمَيِّتِ يَمِيْنَ الْمُصَلِّى فَحِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ رَأْسُ
الذَّكَرِ فِيْ جِهَةِ يَساَرِى الْمُصَلِّى وَاْلاُنْثَى باِلْعَكْسِ
(حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188
Posisi imam shalat jenazah
Untuk jenazah laki-laki, posisi imam berdiri lurus searah dengan kepala jenazah.
Untuk jenazah perempuan, posisi imam berdiri lurus searah dengan pantat jenazah. (Hasyiyah al-Jamal ‘Ala al-Minhaj, juz II, hal. 188)
وَيَقِفُ نَدْباً غَيْرُ
مَأْمُوْمٍ فِى إِماَمٍ وَمُنْفَرِدٍ عِنْدَ رَأْسِ ذَكَر ٍوَعَجِزِ
غَيْرِهِ مِنْ اُنْثىَ وَخُنْثَى (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188)
(Shalat Jenazah bagi Wanita)
Hukum shalat jenazah
adalah fardlu kifayah (yang mengerjakan satu menggugurkan kewajiban yang
lain). Shalat jenazah bagi wanita hukumnya adalah sah. Tatapi ulama’
masih khilaf tentang apakah shalat jenazah orang wanita dapat
menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi orang laki-laki?
Menurut Imam Ibnu Muqri dan dikukuhkan oleh imam al-Romli bahwa shalatnya orang perempuan sah dan hanya dapat menggugurkan fardu kifayah dari golongan perempuan saja, artinya tidak dapat menggugurkan kewajiban kaum laki-laki.
وَاِذَا صَلَّتْ اَلْمَرْأَةُ سَقَطَ اَلْفَرْضُ عَنِ النِّسَاءِ (شرح المنهج جز 2 ,181)
Perempuan yang shalat
jenazah hanya bisa menggugurkan kewajiban bagi kalangan perempuan saja
(tidak bisa menggugurkan kewajiban bagi laki-laki). (Sarayh, al-Minhaj,
juz II, hal. 181)
Menurut Ibnu Hajar, melaksanakan shalat jenazah bagi perempuan sah dan bisa menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi yang lain dengan syarat tidak ada orang laki-laki. Dan shalat jenazah tersebut disunnahkan pula berjama’ah bagi golongan perempuan.
أَمَّا اِذاَ لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ وَتُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ
(شرح المنهج جز 2 ,181)
(Shalat jenazah) boleh bagi perempuan selagi tidak ada yang lain (orang laki-laki) dan juga dapat menggugurkan kewajiban orang laki-laki serta disunnahkan pelaksanaan shalat jenazah dengan berjama’ah. (Sarakh al-Minhaj, juz II, hal. 181)
(Hukum Melaksanakan Shalat Jenazah Tanpa Wudluk)
Pada suatu saat, setelah
melaksanakan shalat jenazah, Sanimo ditanya temannya kenapa kamu shalat
jenazah tanpa sesuci? Shalat itu kan harus punya wudlu’?. Bagaimanakah
status shalat Sanimo dalam kasus di atas?
Hukumnya khilaf
1 Tidak sah. Menurut
ijma’ ulama’, setiap bentuk shalat yang diawali takbir dan diakhiri
dengan salam harus dalam kondisi suci meskipun dalam shalat jenazah
tanpa ruku’, i’tidal, sujud dan tahiyyat.
(فَرْعٌ) ذَكَرَناَ مَذْهَبُناَ اَنَّ صَلاَةَ الْجَنَازَةِ لاَتَصِحُّ اِلاَّ بِطَهَارَةٍ وَمَعْناَهُ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ اْلوُضُوْءِ لَمْ تَصِحَّ اِلاَّ بِهِ، وَإِنْ عَجَزَ تَيَمَّمَ، وَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمِ مَعَ إِمْكَانِ الْمَاءِ، وَإِنْ خَافَ فَوْتَ الْوَقْتِ (المجموع شرح المهذب جز 5 ص177)
Telah saya sebutkan
bahwa sesungguhnya shalat jenazah itu tidaklah sah kecuali dengan
bersuci. Artinya apabila seseorang masih mungkin berwudlu’, maka shalat
jenazah tersebut tidak sah kecuali dilakukan dengan memakai wudlu’.
(al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)
2 Sah. Menurut Imam Ibnu Jarir dan Imam Syi’bi. Karena shalat jenazah merupakan bentuk do’a bukan seperti shalat maktubah atau yang lain.
وَقاَلَ الشَّعْبِىْ وَمُحَمَّدُ ابْنُ جَرِيْرٍ اَلطَّبَرِيّ وَالشِّيْعَةُ تَجُوْزُ صَلاَةُ الْجَناَزَةِ بِغَيْرِ الطَّهَارَةِ مَعَ اِمْكَانِ الْوُضُوْءِ وَالتَّيَمُّمِ لِأَنَّهَا دُعَاءٌ (المجموع شرح المهذب ج 5، ص 177
Asya’bi, Muhammad bin
Jarir al-Thabari dan kaum syi’ah berkata diperbolehkan shalat jenazah
dengan tanpa bersuci, meskipun masih memungkinkan untuk mengerjakan
wudlu’ dan tayammum, karena shalat jenazah itu hanya sekedar do’a.
(al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)
(Kesaksian Terhadap Jenazah)
Ketika jenazah hendak
diberangkatkan ke pemakaman dilakukan acara Ibro’ terlebih dahulu di
hadapan masyarakat, keluarga dan sanak famili yang ditinggalkannya untuk
memohonkan maaf buat jenazah atas kesalahannya dan penyelesaian
utang-piutang selama hidupnya, dalam kesempatan itu yang menarik adalah
permintaan kesaksian masyarakat (isyhad) terhadap nilai perilaku jenazah
selama hidupnya. Bagaimanakah hukum memberi kesaksian kepada jenazah
yang akan diberangkatkan ke pemakaman?
Tradisi ibro’ yang telah berlaku di masyarakat ini hukumnya boleh (disunnahkan), bahkan dianjurkan memberi pujian baik kepada jenazah asalkan si mayit memang pantas untuk dipuji. Sebagaimana keterangan di bawah ini:
وَيُسْتَحَبُّ الثَّنَاءُ عَلَى الْمَيِّتِ وَذِكْرُ مَحَاسِنِهِ ( الاذكار النواوى ص 150 )
Disunnahkan memuji atas mayit dan menyebutkan kebaikannya. (al-Adzkar al-Nawawi hal.150)
( فَإِنْ رَأَى خَيْرًا سُنَّ ذِكْرُهُ ) لِيَكُوْنَ أَدْعَى لِكَثْرَةِ الْمُصَلِّينَ عَلَيْهِ وَالدَّاعِينَ لَهُ وَلِخَبَرِ ابْنِ حِبَّانِ وَالْحَاكِمِ اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكَفُّوا عن مَسَاوِيهِمْ
Sunnah hukumnya menyebut kebaikan si mayit apabila mengetahuinya. Tujuannya tiada lain untuk mendorong agar lebih banyak yang memintakan rahmat dan berdoa untuknya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dan Hakim: Sebutlah kebaikan seseorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya. Fathu al-Wahab, bab Kitab al-Janaaiz juz 1 hal. 91
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - :« أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ ». قَالَ قُلْنَا : وَثَلاَثَةٌ قَالَ :« وَثَلاَثَةٌ ». قَالَ قُلْنَا : وَاثْنَانِ قَالَ :« وَاثْنَانِ ». قَالَ : لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ رواه الْبُخَارِى
Nabi bersabda: Setiap
muslim yang disaksikan sebagai orang baik-baik oleh 4 orang, Allah akan
memasukkan ke surga. Kami (para sahabat) bertanya: kalau disaksikan 3
orang? Nabi menjawab: kalau disaksikan 3 orang juga masuk surga. Kalau
disaksikan 2 orang? Nabi menjawab: 2 orang juga. Kami (para sahabat)
tidak menanyakan lagi bagaimana kalau hanya disaksikan oleh 1 orang.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab sahihnya
(Riyad al-Shalikhin, bab Fadl Man Maata Lahu Aulaadun Shighor hal 388)
(Mengantar Jenazah Sambil Mengucap Lafadz LAA ILAHA ILLALLAH)
Sudah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat apabila mengiringi jenazah menuju ke pemakaman,
dengan diiringi bacaan kalimat tahlil (Laa Ilaha Illallah). Bagaimanakah
hukum membaca kalimat tersebut?
