Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu
pasang iklan

aswaja konsep yang berbeda-beda 1

 Pengertian Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah

Konsep aswaja (ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah) selama ini masih belum dipahami secara tuntas sehingga menjadi “rebutan” setiap golongan, semua kelompok mengaku dirinya sebagai penganut ajaran aswaja dan tidak jarang label itu digunakan untuk kepentingan sesaat. Jadi, apakah yang dimaksud dengan aswaja itu sebenarnya? bagaimana pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan?

Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun, al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.

Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut.

Al-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya.

Al-Jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq Ra., Sayyidina Umar bin Khattab Ra., Sayyidina Utsman bin Affan Ra., dan sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw)

Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailany dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal.80

فَالسُّـنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَالْجَمَاعَةُ مَا اِتَّفَقَ عَلَيْهِ اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص 80 )

(Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw. Pada masa al Khulafa’ al Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah Swt. memberi rahmat pada mereka semua)
(al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq juz I hal.80)


Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdus Syakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah


اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الَّذِيْنَ لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِـىِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِى اْلعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ وَاْلأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ ( الكواكب اللماعة ص 8-9 )

(Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati)
(al-Kawakib al-Lamma’ah hal. 8-9)

Jadi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, ketiga prinsip tersebut adalah al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, prinsip al-tawazzun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli) dan al-I’tidal (tegak lurus). Ketiga prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi), perbuatan lahiriyah (fiqih) serta masalah akhlaq yang mengatur gerak hati (tasawuf). Dalam praktek keseharian, ajaran ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidzi, sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan dalam tasawuf mengikuti rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali,

Salah satu alasan dipilihnya ulama’-ulama’ tersebut oleh salafuna al-shalih sebagai panutan dalam ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. beserta para sahabatnya dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi ummatnya. Rasulullah Saw. Bersabda,


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلاَمِىْ اَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْباَضَ بْنَ سَارِيَّةِ قَالَ وَعَظَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتـِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـْينَ (مسند احمد بن حنبل ص 16519 )

(Dari Abd Rohman bin Amr al-Sulami, Sesungguhnya ia mendengar al-Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah Saw. menasehati kami, Kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku al-Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk)
(Musnad Ahmad Bin Hambal, 16519)

Karena itu, sebenarnya ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Ketika Rasulullah Saw. menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, dengan tegas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpadoman pada apa yang telah diperbuat oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya pada waktu itu (maa ana ‘alaihi waashkhabii)

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً , وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ,كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً , قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي " (تهذيب سنن أبي داود وايضاح , باب من اطلع في بيت الجزء 2 ص 330)

(Maka, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sesungguhnya bukanlah aliran yang baru muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran haqiqi agama Islam, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk menyosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam, sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan mengembalikan agama Islam agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat beliau)
(Khittah Nahdliyyah, 19-20)

Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku dirinya termasuk ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Abu Said al-Khadimi berkata)


فَاِنْ قِيْلَ كُلُّ فِرْقَةٍ تُدْعَى اَلِهاً اَهْلَ السُّـنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ( قُلْنَا ذالِكَ لاَيَكُوْنُ بِالدَّعْوَى بَلْ بِتَطْبِيْقَةِ اْلقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَذالِكَ بِالسُّنَّةِ اِلىَ زَمَانِناَ اِنَّمَا يُمْكِنُ بِتَطْبِيْقَةِ صَحَاحِ اْلأَحَادِيْثِ كَكُتُبِ الشَّيْخَيْنِ وَغَيْرِهُمَا مِنَ اْلكِتَابِ الَّتِيْ اِجْمَعَ عَلىَ وَثاَقَتِهاَ . (البريقة شرح الطريقة ص 111-112)

(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai golongan ahlu al sunnah wa al-jama’ah itu bukan hanya klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shahih, seperti shahih al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang telah disepakati validitasnya. (al-Bariqah Syarh al-Thariqah, hal.111-112)

(Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabatnya, dan itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari)

 (Tiga Sendi Utama Ajaran Islam)

Seperti yang sering dijelaskan, bahwa ada tiga pedoman ajaran yang menjadi standar ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, yakni tauhid (aqidah), fiqih dan tasawuf, ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa inti ajaran dalam agama Islam adalah tiga hal tersebut. Bagaimanakah hal tersebut,


عَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ« فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ». (صحيح مسلم الجزء 1 رقم 9


Dari Umar bin Khattab ra., dia berkata: Pada suatu hari kami berada bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak pada dirinya tanda-tanda kalau dia telah melakukan perjalanan jauh, dan tak seorang pun dari kami yang mengenalnya.