Tradisi seperti itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dan amalan tersebut tidak dilarang oleh agama, sebab selain mengandung nilai-nilai kebaikan dengan berdzikir kepada Allah Swt. perbuatan itu tentu jauh lebih baik dari pada berbicara masalah duniawi dalam suasana berkabung, sebagaimana dijelaskan oleh syekh Muhammad Bin A’lan al-Siddiqi dalam kitabnya al-Futukhat al-Rabbaniyah
وَقَدْ جَرَّتْ اَلْعَادَةُ فِىْ بَلَدِناَ زَبِيْدٍ بِالْجَهْرِ باِلذِّكْرِ اَماَمَ الْجَناَزَةِ بِمَحْضَرٍ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَقَدْ عَمَّتْ اَلْبَلْوَى بِمَا شَاهِدْناَهُ مِنْ اِشْتِغَالٍ غاَلِبٍ الْمُشَيِّعِيْنَ بِالْحَدِيْثِ اَلدُّنْيَوِيِّ وَرُبَّمَا اَدَاهُمْ ذَلِكَ اِلَى الْغِيْبَةِ اَوْ غَيْرِهَا مِنَ اْلكَلاَمِ اَلْمُحَرَّمَةِ فَالَّذِيْ اِخْتَارَهُ اِنَّ شُغْلَ اِسْمَاعِهِمْ بِالذِّكْرِ اَلْمُؤَدِّيْ اِلَى تَرْكِ اْلكَلاَمِ وَتَقْلِيْلِهِ اَوْلَى مِنِ اسْتِرْسَالِهِمْ فِى اْلكَلاَمِ الدُّنْيَوِيِّ اِرْتِكَاباً بِأَخَّفِ الْمَفْسَدَتَيْنِ . كَماَ هُوَ الْقَاعِدَةُ الشَّرْعِيَّةُ وَسَوَاءٌ اَلذِّكْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَغَيْرُهَا مِنْ اَنْوَاعِ الذِّكْرِ وَاللهُ اَعْلَمُ (الفتوحات الربانية على اذكر النواوية ج 4 ص 183)
Telah menjadi tradisi di
daerah kami Zabith untuk mengeraskan dzikir di hadapan jenazah (ketika
mengantar ke kuburan). Dan itu dilakukan di hadapan para ulama’, ahli
fiqih dan orang-orang saleh. Dan sudah menjadi kebiasaan buruk yang
telah kita ketahui, bahwa ketika mengantarkan jenazah, orang-orang sibuk
dengan perbincangan masalah-masalah duniawi, dan tidak jarang
perbincangan itu menjerumuskan mereka ke dalam ghibah atau perkataan
lain yang diharamkan. Adapun hal yang terbaik adalah mendengarkan dzikir
yang menyebabkan mereka tidak berbicara atau meminimalisir pembicaraan
adalah lebih utama dari pada membiarkan mereka bebas membicarakan
masalah-masalah duniawi. Ini sesuai dengan prinsip memilih yang lebih
kecil mafsadahnya, yang merupakan salah satu kaidah syar’iyah. Tidak ada
bedanya apakah yang dibaca itu dzikir, tahlil ataupun yang lainnya,
WaAllahu a’lam.
(al-Futukhat al-Rabbaniyah ‘ala Adzkari al-Nabawiyah juz IV, hal. 183)
Dan lebih jelas lagi di terangkan dalam kitab Tanwirul Qulub, bahwa disunnahkan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir atau membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw., dan dilarang gaduh atau berbincang-bincang tentang perkara yang tidak berguna:
وَيُسَنُّ الْمَشْيُ اَمَامَهَا وَقُرْبَهَا وَاْلاِسْرَاعُ بِهَا وَالتَّفَكُّرُ فِى الْمَوْتِ وَماَبَعْدَهُ . وَكُرِهَ اللُّغَطُ وَالْحَدِيْثُ فِيْ اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَرَفْعِ الصَّوْتِ اِلاَّ بِالْقُرْأَنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَتِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ بَأْْسَ بِهِ اْلاَنَ لِأَنَّهُ شِعَارٌ لِلْمَيِّتِ. ( تنوير القلوب ص 213
Para pengantar jenazah
yang berjalan kaki disunnahkan berjalan di depan keranda atau di
dekatnya sambil berjalan cepat dan berfikir tentang dan sesudah mati.
Tetapi tidak disunnahkan bagi para pengantar jenazah untuk gaduh,
bercakap-cakap urusan dunia, apalagi dengan suara keras, kecuali
melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir, atau shalawat kepada
nbi karena hal ini menambah syi’ar bagi si mayit. (Tanwir al-Qulub
halaman 213)
(Talqin Mayit)
Talqin mayit adalah
mengajari dan menuntun aqidah kepada mayit, dengan harapan si mayit
mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
( قَوْلُهُ يَقُوْلُ ياَ عَبْدَ اللهِ إِلَخْ ) رَوَاهُ الطَّبْرَانِيُّ بِلَفَظٍ إِذَا ماَتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قاَعِدًا ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ أَرْشَدْناَ يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعَرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ شهادة أن لا إله إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ باِللهِ رَباَّ وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْناَ وَبِمُحَمَّدٍ نَبِياًّ وَبِالْقُرْآنِ إِماَماً (رواه الطبرانى. إعانة الطالبين ج 2 ص 14)
Rasulullah bersabda;
apabila salah seorang dari saudara kamu meninggal dunia, maka ratakanlah
tanah kuburannya, berdirilah di atas kepala kuburan mayit, lalu
berkatalah wahai fulan bin fulan; sesungguhnya mayit tersebut mendengar
ucapan itu, lalu orang yang menalqin berkata: bahwa fulan bin fulan!
bahwa mayit tersebut mendengar ucapan itu, lalu mayit tersebut duduk,
dan orang yang menalqin berkata lagi, wahai fulan bin fulan,
sesungguhnya mayit itu berkata, tunjukkan aku maka engkau akan diberi
rahmat oleh Allah Swt., sesungguhnya kalian (manusia) tidak
mengetahuinya, lalu orang yang menalqin berkata, aku ingatkan padamu
(mayit) sesuatu (yang harus) engkau bawa keluar dari dunia, yaitu
penyaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah Swt. dan
sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA, dan sesungguhnya
kamu ridho bahwa Allah Swt. adalah tuhanmu, islam menjadi agamamu,
Muhammad menjadi Nabimu dan Al-Qur’an menjadi imammu. (HR. Imam at
Tabrani) (I’anat al-Thalibin, juz II, hal. 14)
Menurut Imam al-Adzra’i:
Disunnahkan mentalqin
mayit yang sudah baligh sesuai dengan firman Allah yang artinya dan
berdzikirlah sesungguhnya dzikir itu memberikan manfaat kepada
orang-orang yang beriman.
Tidak disunnahkan mentalqin anak yang belum baligh karena dia tidak mendapat fitnah di dalam kuburnya, begitu juga orang gila. Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-thalibin juz 2 halaman 140.
( قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ ) مَعْطُوْفٌ عَلَى أَنْ يُلَقِّنَ أَيْضًا أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ إِلَخْ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَذْكُرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ } وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ وَخَرَجَ بِالْبَالِغِ الطِّفْلِ فَلاَ يُسَنُّ تَلْقِيْنُهُ لِأَنَّهُ لاَ يُفْتَنُ فِيْ قَبْرِهِ وَمِثْلُهُ اَلْمَجْنُوْنُ إِنْ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيْفٌ وَإِلاَّ لُقِنَ وَعِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَلاَ يُلَقَّنُ طِفْلٌ وَلَوْ مُرَاهِقًا وَمَجْنُوْنٌ لَمْ يَتَقَدَّمَهُ تَكْلِيْفٌ كَمَا قَيَّدَ تْهُ اْلأَذْرَعِيَّ لِعَدَمِ اِفْتِتَانِهِمَا اه اعانة الطالبين ج 2 ص 140 .
Dengan demikian talqin mayit adalah hal yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
(Menyiram Kuburan dengan Air Bunga)
Ketika berziarah,
rasanya tidak lengkap jika seorang peziarah yang berziarah tidak membawa
air bunga ke tempat pemakaman, yang mana air tersebut akan diletakkan
pada pusara. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah merata di seluruh
masyarakat. Bagaimanakah hukumnya? Apakah manfaat dari perbuatan
tersebut?
Para ulama mengatakan bahwa hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, hal. 145
وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)
Disunnahkan untuk
menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan
sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga
tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena
malaikat senang pada aroma yang harum.
(Nihayah al-Zain, hal. 154)
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi;
حَدثَناَ يَحْيَ :
حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن
ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا
لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا
فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ
باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا
بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ
رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ
عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا) (صحيح البخارى رقم 1361)
Dari Ibnu Umar ia
berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah
lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam
kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam
kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai
penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu
domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah
kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada
masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa
engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah
meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini
belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])
Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;
يُسَنُّ وَضْعُ
جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ
يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ
مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ (اعانة الطالبين ج. 2، ص119 )
Disunnahkan meletakkan
pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah
sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena
barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan
dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan
basah atau yang masih segar. (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)
Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163
وَيُنْدَبُ وَضْعُ
الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ
يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ
أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan
termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut
termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit.
(Hukum Shalat Jenazah di Atas Kuburan)
Banyak orang yang ingin
mengerjakan shalat jenazah. Apalagi jika yang meninggal adalah seorang
ulama’. Tidak jarang, shalat jenazah dilakukan setelah mayit
disemayamkan dalam kuburannya. Bagaimana hukum shalat jenazah di atas
kuburan itu?
Menanggapi hal ini ulama’ Syafiiyah mengatakan boleh dan sah hal ini didasarkan pada hadits:
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم ، فَلَمَّا وَرَدْنَا الْبَقِيعَ إِذَا هُوَ بِقَبْرٍ جَدِيدٍ ،
فَسَأَلَ عَنْهُ ، فَقَالُوا : فُلانَةٌ ، فَعَرَفَهَا ، فَقَالَ : أَلا
آذَنْتُمُونِي ؟ قَالُوا : كُنْتَ قَائِلا صَائِمًا ، فَكَرِهْنَا أَنْ
نُؤْذِنَكَ ، فَقَالَ : لا تَفْعَلُوا لأَعْرِفَنَّ مَا مَاتَ مِنْكُمْ
مَيِّتٌ مَا كُنْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلا دَعَوْتُمُونِي ، فَإِنَّ
صَلاتِي عَلَيْهِ رَحْمَةٌ قَالَ : ثُمَّ أَتَى الْقَبْرَ ، فَصُفِفْنَا
خَلْفَهُ ، فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا (مسند أحمد بن حنبل الجزء 4 ص
388
Diriwayatkan dari Zaid
Bin Tsabit Ra, beliau berkata kami pernah keluar bersama Nabi Saw.
Ketika kami sampai di Baqi’, ternyata ada kuburan baru. Lalu beliau
bertanya tentang kuburan itu. Sahabat bertanya, yang meninggal adalah
seorang perempuan, dan ternyata beliau mengenalnya. Kemudian beliau
bersabda Kenapa kalian tidak memberitahu aku tentang kematiannya?.
Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, anda (waktu itu) sedang tidur
qailulah (tidur sebentar sebelum waktu dhuhur) dan berpuasa. Maka kami
tidak ingin mengganggumu. Rasulullah menjawab: Jangan begitu, seorang
tidak akan mati di antara kalian selama aku berada di tengah-tengah
kalian kecuali kalian mengabarkannya kepadaku. Karena shalatku merupakan
rahmat baginya. Lalu beliau mendatangi kuburan itu dan kami pun
berbaris di belakang beliau. Kemudian beliau bertakbir empat kali
(shalat jenazah) untuknya
(Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 4 hal 388)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa shalat jenazah di atas kuburan adalah boleh. Al-Sham’ani mengatakan;
وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ الصَّلاَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ دُفْنِهِ مُطْلَقاً سَوَاءٌ صَلِّى عَلَيْهِ قَبْلَ الدُّفْنِ أَمْ لاَ وَإِلَى هذَا ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ. (سبل السلام, ج 2 ص 100
Hadits itu secara mutlak
menunjukkan sahnya shalat jenazah setelah dikuburkan, baik sebelum
dikuburkan sudah dishalati atau belum. (Subul al-Salam, juz II hal.
100).
Imam Daru al-Quthni menambahkan shalat jenazah di depan kuburan tetap sah meskipun jenazah sudah satu bulan dimakamkan.
وَلَوْ صَلَّى عَلَى مَنْ دُفِنَ صَحَّتْ صَلاَتُهُ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ مَا دُفِنَ (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ) زَادَ دَارُ القُّطْنِى بَعْدَ شَهْرٍ (كفاية الاخيار، ج 1 ص 157)
Imam al-Rouyani berkata
meskipun mayat telah dikebumikan tetap sah menshalatinya karena Nabi
pernah melakukan hal tersebut di atas kuburan setelah mayat di tanam,
bahkan Imam Daru al-Quthni menambahkan, meskipun sudah melewati satu
bulan. (Kifayah al-Akhyar, juz I hal. 157)
(Shalat Ghaib untuk Mayit)
Ketika seorang ulama’
besar dan kharismatik dipanggil ke rahmatullah, seluruh umat akan merasa
kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan bela sungkawa,
sebagian kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah maka
mereka melaksanakan shalat ghaib. Bagaimana pandangan ulama’ tentang
pelaksanaan shalat ghaib untuk mayit?
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tetapi berada di lain tempat, bisa jadi di desa lain ataupun di negara lain.
Dalam pelaksanaan shalat ghaib untuk mayat terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama’
1 Tidak sah, pelaksanaan shalat ghaib.
لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى المَيِّتِ الَّذِيْ فِيْهَا أَىْ الْبَلَدِ الَّتِيْ كَانَ الْمُصَلِّيْ حاضرا فيها ولم يحضر في ذلك الميت: وَإِنْ كَبُرَتْ اَلْبَلَدُ لَتَيَسَّرَ الحُضُوْرُ غالبا، والْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي اْلبَلَدِ لِكِبَرِهَا وَنَحْوِهِ صَحَّتْ، وَحَيْثُ لاَ وَلَوْ خاَرِجَ السُّوْرَ لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامُلِسِى عَنْ اِبْنِ قاَسِمٍ، فَلَوْكاَنَ الْمَيِّتُ خَارِجَ السُّوْرَ قَرِيْبا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ وَالْمُرَادُ بِالْقَرِبِ هُناَ حَدُّ اْلغَوْثِ (نهاية الزين ص 159-160)
Tidak sah shalat mayit
di suatu daerah yang memungkinkan untuk datang, namun dia tidak
menghadirinya: walaupun daerah tersebut luas dan mudah dijangkau. Dan
menurut qoul yang diunggulkan sesungguhnya hal yang menjadi pertimbangan
adalah ada atau tidak adanya kesulitan untuk menghadirinya, apabila ada
kesulitan maka shalatnya sah. (Nihayah al-Zain hal.159-160)
2 Sah menurut qaul mu’tamad, pelaksanaan shalat ghaib tersebut dikatakan sah apabila tidak memungkinkan menghadiri shalat jenazah. Sebagaimana diterangkan dalam Nihayah al-Zain;
وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى غَائِبٍ عَنْ بَلَدٍ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ مَوْتِهِ بِالْحَبَشَةِ (نهاية الزين ص 159
Sah pelaksanaan shalat
ghaib di suatu daerah, karena Nabi Saw. telah menshalati orang Najasyi
Ra. di Madinah waktu dia wafat di Habasyah.