Kemudian laki-laki itu duduk di hadapan Nabi Saw. sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah Saw., sedangkan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw., laki-laki itu bertanya: “ Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam”. Rasulullah Saw. menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi tiada Tuhan selain Allah Swt.dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah Swt. dan hendaklah kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa pada bulan Ramadlan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”. Laki-laki itu pun menjawab, “Kamu berkata benar”, Umar berkata, tentu saja kami merasa heran kepada orang itu, sebab dia yang bertanya dan dia sendiri yang malah membenarkan (jawaban Rasululah)

Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, beritahukanlah kepadaku mengenai iman!, Rasulullah Saw. menjawab “Hendaklah kamu beriman kepada Allah Swt., para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman kepada hari akhir dan juga kepada qadar-Nya yang baik dan yang buruk”. Laki-laki itu pun menjawab, “kamu berkata benar”, kemudian laki-laki itu bertanya lagi “beritahukan kepada diriku mengenai ihsan”, Rasulullah Saw. menjawab “Hendaknya kamu menyembah Allah Swt. seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa merasa melihat-Nya, maka hendaklah kamu merasa dilihat-Nya (Allah Swt. melihatmu). Laki-laki itu bertanya lagi “beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat!” Rasulullah menjawab, “tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui dibanding orang yang bertanya,. Laki-laki itu berkata “kalau begitu beritahukanlah tentang tanda-tandanya saja!” Rasulullah Saw. Berkata “kalau sudah sudah ada budak melahirkan tuannya, kalau kamu telah menyaksikan orang yang tidak beralas kaki dan tidak berbusana dari kalangan orang-orang melarat penggembala domba saling berlomba-lomba mendirikan bangunan yang tinggi.

Umar berkata “kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat, kemudian Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, “Wahai Umar, tahukah dirimu siapakah laki-laki yang datang bertanya tadi? Aku menjawab, Hanya Allah Swt. dan Rasul-Nya saja yang mengetahui. Rasulullah Saw. lalu bersabda; sesungguhnya laki-laki itu adalah Jibril As. Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian semua. (Shahih Muslim, bab Ma’rifatil Iman wal Islam juz 1 hal 28)

Memperhatikan hadits di atas, maka ada tiga hal penting yang menjadi inti dari agama yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yakni Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam pengalaman kehidupan beragama tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan, seorang muslim tidak diperkenankan hanya terlalu mementingkan aspek Iman dan Islam dan begitu juga sebaliknya, sebagaimana firman Allah Swt


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (208)

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 208)

Dan dari dalil di atas dapat kita ketahui bahwa inti ajaran Islam adalah iman, islam dan ihsan yang harus diamalkan secara kaffah (menyeluruh) dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan berkembang dan dikolaborasi menjadi ilmu tauhid, fiqih,dan tasawuf.


(Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya)

Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah Swt.dalam bentuk yang paling sempurna (Fii ahsani taqwim, al-Thin:4) dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani untuk mengemban fungsi ke-khalifahan yaitu mengatur kehidupan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (al-Baqarah: 30-34, al-An’am:165)

Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidup yang dihadapi dalam lingkungan negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradabannya sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai sosial serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, budaya atau tradisi itu selalu mengalami perubahan baik berupa kemajuan maupun kemunduran yang semuanya ditentukan atas dasar relevansinya dengan kehidupan dan kemanusiaan. Pertemuan antara berbagai peradaban, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing, sebagai contoh adalah peradaban Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-7 masehi sampai perkembangannya merupakan salah satu kenyataan sejarah tersebut.

Salah satu faktor penentu berkembangnya peradaban Islam adalah faham golongan ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham dengan metode yang komperehensif, memadukan antara wahyu dan akal yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang mengandung prinsip moderat (tawasuth), menjaga keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tasamuh). Metode pemahaman dan pemikiran (manhaj al-fikr) ini lahir dari proses dialektika sejarah pemikiran dan gerakan yang intens dengan mengikuti tuntunan wahyu dan tuntunan akal secara proporsional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum kehidupan (sunnatullah). Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menghindari pertentangan politik dan fanatisme kelompok yang masuk dalam pemahaman keagamaan, dengan prinsip dan watak dasarnya itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dapat diterima dan berkembang di semua lapisan masyarakat serta ikut berperan memajukan kehidupan yang penuh kedamaian dalam wahana kebangsaan dan kenegaraan bersama peradaban, kebudayaan,dan tradisi lain.

Sebagai metode pemahaman dan pemikiran keagamaan yang fitri, ahlu al-sunnah wa al Jama’ah mengaktualisasikan diri dalam pengembangan peradaban, kebudayaan dan tradisi yang konstruktif (al-amru bi al-ma’ruf) serta mencegah perubahan yang destruktif (al nahy mabadi’ al khamsah: hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal) demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.

Dengan prinsip menyebarkan rahmat kepada seluruh alam semesta (rahmat li al-‘alamin) ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang realitas kehidupan secara inklusif (semua, menyeluruh) dan substansif (independen, hakiki). Secara mutlak ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak mau terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya juga tidak dalam kelompok-kelompok lain (tidak membedakan suku, ras dan budaya) karena mengaku atau mengklaim kebenaran hanya miliknya sendiri dan memandang pihak lain salah apalagi memaksakan pendapatnya kepada orang lain adalah merupakan sikap otoriter dan pada gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan dan konflik yang membuat kerusakan dan kesengsaraan.

Pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan ini adalah merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sifat ta’aruf, membuka diri dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama dengan saling menghormati dan saling membantu.

Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai metode pemahaman dan pemikiran yang dirumuskan dalam wacana keagamaan dalam penjabaran secara praktis masih banyak terjadi khilafiyah dan mengalami distorsi (pemutarbalikan fakta atau kenyataan) baik oleh para penganutnya maupun dikalangan orang luar. Pemahaman yang memadukan antara wahyu dan akal, teori kasab, serta tekanan ajaran zuhud (‘uzlah), qana’ah dan sebagainya telah disalahfahami yang kemudian diasumsikan menjadi penyebab kemunduran karena tumbuhnya sikap determinasi dan kepasrahan dalam kehidupan keduniaan, padahal ajaran akidah itu lebih bersifat penataan hubungan hamba dengan Tuhan. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah mendorong manusia untuk menjadi pribadi muslim yang saleh, kreatif, dinamis dan inovatif agar mampu menjalankan fungsi kekhalifahan dengan tulus demi pengabdian dan kebudayaan yang maju, memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan mendayagunakan potensi intelektualitas dan intuisinya secara maksimal dan bertanggung jawab sebagai amal saleh yang menentukan nilai dirinya dihadapan Allah Swt.

Prinsip ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban didasari sikap yang seimbang, menjaga kesinambungan antara hal-hal baik yang sudah ada dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah) dan dengan dasar itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern yang baru muncul atau baru lahir sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang dihadapi dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kata lain ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak mengakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syariat Islam, lagi pula semua yang ada dalam peradaban dan kebudayaan modern baik berupa etos kerja, kedisiplinan, orientasi ke depan, dorongan penggunaan teknologi canggih merupakan warisan kemanusiaan yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia.

(Macam-Macam BID’AH)

Belakangan ini semakin gencar tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu, yang satu menyatakan bahwa kelompok yang tidak sefaham dengannya sebagai ahlu bid’ah sehingga mereka tersesat dan berhak masuk neraka, sementara kelompok lain juga menuding kelompok yang lainnya lagi mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apa sebetulnya makna bid’ah itu? dan apakah memang benar bid’ah itu selalu berkonotasi negatif sehingga harus dihilangkan dari muka bumi ini?

Menurut al-Imam Abu Muhammad ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, bid’ah adalah:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( قواعد الأحكام في مصالح الأنام . ج 2 ص 172 )
Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anaam, juz II hal. 172)

Dalam khazanah pemahaman literatur fiqih, bid’ah secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek), sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i;


قَالَ اَلْمُحْدَثاَتُ ضَرْباَنِ مَا أَحْدَثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْ أَثَراً أَوْإِجْمَاعًا فَهذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ انتهى (فتح البارى , ج 17 ص .1)

Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, sunnah Nabi Saw., atsar sahabat atau ijma’ ulama’, hal ini disebut dengan bid’ah dhalalah. Dan kedua, jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikit pun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’), maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela. (Fathu al-Bari, juz 17 hal.10)

Sedangkan dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-An’am, Juz I, hal. 173 telah dijelaskan lebih lanjut secara terperinci bahwa sebagian besar ulama’ membagi bid’ah menjadi lima macam,

1 Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’ seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, dengan alasan karena hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad secara sempurna

2 Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw. misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah, mendirikan madrasah dan pesantren

3 Bid’ah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan-makanan yang lezat.

4 Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’ seperti madzhab Jabariyah dan Murji’ah.

5 Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.

Dari sini dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, pertama bid’ah hasanah yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah dan bid’ah mubahah, salah satu contoh dalam konteks ini seperti perkataan Sayyidina Umar bin Khattab ra. tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan:

نِعْمَةُ اْلبِِدْعَةُ هٰذِهِ (الموطأ رقم 231 )
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah). (al-Muwatha’ [231])

Contoh bid’ah hasanah antara lain adalah khutbah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah dibawah seorang komando, menambah bacaan subhanahu wata’ala yang disingkat dengan Swt. setiap ada kalimat Allah Swt. dan sallaAllahu alaihi wasallama yang diringkas Saw. setiap ada kata Muhammad, berkendara ke tempat atau majlis terpuji dengan naik mobil Alphard, mengendara sepeda motor ke sekolah, melihat acara pengajian dengan televisi, membuat buku Galak Gampil dengan sarana komputer, mesin cetak, mengabadikan momen-momen tertentu dengan kamera digital, makan es krim, serta masih banyak lagi perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw. yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Bid’ah yang kedua adalah Bid’ah Sayyi’ah atau bid’ah dhalalah, yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah Muharromah dan Makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini, dan inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad Saw:

عَنْ عَائِشَةَ - رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda: Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak. (Sahih Muslim, bab Idza Ijtahada al-Amal)

Dengan adanya pembagian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama, sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan sendi-sendi agama Islam, sedangkan amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang, bahkan untuk saat ini sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman


(PENERAPAN HUKUM FIQIH)

Setiap muslim mukallaf dituntut melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya, namun kita sadari bahwa pada setiap masa masing-masing orang mempunyai kekuatan dan kelemahan baik dari sisi fisik maupun keimanannya, bagaimanakah sikap agama melihat kenyataan seperti itu?