(Nihayah al-Zain, hal. 159)
(Qadla’ Shalat untuk Mayit)
Salah seorang keluarga
si A meninggal dunia, selama dua bulan terakhir, dia tidak mengerjakan
shalat. Lalu dia berwasiat, kalau nanti dia mati supaya shalatnya
diqadla’i oleh ahli warisnya. Bagaimana hukumnya mengqadla’ shalat untuk
orang yang sudah mati?
Shalat merupakan ibadah Mahdloh, yaitu ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan langsung berhubungan dengan sang Khalik. Maka pertanggung jawabannya kepada Allah Swt. secara pribadi. Berkaitan dengan shalat yang pernah ditinggalkan oleh orang yang mati maka ada beberapa pandangan:
1 Tidak boleh dan tidak sah mengqadha’ shalatnya karena shalat termasuk ibadah badaniyah, sebagaimana telah dijelaskan;
وَلَوْ قَضَاهَا وَارِثُهُ بِأَمْرِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ بَدَنِيَّةٌ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)
Seandainya ahli warisnya
mengqadla’i atas perintah si mayit sebelum mati, maka tidak
diperbolehkan melaksanakannya, karena shalat itu merupakan ibadah
badaniyah. (I’anah al-Tholibin, juz I, hal. 33)
2 Tidak ada kewajiban qadla’ bagi ahli warisnya. Demikian juga mereka tidak berkewajiban menebusnya dengan harta yang ditinggalkan oleh si mayit, hanya saja sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan si mayit boleh di qadla’ oleh ahli warisnya, baik sebelum meninggal dunia dia berwasiat atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin, juz I, hal. 33.
مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ
صَلاَةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَلَمْ تُفْدَ عَنْهُ، وَفِيْ قَوْلٍ أَنَّهَا
تُفْعَلُ عَنْهُ. أَوْصَى ِبهَا أَمْ لَا، مَا حَكَاهُ الْعُبَادِي عَنِ
الشَّافِعِيِّ لِخَبَرٍ فِيْهِ. وَفَعَلَ بِهِ اَلسُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ
أَقاَرِبِهِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)
Barang siapa yang mati
dan punya tanggungan shalat, maka tidak wajib mengqadla’ dan membayar
tebusan (oleh ahli waris). Dan dalam satu pendapat, bahwa shalat itu
diqadla’, baik si mayit berwasiat atau tidak. Sebagaimana yang
diriwayatkan Al-Ubbady dari Imam Syafi’i. Imam Subki pernah mengerjakan
(Qadla’ shalat) itu untuk kerabatnya. (I’anah al-Thalibin, juz I,
hal.33)
(Fidyah sebagai Ganti Puasa yang Ditinggal oleh Mayit)
Ibadah puasa merupakan
kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt. Kepada seluruh umat Islam.
Orang-orang yang memenuhi syarat wajib melaksanakannya. Jika pada suatu
saat, orang tersebut tidak puasa ia berkewajiban mengganti puasa yang
ditinggalkan tersebut pada lain hari. Persoalannya adalah, bagaimanakah
jika orang itu tidak mengganti puasanya sampai ia meninggal dunia,
bolehkah keluarga atau kerabatnya menggantikan puasanya tersebut?
Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia yang belum mengganti puasanya.
Pertama, orang tersebut meninggalkan puasa karena udzur, Ia meninggal sebelum sempat mengganti puasanya, misalnya tidak ada waktu untuk mengqadla’ puasanya. Seperti orang yang meninggal dunia pada pertengahan puasa atau pada saat hari raya, atau karena sakit yang ia derita tak kunjung sembuh hingga ajal menjemputnya.
Kedua, tidak puasa karena tidak ada udzur, tatapi orang tersebut memiliki kesempatan mengqadla’ puasanya, namun ia tidak mengganti puasa yang telah ditinggalkannya itu, baik karena malas atau alasan yang dibenarkan oleh syara’ kemudian ia meninggal dunia sebelum mengganti puasanya.
Jawaban
1 Pada contoh yang
pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban untuk mengganti puasanya,
sebab ia tidak berbuat lalai atau meremehkan masalah agama.
2 Pada contoh yang kedua, orang itu mati dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh waris atau familinya, yaitu:
Memberikan makanan kepada fakir miskin
(Mengqadla’ puasanya orang yan meninggal)
Sebagaimana yang diterangkan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 192
وَمَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمُ رَمَضَانَ أَوْ نَذَرٌ أَوْ كَفاَرَةٌ قَبْلَ إِمْكاَنِ فِعْلِهِ بِأَنْ اِسْتَمَرَ مَرِضُهُ اَلَّذِيْ لاَ يُرْجَى بُرْؤُهُ أَوْ سَفَرُهُ الْمُباَحُ إِلَى مَوْتِهِ فَلاَ تَدَارُكَ لِلْفاَئِتِ بِالْفِدْيَةِ وَلاَ بِالْقَضَاءِ وَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَقْصِيْرِهِ فَإِنْ تَعَدَّى بِاْلإِفْطَارِ ثُمَّ ماَتَ قَبْلَ التَّمَكُّنِ وَبَعْدَهُ أَوْ أَفْطَرَ بِعُذْرٍ وَماَتَ بَعْدَ التَّمَكُّنِ أَطْعَمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ مِنْ تِرْكَتِهِ لِكُلِّ يَوْمٍ فاَتَهُ مُدَّ طَعاَمٍ مِنْ غاَلِبِ قُوْتِ الْبَلَدِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ لَمْ يَلْزَمْ اَلْوَلِيَّ إِطْعاَمٌ وَلاَ صَوْمٌ بَلْ يُسَنُّ لَهُ ذلِكَ لِخَبَرٍ مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (نهاية الزين, ص 192)
Orang mati dengan
meninggalkan puasa Ramadhan, Nadar atau puasa Kafarot, sedangkan ia
belum sempat menggantinya, seperti sakit yang ia derita terus
berkepanjangan dan sedikit harapan untuk sembuh, atau ia terus melakukan
perjalanan mubah (perjalanan yang tidak untuk maksiat) sampai ia mati.
Maka orang itu tidak perlu mengganti puasa yang ditinggalkannya, baik
dengan puasa atau dengan membayar Fidyah (makanan pokok), sebab ia tidak
lalai. Tapi jika ia sengaja tidak berpuasa (tanpa sebab yang
dibenarkan), kemudian orang tersebut mati, baik sebelum sempat atau
telah punya waktu untuk mengganti puasanya. Atau orang itu tidak puasa
karena ada alasan yang dibenarkan, kemudian meninggal setelah ia
memiliki kesempatan untuk mengqadla’ puasanya, (dalam kedua masalah ini)
wali atau keluarga si mayit harus memberikan satu mud makanan pokok
daerah itu setiap satu hari. Makanan itu diambilkan dari tirkah (harta
peninggalan) si mayit (dan diberikan kepada para fakir miskin). Apabila
orang yang meninggal itu tidak memiliki harta, maka wali tidak wajib
berpuasa atau membayar fidyah yang diambil dari hartanya sendiri, tapi
(perbuatan itu) disunnahkan kepada si wali. Sesuai dengan hadits Nabi
Saw. barang siapa yang mati sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka
walinya boleh berpuasa untuknya.
(Nihayah al-Zain hal. 192
Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ (سنن ابن ماجه,ج 1 ص 558, رقم 1747)
Dari Ibnu Umar ia
berkata, Rasulullah Bersabda; Barang siapa yang mati dan dia mempunyai
kewajiban berpuasa, maka hendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi
makan kepada fakir miskin. (Sunan Ibnu Majah [1747])
(قَوْلُهُ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً إلخ) تَمْلِيْكُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً أَوْ فَقِيْرًا كُلُّ وَاحِدٍ مُدُّ طَعَامٍ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ طَعَامًا وَيُطْعِمُهُمْ إِيَّاهُ فَلَوْ غَدَاهُمْ أَوْعَشَاهُمْ لَا يَكْفِيْ (إعانة الطالبين، جزء 2، ص240)
Fidyah adalah membayar
denda untuk mengganti kewajiban yang ditinggalkan dengan memberi makan
kepada 60 orang fakir miskin, masing-masing orang, satu mud (6 ons).
Dengan demikian ada beberapa pilihan, apabila ada keluarga kita yang meninggal dunia dengan mempunyai hutang puasa, yakni bisa dengan mengqadla’ puasanya atau dengan membayar fidyah.
(Ziarah kubur)
Pada malam jum’at atau
siang harinya, sudah lazim bagi masyarakat Nahdliyin melakukan ziarah
kubur. Mereka berziarah ke makam leluhur dan sanak kerabat yang telah
lebih dahulu meninggalkannya. Berbagai kegiatan mereka lakukan di sana
seperti membaca al-Qur’an, dzikir ataupun tahlil. Bagaimanakah
sebenarnya hukum ziarah kubur tersebut apakah manfaat dan kegunaannya?
Pada masa awal Islam, Rasulullah memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga akidah umat Islam yang waktu itu masih lemah. Setelah akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu orang yang hidup untuk mengingat akan kematiannya. Nabi telah bersabda;
عَنْ بَرِيْدَةٍ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِياَرَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِرُ اْلآخِرَةَ (سنن الترمذى، رقم 973)
Dari Buraidah ia
berkata, Rasulullah bersabda; saya pernah melarang kamu berziarah kubur.
Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam
ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat
mengingatkan kamu pada akhirat. (Sunan al-Tirmidzi_974)
Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, beliau mengatakan;
وَسُئِلَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ زِيَارَةِ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ إلَيْهَا هَلْ يَجُوزُ مَعَ أَنَّهُ يَجْتَمِعُ عِنْدَ تِلْكَ الْقُبُورِ مَفَاسِدٌ كَثِيرَةٌ كَاخْتِلَاطِ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَإِسْرَاجِ السُّرُجِ الْكَثِيرَةِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ زِيَارَةُ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إلَيْهَا (الفتاوى الفقهية الكبرى، ج 1 ص 421)
Beliau ditanya tentang
berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan
perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam
para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula perjalanan ke
makam mereka.
(al-Fatawi al-Kubra, juz I, hal. 421)
Maka, ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki ataupun perempuan, sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi orang yang telah meninggal dunia yaitu berupa hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan kalimat-kalimat thayyibah, maupun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.
(Keutamaan Ziarah Qubur)
Fadhilah atau keutamaan ziarah kubur ditegaskan dalam Nihayah al-Zain hal.164 bahwa
Disunnahkan untuk
berziarah kubur, barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau
salah satunya setiap hari jum'at, maka Allah mengampuni dosa-dosanya
dan dia dicatat sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang
tuanya”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa berziarah ke makam
kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakan
surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim di samping kuburnya maka Allah
mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat
pada ayat surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim”. Dan riwayat lain
menyebutkan pahala ziarah kubur kepada orang tua adalah seperti pahala
ibadah haji:
وَيُسَنُّ زِيَارَةُ الْقُبُوْرِ وَوَرَدَ أَنَّ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً غُفِرَ لَهُ وَكَانَ باَرًا لِوَالِدِيْهِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَ يَس وَالْقُرْآنَ الْحَكِيْمَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ ذٰلِكَ آيَةً وَحَرْفًا، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ كاَنَ كَحَجَّةٍ. (نهاية الزين ص 164)
Mengenai keutamaan ziarah kubur juga diterangkan oleh Ibnu Najar dalam tarikhnya dari Abu Bakar Assiddiq, Rasulullah bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakanya surat Yaasin maka Allah mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat pada surat Yaasin”. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Dar al-Mansur, Juz 7 hal. 40, Makarim al-Akhlak, Juz 1 hal. 73 dan 248, dan lain-lain.
وَأَخْرَجَ اِبْنُ النَّّجَارِ فِيْ تَارِيْخِهِ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ اَلصِّدِّيِقِ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ " مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَا يَس غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْهَا " ( في الكتاب الدر المنثور جز 7 ص 40 و مكارم الاخلاق جز 1 ص 83 , 248 )
Rasulullah bersabda;
“Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya
setiap hari jum'at maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat
sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang tuanya”.
Diterangkan dalam kitab: al-Mu'jam al-Kabir Litthabrani, Juz 19 hal. 85.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن
أَحْمَدَ أَبُو النُّعْمَانِ بن شِبْلٍ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا عَمُّ أَبِي مُحَمَّدِ بن النُّعْمَانِ، عَنْ يَحْيَى بن
الْعَلاءِ الْبَجَلِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:"مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ
أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا. (كتاب المعجم
الكبير للطبرانى جز 19 ص 85)
Rasulullah juga
bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau
bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya maka pahalanya
adalah sebesar pahala haji yang mabrur. Dan barang siapa yang istiqamah
berziarah kubur sampai datang ajalnya maka para malaikat akan selalu
menziarahi kuburannya”.
Hal tersebut diterangkan dalam kitab: al-Maudhu'at, Juz 3 hal. 240.
أَنْبَأَناَ
إِسْمَاعِيْلُ بِنْ أَحْمَدَ أَنْبَأَناَ حَمْزَةُ أَنْبَأَناَ أَبُوْ
أَحْمَدُ بِنْ عُدَى حَدَثَناَ أَحْمَدُ بِنْ حَفْصِ السَّعْدِى حَدَثَناَ
إِبْرَاهِيْمُ بِنْ مُوْسَى حَدَثَناَ خَاقَانِ السَّعْدِى حَدَثَناَ
أَبُوْ مَقَاتِلْ اَلسَّمَرْقَنْدِى عَنْ عُبَيْدِاللهِ عَنْ ناَفِعِ عَنْ
اِبْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبِيْهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ عَمَّتِهِ أَوْ خَالَتِهِ
أَوْ أَحَدٍ مِنْ قَرَابَاتِهِ كَانَتْ لَهُ حَجَّةٌ مَبْرُوْرَةٌ، وَمَنْ
كَانَ زَائِراً لَهُمْ حَتَّى يَمُوْتُ زَارَتْ اَلْمَلاَئِكَةُ قَبْرَهُ "
(كتاب الموضوعات جز 3 ص 240)
(Ziarah Kubur bagi Perempuan)
Pada dasarnya ziarah
kubur merupakan tuntunan Nabi bagi umatnya untuk selalu mengingat bahwa
setiap makhluk yang hidup akan mengalami kematian dan adanya kehidupan
akhirat kelak. Lalu bagaimanakah hukum ziarah kubur bagi perempuan:
1 Makruh, apabila perempuan mudah susah dan resah, menangis dengan menjerit akibat lemahnya hati dan perasaannya.
( قَوْلُهُ فَتُكْرَهُ ) أَيْ اَلزِّياَرَةُ لِأَنَّهَا مَظِنَّةٌ لِطَلَبِ بُكَائِهِنَّ وَرَفْعِ أَصْوَاتِهِنَّ لِمَا فِيْهِنَّ مِنْ رِقَّةِ اْلقَلْبِ وَكَثْرَةِ الْجَزَعِ (إعانة الطالبين, ج 2 ص 142)
Dimakruhkan bagi wanita berziarah kubur karena hal tersebut cenderung membantu pada kondisi yang melemahkan hati dan jiwa.
(I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)
2 Sunnah, jika ziarah ke makam para Nabi, auliya’ dan orang shaleh.
يُسَنُّ لَهَا زِياَرَةُ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَخْ وَقَالَ بَعْضُهُمْ اَىْ مِثْلُ زِياَرَةِ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زِياَرَةُ سَائِرِ قُبُوْرِ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلعُلَمَاءِ وَاْلأَوْلِياَءِ (إعانة الطالبين، ج …ص 142)
Disunnahkan bagi wanita berziarah kuburnya para Nabi, ulama’ dan para wali atau orang-orang yang shalih.