Allah Swt. memang menciptakan manusia sesuai dengan kadarnya masing-masing, dari sisi hukum syari’at terdapat dua tingkatan yaitu hukum yang berat dan yang ringan, dengan demikian qoul yang berat untuk mereka yang kuat dan yang ringan untuk mereka yang lemah. Hal ini sesungguhnya telah dijelaskan di dalam kitab al-Mizan al-Kubra hal.3


وَكَماَ لاَيَجُوْزُ لَناَ اَلطَّعْنُ فِيْماَ جَائَتْ بِهِ َاْلأَنْبِياَءُ مَعَ اخْتِلاَفِ شَرَائِعِهِمْ فَكَذلِكَ لاَيَجُوْزُ لَنَا اَلطَّعْنُ فِيْمَا اسْتَنْبَطَهُ َاْلأَئِمَّةُ اَلْمُجْتَهِدُوْنَ بِطَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ وَاْلاِسْتِحْسَانِ وَيُوْضَحُ لَكَ ذلِكَ أَنْ تَعْلَمَ يَاأَخِىْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ جَائَتْ مِنْ حَيْثُ اْلأَمْرِ وَالنَّهِى عَلىَ مَرْتَبَتـَىْ تَحْفِيْفٌ وَتَشْدِيْدٌ لاَ عَلىَ مَرْتَبَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا سَيَأْتِىْ اِيْضَاحُهُ فِى الْمِيْزَانِ فَاِنَّ جَمِيْعَ الْمُكَلِّفِيْنَ لاَ يُخْرِجُوْنَ عَنِ الْقِسْمَيْنِ : قَوِيٌّ وَضَعِيْفٌ مِنْ حَيْثُ اِيْمَانِهِ اَوْ جِسْمِهِ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ وَزَمَانٍ , فَمَنْ قَوِيَ مِنْهُمْ خُوْطِبَ بِالتَّشْدِيْدِ وَاْلأَخْذُ بِالْعَزَائِمِ وَمَنْ ضَعَفَ مِنْهُمْ خُوْطِبَ بِالتَّخْفِيْفِ وَاْلأَخْذُ بِالرُّخَصِ (الميزان الكبرى ص 3 )

Sebagaimana tidak diperbolehkan mencela perbedaan di antara syari’at-syari’at yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak diperbolehkan mencela pendapat-pendapat yang dicetuskan para imam Mujtahid, baik dengan metode ijtihad maupun istihsan. Saudaraku! Lebih jelasnya engkau perlu mengerti, bahwa syari’at itu dilihat dari perintah dan larangannya dikembalikan pada dua kategori yaitu ringan dan berat. Lebih jelasnya hal itu dicantumkan pada ‘al-Mizan. Dengan demikian orang-orang mukallaf itu dipandangkan dari segi keimanan dan fisiknya, dalam setiap zamannya, tidak terlepas dari dua kategori yaitu orang yang lemah dan orang yang kuat, dan barang siapa tergolong kuat, maka ia mendapatkan khitob berupa qoul yang galak, dan barang siapa yang tergolong lemah maka ia mendapatkan khitob berupa qoul yang gampil. (Al-Mizanu al-Kubra, hal. 3)

Dari keterangan tersebut di atas maka dalam menerapkan suatu hukum harus sesuai dengan syari’at ajaran Islam yang di dalamnya tidak ada kekerasan dan paksaan.

(HUKUM BERPINDAH-PINDAH MADZHAB)

Bagaimanakah hukum berpindah-pindah dalam mengikuti pendapat madzhab, semisal penganut madzhab Syafi’i memilih atau mengikuti qoul yang ringan dari qoul atau pendapat selain dari madzhab Imam Syafi’i atau sebaliknya?

1 Fasiq, apabila untuk mencari kemudahan-kemudahan hukum saja. Keterangan kitab Fatkhu al-Mu’in halaman 138

(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ اْلعَامِيْ ِبمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَـتُهُ وَإِلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهُبَ بِمَذْهَبٍ مَعَيَّنٍ مِنَ اْلأَرْبَعَةِ لاَ غَيْرِهَا ثُمَّ لَهُ وَإِنْ عَمِلَ بِاْلأَوَّلِ َاْلإِنْتِقاَلَ إِلىَ غَيْرِهِ باِلْكُلِّيَةِ أَوْ فِي الْمَسَائِلِ بِشَرْطٍ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرَّخَصَ بِأَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِاْلأَسْهَلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى اْلأَوْجَهِ

(Faidah) jika orang awam berpegang teguh pada suatu madzhab maka wajib mengikutinya, jika tidak atau berpindah madzhab maka wajib mengikuti madzhab yang jelas dari salahsatu madzhab empat (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak kepada madzhab yang lainnya, jika orang awam yang sudah mengikuti madzhab yang awal menginginkan berpindah ke madzhab yang lain (hukumnya boleh) dengan syarat harus mengikuti pendapat madzhab tersebut satu rumpun atau satu qodhiyah secara utuh, atau hanya ikut dalam beberapa jenis masalah saja dengan syarat tidak mengambil atau memilih pendapat yang ringan dari setiap madzhab yang lebih mudah, jika begitu (hanya memilihi yang ringan-ringan saja) maka termasuk perbuatan fasik (menurut pendapat yang terpecaya).