(I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)
(Mengharap Barokah)
Dari dahulu masyarakat
Indonesia marak melakukan ziarah makam para wali. Ziarah makam para wali
yaitu mendatangi makam seseorang yang dianggap sebagai waliyullah
(orang yang dekat dengan Allah Swt.) yang berada di wilayah tertentu.
Seperti di pulau jawa terdapat makam wali songo dan wali-wali lainnya.
Tujuan melakukan ziarah selain untuk mengingatkan kepada kematian juga untuk mengharap limpahan barokah (berkah) yang diyakini dapat mengalir dari do’a para wali tersebut. Ada sebagian orang berpendapat bahwa mengharap barokah itu termasuk syirik. Benarkah anggapan tersebut?
Sebelum membahas tentang hukum mengharap barokah terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian barokah. Menurut Imam Syamsudin al-Syakhawi barokah adalah: Berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’:
اَلْمُرَدُ بِالْبَرَكَةِ اَلنُّمُوُّ وَالزِّياَدَةُ مِنَ الْخَيْرِ وَالْكَرَمَةِ. (القول البديع فى الصلاة على الحبيب الشفيع, ص 91)
Yang dimaksud dengan
barokah adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan.
(al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’, hal.91)
Barokah itu ada yang diletakkan pada diri seseorang atau atsar (hal-hal yang membekas, memberikan kesan berupa jasa atau yang lain) dari seseorang. Mengenai dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada diri seseorang adalah perkataan Imam Mujahid dan Imam Atho’ dalam kitab Tafsir al-Baghawy;
( وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ) اَىْ نَفَّاعًا حَيْثُ مَا تَوَجَّهْتُ . وَقَالَ مُجَاهِدٌ مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ , وَقَالَ عَطَاءٌ اَدْعُوْ اِلَى اللهِ وَاِلَى تَوْحِيْدِهِ وَعِبَادَتِهِ . وَقِيْلَ مُبَارَكاً عَلَى مَنْ تَبِعَنِيْ ( تفسير البغوى ج 3 ص 233 )
(Dan Dia (Allah)
menjadikan aku (Nabi Isa as) seorang yang diberkati di mana saja aku
berada) yaitu berguna di manapun aku menghadap. Imam Mujahid berkata:
Mengajarkan kebaikan. Imam Atho’ berkata: Aku berdo’a kepada Allah, dan
mengesakan-Nya juga menyembah-Nya. Dan dikatakan diberkahi atas orang
yang mengikutiku (Nabi Isa As.). (Tafsir al-Baghawy juz 3 halaman 233)
Adapun dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada atsar seseorang adalah hadits sebagai berikut
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ مَوْلَى أَسْمَاءَ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَ أَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةً طَيَالِسَةً عَلَيْهَا لَبِنَةُ شَبْرٍ مِنْ دِيبَاجٍ كِسْرَوَانِيٍّ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوفَانِ بِهِ قَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُهَا كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ فَلَمَّا قُبِضَتْ عَائِشَةُ قَبَضْتُهَا إِلَيَّ فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرِيضِ مِنَّا يَسْتَشْفِي بِهَا (مسند احمد بن حنبل, باب حَدَّثَنَا أَسْمَاءُ بنت ابي بكر الصديق , رقم 25705)
Telah bercerita kepadaku
Yahya bin Sa’id dari Abdul Malik, beliau berkata: Abdullah budaknya
Asma’ binti Abu Bakar ra, menceritakan dari Asma’, dia berkata; Asma’
memperlihatkan kepadaku pakaian yang berlubang yang berjahit sutra, lalu
asma berkata, ini adalah pakaian Rasulullah Saw. yang pernah beliau
pakai. Pakaian itu dulu disimpan oleh ‘Aisyah ra. Ketika Aisyah ra.
Wafat, saya yang menyimpannya. Kami selalu mencelupnya ke air untuk
mengobati orang yang sakit dari kalangan kami. (Musnad Ahmad bin Hambal
bab Hadatsana Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq, [25705]).
Berdasarkan paparan di atas, hukumnya boleh mencari barokah (berkah) dengan berziarah ke makam-makam para wali, dengan catatan tidak meyakini bahwa tempat itulah yang memberikan berkah, akan tetapi hanya Allah Swt. semata yang memberikan barokah.
(Membakar Kemenyan di Kuburan)
Di kalangan masyarakat
terkadang melakukan upaya membakar kemenyan (dupo) di kuburan, pada
waktu mulai membangun rumah, ataupun pada waktu mulai menanam padi dan
acara selamatan-selamatan lainnya. Bagaimanakah hukum perilaku
masyarakat seperti di atas?
Perilaku masyarakat di atas terkait dengan keyakinan dan pengharapan, dengan demikian hukumnya ditafsil:
1 Haram dan kufur, bila beri’tikad bahwa kemenyan yang dibakar memberikan pengaruh, misalnya dapat mendatangkan keberuntungan dan rizki.
2 Boleh, melakukan upaya membakar kemenyan untuk menghilangkan bau yang tidak nyaman dan beri’tikad bahwa semua kemanfaatan yang dihasilkan hanya datang dari Allah.
dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 249
جَعَلَ الْوَسَائِطِ
بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ ، فَإِنْ صاَرَ يَدْعُوْهُمْ كَمَا
يَدْعُوْ اللهَ فِي اْلأُمُوْرِ وَيَعْتَقِدُ تَأْثِيْرُهُمْ فِي شَيْءٍِ
مِنْ دُوْنِ اللهِ تَعاَلَى فَهُوَ كُفُرٌ ، وَإِنْ كاَنَ نِيَتُهُ
التَّوَسُّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ تَعَالَى فِي قَضَاءِ مُهِمَّاتِهِ ، مَعَ
اعْتِقَادٍ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ الْمُؤْثِرُ فِي
اْلأُمُوْرِ دُوْنَ غَيْرِهِ ، فاَلظَّاهِرُ عَدَمُ كُفْرِهِ وَإِنْ كاَنَ
فِعْلُهُ قَبِيْحاً. (بغية المسترشدين :249
(Hukum Membangun Kuburan)
Banyak sekali pemakaman
baik di pemakaman umum maupun di tanah pribadi yang diberi pagar,
diperbaiki dengan rapi dan indah, bahkan ada yang membangun dengan
melakukan pengkijingan, pemasangan atap dan seterusnya. Kadang hal ini
menelan dana yang tidak sedikit, misalnya makam para wali, makam dari
golongan keluarga kaya dan sebagainya. Bagaimanakah hukum membangun
makam seperti di atas?
1 Haram, membangun kuburan di tanah Musabbalah (tanah kuburan umum) dan tanah wakaf.
2 Makruh, membangun kuburan di tanah pribadi atau tanah yang tidak diwakafkan karena termasuk menyia-nyiakan harta.
3 Boleh, membangun kuburan Nabi, sahabat, auliya’ dan orang-orang shaleh karena dibuat untuk tabarruk (mencari berkah)
(Khasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib, Fashlun Fil Janazah juz II, hal.297)
( وَلَا يُبْنَى ) أَيْ يُكْرَهُ فِي غَيْرِ الْمُسَبَّلَةِ وَالْمَوْقُوفَةِ وَيَحْرُمُ فِيهِمَا كَمَا أَشَارَ لِذَلِكَ الشَّارِحُ ، إلَّا إنْ خِيفَ نَبْشُهُ أَوْ تَخْرِقةُ سَيْلٍ لَهُ فَلَا يُكْرَهُ حِينَئِذٍ وَلَا فَرْقَ فِي عَدَمِ الْكَرَاهَةِ لِأَجْلِ ذَلِكَ بَيْنَ الْمُسَبَّلَةِ وَغَيْرِهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ الزَّرْكَشِيّ .ا هـ .حَجّ وَلَوْ وُجِدَ بِنَاءٌ فِي أَرْضٍ مُسَبَّلَةٍ وَلَمْ يُعْلَمْ أَصْلُهُ تُرِكَ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ وُضِعَ بِحَقٍّ قِيَاسًا عَلَى مَا حَرَّرُوهُ فِي الْكَنَائِسِ وَمِنْ الْبِنَاءِ الْأَحْجَارُ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِتَرْكِيبِهَا نَعَمْ اسْتَثْنَى بَعْضُهُمْ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَنَحْوَهُمْ ، بِرْمَاوِيٌّ وَعِبَارَةُ الرَّحْمَانِيِّ : نَعَمْ قُبُورُ الصَّالِحِينَ يَجُوزُ بِنَاؤُهَا وَلَوْ بِقُبَّةِ الْأَحْيَاءِ لِلزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ. (حاشية البجيرمي على الخطيب، فصل في الجنازة، جزء 2، ص. 297).