2 Boleh secara mutlak, dalam artian berpindah madzhab untuk suatu kebutuhan tertentu atau berpindah-pindah madzhab hanya untuk mencari suatu kemudahan saja, asalkan tidak melakukan talfiq. Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum yang khusus, kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada. Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 4 halaman 217

( قَوْلُهُ ثُمَّ لَهُ ) أَيْ ثُمَّ يَجُوْزُ لَهُ اِلَخْ قَالَ اِبْنُ الْجَمَالِ ( إِعْلَمْ ) أَنَّ اْلأَصَحَّ مِنْ كَلاَمِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ كَالشَّيْخِ اِبْنِ حَجَرٍ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ يَجُوْزُ َاْلاِنْتِقَالُ مِنْ مَذْهَبٍ إِلىَ مَذْهَبٍ مِنَ اْلمَذَاهِبِ اَلْمُدَوِّنَةِ وَلَوْ بِمُجَرِّدِ التَّشَهِّى سَوَاءٌ اِنْتِقَلَ دَوَاماً أَوْ فِيْ بَعْضِ الْحَادِثَةِ وَإِنْ أَفْتىَ أَوْ حَكَمَ وَعَمِلَ بِخِلاَفِهِ ماَ لَمْ يَلْزَمْ مِنْهُ التَّلْفِيْقُ اهـ (اعانة الطالبين ج 4 ص 217)

Ibnu Jamal berkata “ketahuilah sesungguhnya qoul yang lebih sahih menurut pendapat ulama’ periode akhir seperti Syekh Ibnu Hajar dan yang lainnya, beliau berpendapat “sesungguhnya boleh berpindah dari madzhab satu ke madzhab yang lainnya walaupun dengan keinginan untuk mencoba, baik itu berpindah selamanya atau berpindah dalam keadaan tertentu, jika orang awam menfatwakan atau memberikan hukum dan mengamalkan dengan sebaliknya hukumnya boleh selagi tidak menetapkan talfiq,


(KESUCIAN)

Junub baik laki2 atau wanita

Junub adalah kondisi hadats yang menyebabkan seseorang dilarang untuk melakukan ibadah pada Allah Swt., seperti; mendirikan shalat, membaca al-Qur’an, masuk masjid dan lain sebagainya. Adapun sebab-sebab junub

1 Melakukan senggama
2 Keluar air sperma
3 Haid
4 Nifas5
5 Melahirkan
6 Meninggal dunia

Cara bersuci dari hadats ini adalah dengan cara mandi besar dengan niat tertentu.
Bagian Anggota Tubuh yang Terlepas bagi Orang yang Hadats Besar
Ketika seseorang yang sedang dalam keadaan hadats besar (junub) dan belum bersuci, sementara sebagian anggota tubuh ada yang lepas dari tubuhnya seperti rambut, kuku atau yang lainnya, apakah anggota tubuh yang putus tersebut wajib disucikan bersama dengan membasuh anggota badan yang sudah lepas seperti rambut, kuku dan lain-lain yang terlepas pada saat dalam kondisi hadats besar?

Menurut Imam Ghazali, sebaiknya membasuhnya, karena bila anggota badan tersebut tidak dibasuh maka di akhirat akan dikembalikan dalam keadaan hadats.

وَاَمَّا قَوْلُ صَاحِبُ اْلاِحْياَءِ وَسَائِرُ أَجْزاَ الْجُنُبِ تُرَدُّ اِلَيْهِ فِي اْلأَخِرَةِ فَيَعُوْدُ اَىْ مَااُزِيْلَ قَبْلَ اْلغُسْلِ جُنُباً

Imam ghozali berpendapat: bagian-bagian anggota tubuh (yang terlepas) yang masih menanggung junub diakhirat akan dikembalikan dalam kondisi menanggung junub (hadats). (al-Qulyubi, juz I, hal. 67)

Menurut syekh Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, tidak wajib membasuh anggota badan yang sudah lepas, hanya diwajibkan pada anggota yang dzahir atau yang melekat saja.

( وَ ) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ

Syarat yang kedua yaitu meratakan air pada seluruh anggota dzohir badan hingga kuku dan di bagian bawahnya, rambut bagian luar dan dalam, yakni tempat tumbuhnya rambut yang telah lepas sebelum mandi. (Fath al-Mu’in, hal. 10)

Sengaja Memotong Bagian Anggota Badan pada saat Sedang Hadats Besar

Bagaimana hukumnya orang yang sedang junub (hadats besar), kemudian sengaja memotong rambut, kuku atau anggota tubuh yang lainnya?

1 Makruh hukumnya bagi orang yang mempunyai hadats besar sengaja memotong bagian anggota badan, karena di akhirat nanti bagian yang dipotong akan dikembalikan dalam keadaan hadats besar. (I’anah at-Thalibin, juz I, hal.79)

( قَوْلُهُ وَيَنْبَغِيْ أَنْ لا َيَزِيْلُوْا إِلَخْ ) قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُقَلِّمَ أَوْ يَحْلِقَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبَيِّنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجِناَبَتِهَا اهـ

2 Boleh hukumnya melakukan hal di atas dalam kondisi hadats besar.

وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ اَنْ لاَّ يُزِيْلَ شَيْأً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْدَمًا أَوْشَعْرًا أَوْظَفَرًا حَتَّى يَغْسِلُ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى اْلاَخِرَةِ فَلَوْ إِزَلَهُ قَبْلَ اْلغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ اْلأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ . (نهاية الزين ص 31)

(Hukum Orang Junub Membaca al-Qur’an)

Pada saat acara lomba tilawatil Qur’an lintas asrama dalam rangka Haflah Akhirus Sanah Pondok Pesantren Ngalah XVII 2006 seorang santri putri Pondok Pesantren Ngalah sedang mengikuti acara tersebut, hingga pada tahapan final dia mengalami keraguan untuk tampil, ketika ditanya ternyata dia sedang datang bulan (haid). Bagaimanakah hukum seseorang dalam kondisi junub/hadats besar membaca al-Qur’an?