(Hukum Memindah Kuburan)
Terkadang kita menjumpai
di tengah-tengah masyarakat ada pemindahan mayit dari pemakaman yang
satu ke pemakaman yang lain, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, hal
ini dilakukan karena berbagai alasan diantaranya karena perluasan jalan
raya, sengketa tanah, bahkan juga keinginan dari pihak keluarga sendiri
untuk dipindahkan. Hal semacam ini bolehkah dilakukan?
1 Haram, dilakukan pemindahan tersebut, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, karena mengakibatkan terbukanya aib si mayit, kecuali dalam keadaan dharurat. Sebagaimana keterangan dalam kitab Mahalli, juz I, hal. 352.
وَنَبْشُهُ بَعْدَ
دَفْنِهِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ حَرَامٌ إلَّا لِضَرُورَةٍ: بِأَنْ دُفِنَ
بِلَا غُسْلٍ أَوْ فِي أَرْضٍ، أَوْ ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ، أَوْ وَقَعَ
فِيهِ مَالٌ، أَوْ دُفِنَ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ لَا لِلتَّكْفِينِ فِي
الْأَصَحِّ. (المحلى، ج 1 ص 352)
Menggali kembali kuburan
untuk dipindahkan atau tujuan lainnya hukumnya haram kecuali karena ada
sesuatu yang dharurat seperti: mayit belum dimandikan, mayit dikubur
atau memakai pakaian ghosob, terdapat harta berharga, atau mayit dikubur
tidak menghadap kiblat, bukan karena untuk mengkafani (menurut pendapat
yang lebih sahih). (al-Mahalli, juz I, hal. 352)
2 Makruh, pemindahan tersebut baik tempatnya berjauhan maupun dekat karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Hawasyi al-Syarwani;
وَقَضِيَّةُ قَوْلِهِ
بَلَدٍ آخَرَ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ نَقْلُهُ لِتُرْبَةٍ وَنَحْوِهَا
وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَأَنَّ كُلَّ مَا لَا يُنْسَبُ
لِبَلَدِ الْمَوْتِ يَحْرُمُ النَّقْلُ إلَيْهِ ثُمَّ رَأَيْت غَيْرَ
وَاحِدٍ جَزَمُوا بِحُرْمَةِ نَقْلِهِ إلَى مَحَلٍّ أَبْعَدَ مِنْ
مَقْبَرَةِ مَحَلِّ مَوْتِهِ ( وَقِيلَ يُكْرَهُ ) إذْ لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ
لِتَحْرِيمِهِ (حاشية الشروانى، ج 4 ص 199)
Batasan pemindahan itu
selagi tidak melebihi jarak kuburan daerahnya si mayit. Dalam hal ini
menurut sebagian ulama’ pemindahan itu tidak diharamkan, akan tetapi
dihukumi makruh, karena tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini.
(Hasyiyah al-Syarwani, juz IV, hal. 199)
(Membongkar Kuburan)
Di suatu daerah terdapat
peristiwa pembongkaran makam, hal ini dilakukan karena mayat di
dalamnya harus divisum terkait dengan kasus kriminal yang terjadi.
Bagaimanakah hukum dari pembongkaran pemakaman mayat tersebut?
1 Haram, karena hal tersebut merupakan perkara yang membuka aib si mayit.
2 Boleh, apabila hal ini mendapat izin dari keluarga mayat.
Keterangan di atas berdasarkan kitab Bujairami ‘Ala al-Khotib, Juz II, halaman. 309.
وَأَمَّا نَبْشُهُ بَعْدَ
دَفْنِهِ وَقَبْلَ الْبَلَى عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِتِلْكَ الْأَرْضِ
لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَتَكْفِينِهِ فَحَرَامٌ
لِأَنَّ فِيهِ هَتْكًا لِحُرْمَتِهِ إلَّا لِضَرُورَةٍ بِأَنْ دُفِنَ بِلَا
غُسْلٍ وَلَا تَيَمُّمٍ بِشَرْطِهِ وَهُوَ مِمَّنْ يَجِبُ غُسْلُهُ
لِأَنَّهُ وَاجِبٌ ، فَاسْتَدْرَكَ عِنْدَ قُرْبِهِ فَيَجِبُ عَلَى
الْمَشْهُورِ نَبْشُهُ وَغُسْلُهُ إنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ أَوْ دُفِنَ فِي
أَرْضٍ أَوْ فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ وَطَالَبَ بِهِمَا مَالِكُهُمَا
فَيَجِبُ النَّبْشُ وَلَوْ تَغَيَّرَ الْمَيِّتُ لِيَصِلَ الْمُسْتَحِقُّ
إلَى حَقِّهِ ، وَيُسَنُّ لِصَاحِبِهِمَا التَّرْكُ .( البجيرمى على الخاطب
ج 2 ص 309 )
Sebab-sebab wajibnya membongkar kuburan:
Mayat belum dimandikan
Mayat tidak menghadap kiblat
Jika mayat membawa barang orang lain (ghosob)
Ada janin pada perut mayat dan diperkirakan janin tersebut masih hidup, (misalnya karena janin berumur 6 bulan lebih), menurut ahli kedokteran.
Orang kafir yang dikubur di pemakaman orang islam.
Terkena banjir atau bencana yang lain.
Orang kafir yang dikubur di tanah suci (Makkah)
Adanya tuntutan orang lain terhadap ahlul waris mayit karena terjadi kasus.
Keterangan dalam kitab Inarah al-Duja, hal. 158
وَيَنْبَسُ الْمَيِّتُ لِلْأَرْبَعَةِ لِلْغُسْلِ مَعْ تَوْجِيْهِهِ لِلْقِبْلَةِ
هَذَا لَمْ إِذَا يَتَغَيَّرْ وَانْتِقَا لِلْمَالِ إِنْ دُفِنَ مَعْهُ مُطْلَقًا
كَذَاكَ لِلْجَنِيْنِ حَيْثُ دُفِنَا مَعْ أُمهِ وَظُنَّ حَيًّا هَاهُنَا
Dengan demikian membongkar kuburan hukumnya boleh ketika dalam keadaan darurat.
Non Muslim Meninggal sebelum Baligh Masuk Sorga atau Neraka
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada 3 pendapat
Menurut sebagian ulama’ anak orang kafir yang meninggal belum baligh akan masuk neraka karena dinisbatkan (dibangsakan) pada orang tuanya yang kafir.
عَنْ خَدِيْجَةَ اَنَّهَا سَاَلَتْ اَلنَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَوْلاَدِهَا اَلَّذِيْنَ مَاتُوْا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ زَوْجٍ لَهَا قَبْلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْ شِئْتِ اَرَأَيْتُكِ تَقْبِلَهُمْ فِى النَّارِ وَاِنْ شِئْتِ اِسْمَعْكِ نَعْلاَئِهِمْ فِى النَّارِ وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ وَلاَ يَلِدُوْا اِلاَّ فاَجِرًا كَفَّارًا، فَإِنَّهُمْ حِيْنَ وَلَدُوْا كاَنُوْا كُفَّارًا.
Diceritakan dari Siti
Khadijah Ra., sesungguhnya dia bertanya pada Nabi tentang anak-anaknya
yang telah meninggal pada masa Jahiliyah dengan suami sebelum Nabi, Maka
Nabi Muhammad Saw. Berkata: Kalau kamu ingin mengetahui, aku akan
menunjukkan keberadaan anakmu di neraka, kalau kamu ingin mengetahui aku
akan memperdengarkan sandal anakmu yang ada di neraka, Allah Swt.
berfirman: Anak-anak orang kafir tidak dilahirkan kecuali menjadi orang
yang rusak dan kafir.
Menurut sebagian ulama anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk surga karena dikembalikan pada fitrah (suci)
رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبُوْاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
Diceritakan dari Nabi
Muhammad Saw. beliau bersabda; setiap bayi yang dilahirkan adalah suci,
tergantung orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Menurut sebagian ulama’, anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan dijadikan pelayan surga.
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَذَرُوْنَ مِنَ اللاَّهُوْنِ مِنْ أُمَّتِىْ فَقَالُوْا اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ فَقاَلَ أَطْفاَلُ الْمُشْرِكِيْنَ لَمْ يَذْنِبُوْا فَيُعَذِّبُوْا وَيُعَمِّلُوْا حَسَنَةً فَيُثاَبُوْا فَهُمْ خُدَّامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
Diceritakan dari Nabi
Muhammad Saw. Beliau bersabda: apakah kalian tahu apa yang dinamakan
Lahun dari umatku?. Para sahabat menjawab: Allah dan rasulnya yang lebih
tahu. Kemudian Nabi bersabda: mereka adalah anak-anak orang kafir yang
meninggal sebelum baligh, belum melakukan dosa dan akan disiksa, dan
belum melakukan perbuatan baik kemudian mendapat pahala, yaitu anak-anak
orang kafir (yang meninggal sebelum baligh) mereka akan menjadi pelayan
di surga. (Bustan al-Arifin, hal. 101-102)
(Adzan dan Iqomah saat Mayit Dibaringkan dalam Liang Lahat)
Adzan merupakan salah
satu ibadah yang dianjurkan oleh agama Islam. Karena di dalam adzan ada
manfaat yang sangat besar, serta terkandung syiar agama Islam. Ketika
akan melaksanakan shalat, adzan dikumandangkan sebagai tanda masuknya
waktu shalat. Dan salah satu kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah
adzan setelah mayit diletakkan dalam kuburan. Bagaimanakah hukum adzan
tersebut?
Dalam hal ini pandangan ulama’ terbagi menjadi dua
1 Tidak disunnahkan adzan setelah mayit diletakkan dalam liang lahat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan pelaksanaan hal tersebut dari Nabi.
2 Sunnah karena bisa disamakan pada adzan dan iqomah ketika anak baru lahir ke dunia.
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ الْأَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنَّتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهِ (إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ، ج.1، ص. 230)
Ketahuilah, sesungguhnya
adzan itu tidak disunnahkan ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur.
Berbeda dengan orang yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah, karena
kematian dikiaskan dengan kelahiran. (Ianah al-Thaliban, juz I, hal.
230).
Dengan demikian adzan dan iqomah tersebut tidak dapat dikatakan haram.
SIKAP DAN KEPRIBADIAN SEORANG SUFI
(Definisi Sufi yang Dikemukakan oleh Para Ulama’)
Menurut Imam Junaidi al-Baghdady
وَقَالَ جُنَيْدِيْ:
اَلصُّوْفِيْ كَالاَرْضِ يُطْرَحُ عَلَيْهَا كُلُّ قَبِيْحٍ وَلاَ يَخْرُجُ
مِنْهَا إِِلاَّ كُلُّ مَلِيْحٍ وَقَالَ اَيْضًا: اَلصُّوْفِى كَالاَرْضِ
يَطَئُوْهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَكَالسَّمَاءِ وَكَالسَّحَابِِ تُظِلُّ
كُلَّ شَيْءٍ وَكَالْمَطَارِ يُسْقِى كُلَّ شَيْءٍِ . في الكتاب نشأة
التصوف وتصريف الصوف ص 22
Seorang sufi itu
bagaikan bumi yang bila dilempari keburukan maka ia akan selalu
membalasnya dengan kebaikan. Seorang sufi itu bagaikan bumi yang mana di
atasnya berjalan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk (semua
diterimanya). Seorang sufi juga bagaikan langit atau mendung yang
menaungi semua yang ada di bawahnya, dan seperti air hujan yang
menyirami segala sesuatu tanpa memilah dan memilih, [yang baik maupun
yang buruk semuanya diayominya]”. Kitab Nasyatu at-Tashawuf Wa Tashrifu
as-Shufi hal 22
Dan menurut Aba Bakar al-Syibly dalam kitab Hilyah al-Auliya' Hal 11.
قَالَ اَبَا بَكَرْ الشِّبْلِيْ: اَلصُّوْفِيْ, مَنْ صَفاَ قَلْبَهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ اْلمُصْطَفَى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ اْلقَفَا، وَأَذَاقَ اْلهَوَى طَعْمَ اْلجَفَا.(كتاب حلية الاولياء ص:11)
Orang sufi itu adalah
seseorang yang membersihkan hatinya maka bersihlah hatinya, dan
mengikuti jalannya Nabi al-Musthafa Saw. Serta tidak terlalu memikirkan
perkara duniawi (lebih mementingkan masalah ukhrowi), dan menghilangkan
keinginan hawa nafsunya. Hilyatu al-Auliya’ halaman 11
Aba Hammam Abd. Rahman bin Mujib as-Shufi berpendapat:
سَمِعْتُ أَبَا هَمَّامْ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنِ مُجِيْبٍ اَلصُّوْفِي وَسُئِلَ عَنِ اَلصُّوْفِيْ
فَقَالَ: لِنَفْسِهِ ذَابِحٌ، وَلِهَوَاهُ فَاضِحٌ، وَلِعَدُوِّهِ جَارِحٌ،
وَلِلْخَلْقِ نَاصِحٌ. دَائِمِ اْلوَجَلِ، يَحْكُمُ اْلعَمَلَ، وَيَبْعَدُ
اْلأَمَلَ وَيَسُّدُّ اْلخِلَلَ، ويَغْضَى عَلىَ الزَّلَلِ، عُذْرُهُ
بِضَاعَةٍ، وَحَزْنُهُ صَنَاعَةٌ وَعَيْشُهُ قَنَاعَةٌ بِالْحَقِّ عَارِفٌ
وَعَلىَ الْبَابِ عَاكِفٌ وَعَنِ الْكُلِّ عَازِفٌ. (كتاب حلية الاولياء
ص:11)
1 Ciri-ciri orang sufi itu adalah sebagai berikut;
2 Seseorang yang merasa dirinya hina
3 Menahan dan memerangi hawa nafsunya
4 Memberi nasehat kepada mahluk
5 Selalu mendekatkan diri kepada Allah
6 Berperilaku bijaksana
7 Menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi dalam hal duniawi)
8 Tidak mau mencela
9 Mencegah perbuatan dosa
10 Waktu luangnya digunakan untuk beribadah
11 Susahnya sengaja di buat-buat (karena memang seorang sufi itu
terhindar dari 12 berbagai macam kesedihan dan kesusahan duniawiyah)
13 Hidupnya sederhana
14 Arif terhadap sesuatu yang benar
15 Mengasingkan diri dan mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia.
(Ciri-Ciri Kepribadian dan Perilaku Seorang Sufi)
Menurut Imam Qusyairi dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyah hal. 126-127 ciri-ciri kepribadian dan perilaku seorang sufi dibagi menjadi dua yaitu:
1 Seorang sufi al-Shadiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.
2 Seorang sufi al-Kadzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur.
عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ
الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ،
وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ
يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ،
وِيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ. ( كتاب رسالة القشيرية ص 126-127 )
_________________________________________________
Demikialah Rangkaian Tentang masalah kumpulan Ibaroh Ilmu fiqh,
bila ada ke khilafan Mohon maaf seribu maaf,
Akhiron _ Wassalamualaikum warohmatullohi wabaratuh?
Akhiron _ Wassalamualaikum warohmatullohi wabaratuh?
(H.Taufieq Fauzie)
Wallahu 'alam segala kebaikan milik Allah,