Menurut Syafi’iyah; haram bagi orang yang junub dengan sengaja membaca al-Qur’an meskipun satu huruf.
اَلشَّافِعِيَّةُ قاَلُوْا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ قِرَاءَةُ اْلقُرْأَنِ وَلَوْحَرْفًا وَاحِدًا اِنْ كاَنَ قاَصِدًا تِلاَوَتُهُ

Menurut ulama’ Syafi’iyah bagi orang junub diharamkan membaca al-Qur’an meskipun satu huruf dengan sengaja membacanya, dan seterusnya.
(Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hal. 112)

(فَرْعٌ) فِيْ مَذََاهِبِ اْلعُلَمَاءِ فِيْ قِرَاءَةِ الْجُنُبِ وَالْحاَئِضِ: مَذْهَبُناَ اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلىَ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ قَلِيْلُهَا وَكَثِيْرُهَا حَتىَّ بَعْضَ آيَةٍ وَبِهَذاَ قاَلَ اَكْثَرُ اْلعُلَمَاءِ

Menurut madzhab ulama’ (syafi’iyah) bagi orang junub dan bagi orang haid haram membaca al-Qur’an baik sebagian ayat maupun banyak dan pendapat ini yang lebih banyak (kuat). (al-Majmu’ juz II, hal. 178)

Menurut Imam Dawud; Boleh bagi orang junub membaca sedikit maupun banyak dari ayat al-Qur’an meskipun membacanya dengan disengaja.

وَقاَلَ دَاوُدُ يَجُوْزُ لِلْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ كُلِّ اْلقُرْآنِ وَرُوِىَ هَذاَ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الْمُسَيَّبِ قاَلَ اْلقَاضِىُّ أَبُوْ الطَّيِّبِ وَابْنُ الصَّباَغِ وَغَيْرُهُمَا وَاخْتاَرَهُ اِبْنُ الْمُنْذِرِ وَقاَلَ مَالِكٌ يَقْرَأُ اَلْجُنُبُ َاْلآياَتِ اَلْيَسِيْرَةِ لِلتَّعَوُّذِ وَفِى الْحاَئِضِ رِوَايَتاَنِ عَنْهُ اَحَدَاهُمَا تَقْرَأُ وَالثَّانِيْ لاَ تَقْرَأُ وَقاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ بَعْضَ آيَةٍ وَلاَ يَقْرَأُ آيَةً وَلَهُ رِوَايَةٌ كَمَذْهَبِناَ * وَاحْتَجَّ مَنْ جَوَّزَ مُطْلَقاً بِحَدِيْثِ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى عَلىَ كُلِّ أَحْياَنِهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالُوْا وَالْقُرْآنُ ذِكْرٌ وَلِاَنَّ اْلاَصْلَ عَدَمُ التَّحْرِيْمِ . المجموع الجزء 2 ص 178 

Menurut Imam Dawud bagi orang junub dan wanita haid boleh membaca seluruh al-Qur’an hal ini diriwayatkan dari ibnu Abbas dan ibnu Musayyab, Qadhi Abu Tayyib, Ibnu Shabbah, dan yang lain, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir. Malik berkata orang junub boleh membaca ayat-ayat pendek karena meminta perlindungan. Dan bagi orang yang haid ada dua pendapat,yang pertama boleh yang kedua tidak boleh. Abu Hanifah berpendapat: “orang junub boleh membaca sebagian ayat dan tidak boleh membaca satu ayat penuh” dan baginya satu riwayat seperti madzhab kita. Dan orang yang membolehkan secara mutlak itu berdasarkan kepada hadits Siti A’isyah, sesungguhnya Nabi selalu berdzikir kepada Allah Swt. pada setiap saat, HR. Muslim, mereka berpendapat al-Qur’an tersebut adalah merupakan dzikir dan karena pada asalnya tidak ada keharaman. (al-Majmu’, juz II, hal.178)

(Tidur yang Tidak Membatalkan Wudlu’)

Banyak hal-hal yang menyebabkan batalnya wudlu’, namun bagaimanakah dengan orang yang tidur apakah wudlu’nya menjadi batal?

Imam Madzahib al-Arba’ah mempunyai pandangan yang berbeda.

Menurut Imam Malik: Apabila tidurnya pulas (sekiranya orang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa di sekitarnya) maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’

enurut Imam Syafi’i: Apabila orang tersebut menetapkan pantatnya pada tempat duduk maka tidur seperti itu tidak membatalkan wudlu’

Menurut Imam Abu Hanifah: Apabila tidurnya dalam keadaan berdiri, duduk/sujud (seperti tingkah shalat) maka tidak membatalkan shalat, bila selain keadaan seperti itu (tidur berbaring, tengkurap) maka tidur tersebut membatalkan wudlu’

Menurut Imam Ahmad: Apabila tidurnya dengan posisi duduk/berdiri tidak membatalkan wudlu’ dan bila tidur selain kedua kondisi tersebut maka membatalkan wudlu’


وَاخْتَلَفَ اَلْعُلَمَاءُ فِىْ نَقْضِ اْلوُضُوْءِ باِلنَّوْمِ فَنَظَرَ ماَلِكٌ اِلَى صِفَةِ النَّوْمِ فَقاَلَ اِنْ كاَنَ ثَقِيْلاً ( وَهُوَ اَلَّذِىْ لاَ يَحِسُّ صَاحِبُهُ بِمَا فَعَلَ بِحَضْرَتِهِ ) نَقَضَ اَلْوُضُوْءُ وَاِنْ كاَنَ خَفِيْفاً فَلاَ . وَنَظَرَ اَلشَّفِعِىُّ اِلَى صِفَةِ النَّائِمِ فَقاَلَ اِنْ نَامَ مُمَكِّناً مَقْعَدَتَهُ مِنَ اْلاَرْضِ لاَيَنْقُضُ وُضُؤُهُ وَاِلاَّ اِنْتَقَضَ . وَقاَلَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ اِنْ نَامَ عَلَى حَالَةٍ مِنْ اَحْوَالِ الصَّلاَةِ (كَأَنْ ناَمَ قاَئِماً اَوْ قاَعِدًا اَوْسَاجِدًا ) لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ . وَقاَلَ اَحْمَدُ اِذاَ ناَمَ قاَعِدًا اَوْقاَئِمًا لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ .ابانة الاحكام ج 1 ص 124.

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai apakah tidur itu bisa membatalkan wudlu’? imam Malik lebih memandang kepada sifatnya tidur itu sendiri, beliau mengatakan: apabila tidur tersebut kategori tidur pulas (sekira orang yang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di depannya), maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’, dan apabila tidur tersebut termasuk kategori ringan, maka tidaklah membatalkan wudlu’. Sedangkan Imam al-Syafi’i lebih memandang kepada sifatnya orang tidur tersebut. Beliau mengatakan: apabila orang tersebut tidur dengan menetapkan pantatnya pada bumi, maka tidur seperti ini tidaklah membatalkan wudlu’, dan apabila tidak menetapkan pantatnya, maka batAllah Swt. wudlu’nya. Abu Hanifah berkata: apabila seorang tidur dengan keadaan seperti tingkahnya orang yang sedang mengerjakan shalat (sambil berdiri, duduk atau sujud), maka tidaklah membatalkan wudlu’ dan apabila keadaannya tidak seperti itu, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. Imam Ahmad berkata: Apabila seseorang tidur dengan duduk atau berdiri, maka tidaklah membatalkan wudlu’, dan jika tidak sambil duduk atau berdiri, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal.124)

(Minyak Beralkohol)

Banyak sekali ditemukan minyak yang dicampur dengan campuran alkohol, hal ini dilakukan karena berbagai fungsi, antara lain untuk menekan udara dalam botol minyak. Bagaimanakah hukum minyak wangi yang dicampur dengan alkohol?

1 Menjadi najis, minyak yang dicampur alkohol, sebab alkohol itu termasuk cairan yang memabukkan, dan cairan yang memabukkan dihukumi najis.

( قَوْلُهُ أَيْضًا نَظَرًا لِأَصْلِهِمَا ) أَيْ فَمَا كَانَ مَائِعًا حَالَ إسْكَارِهِ كَانَ نَجِسًا ، وَإِنْ جَمَدَ وَمَا كَانَ جَامِدًا حَالَ الْإِسْكَارِ يَكُونُ طَاهِرًا ، وَإِنْ انْمَاعَ كَالْحَشِيشِ الْمُذَابِ وَكَالْكِشْكِ الْمُسْكِرِ حَالَ جُمُودِه (شرح الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 170)

2 Tidak najis, sebab tidak memabukkan dan campurannya hanya untuk menjaga kebaikan komposisi minyak.
اَلْمَبْحَثُ الثَّالِثُ فِى تَعْرِيْفِ الْكُحُوْلِ الَّذِيْ اِسْتَفَدْناَهُ مِنْ كَلاَمِ مَنْ يَعْرِفُ حَقِيْقَتَهُ الَّذِيْ يَقْبَلُهُ الْحِسُّ مَعَ مَا رَاَيْناَهُ مِنْ اَلاَتِ صِنَاعَتِهِ وَهُوَ عُنْصُرُ بُخَارٍ يَجِدُ فِى الْمُتَخَمِّرَاتِ الْمُسْكِرَاتِ مِنَ الْأَشْرِبَةِ. فَبِوُجُوْدِهِ فِيْهَا يَحْصُلُ الْأِسْكَارُ وَيُوْجَدُ هَذَا الْكُحُوْلِ اَيْضًا فِى غَيْرِ الْأَشْرِبَةِ مِنْ مُتَخَمِّرَاتِ نَقِيْعِ اْلاَزْهَرِ وَاْلاَثْمَارِ الَّذِى يُتَّخَذُ طِيْبًا وَغَيْرُهُ كَمَا يُوْجَدُ مِنْ مَعْقُوْدِ الْخَشَبِ بِأَلَاتٍ حَدِيْدِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ وَهَذَا الْأَخِيْرُ أَضْعَفُ الْكُحُوْلِ كَمَا اَنَّ اَقْوَاهُ الَّذِى يُوْجَدُ فِى الْعِنَبِ. ( المباحث الوفية للسيد عثمان البتاوي 

Pengertian alkohol sebagaimana yang kami dapatkan dari pernyataan orang yang mengetahui hakekatnya serta yang kami lihat dari peralatan industri pembutannya adalah merupakan sesuatu unsur yang dapat menguap yang terdapat pada minuman yang memabukkan. Keberadaannya akan mengakibatkan mabuk. Alkohol ini juga terdapat pada selain minuman, seperti pada rendaman air, bunga dan buah-buahan yang dibuat untuk wewangian dan lainnya, sebagaimana juga terdapat pada kayu-kayuan yang diproses dengan mempergunakan peralatan khusus dari logam. Dan yang terakhir ini merupakan alkohol dengan kadar paling rendah sedangkan yang terdapat pada perasa anggur merupakan alkohol dengan kadar tinggi. (al-Mabahits al-Wafiyyah Bab Najasah)


وَمِنْهَا اَىْ مِنَ الْمَعْفُوَاتِ . الْمَائِعَاتُ النَّجَسَةُ الَّتِى تُضَافُ اِلَى الْاَدَوِيَةِ وَالرَّوَائِحِ الْعِطْرِيَّةِ لِاَصْلَاحِهَا فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنِ الْقَدْرِ الَّذِيْ بِهِ اْلاِصْلَاحُ قِيَاسًا عَلَى الْاَنْفِخَةِ الْمَصْلَحَةِ لِلْجَبِيْنِ.

Termasuk najis yang dima’fu (ditoleransi) adalah, cairan-cairan najis yang dicampurkan untuk komposisi obat-obatan dan parfum, cairan tersebut bisa ditoleransi dengan kadar yang memang diperlukan untuk komposisi yang seharusnya. Karena hal itu diqiaskan dengan usus babat yang digunakan untuk menambahkan kualitas mentega. (Al-Fiqhu ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, juz I, hal.25)


(Media Tayammum)

Dalam literatur fiqih dapat difahami bahwa tayamum adalah bersuci dengan menggunakan selain air. Hal ini diperbolehkan sebagai alternatif bersuci karena beberapa faktor, misalnya kesulitan menemukan air, madlarat yang ditimbulkan oleh air terhadap bagian tubuh misalnya:ketika sakit, dan lain-lain.

Adapun media tayammum menurut para ulama’ adalah:

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, menggunakan debu.

Menurut Madzhab Maliki dan madzhab Hanafi adalah segala sesuatu yang termasuk bagian dari bumi, misalnya; debu, tanah, salju, batu kapur.
 (Al-Mizan al-Kubra juz I, hal.132)

وَأَمَّا ماَاخْتَلَفُوْا فِيْهِ فَمِنْ ذٰلِكَ قَوْلُهُ اْلاِمَامُ الشَّافِعِىُّ وَأَحْمَدُ إِنَّ الصَّعِيْدَ فِى اْلأَيَةِ هُوَ التُّرَابُ فَلاَ يَجُوْزُ التَّيَمُّمُ إِلاَّ بِتُرَابٍ طَاهِرٍ أَوْ بِرَمْلٍ , فِيْهِ غُباَرٌ مَعَ قَوْلِهِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَ مَالِكٍ الصَّعِيْدُ هُوَ نَفْسُ اْلأَرْضِ فَيَجُوْزُ التَّيَمُّمُ بِجَمِيْعِ أَجْزَاءِ اْلأَرْضِ وَلَوْ بِحَجَرٍ لاَتُرَابَ عَلَيْهِ وَرَمْلٍ لاَ غُباَرَ فِيْهِ (الميزان الكبرى : 1: 132)

Namun demikian madzhab empat (Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi), sepakat bahwa tayammum tidak sah bila menggunakan benda yang telah dimasak atau diproses, seperti arang kayu dan plastik.

(Hukum Sesuatu yang Terbuat dari Kotoran atau Benda Najis (Studi Kasus Biogas)

1 Boleh (dihukumi suci)

Menurut Syekh Abi Abdul Mukti atau Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitabnya “Kasyifah al-Saja” halaman 21, bahwasanya hukum biogas yang dihasilkan dari benda najis (seperti kotoran manusia atau kotoran hewan) adalah diperbolehkan dan dihukumi suci, dengan alasan karena biogas adalah termasuk bukhor (istilah Arab) yang berarti uap.

وَخَرَجَ بِدُخَانِ النَّجَاسَةِ بُخَارُهَا وَهُوَ الْمُـتَصَاعِدُ مِنْهَا لاَ بِوَاسِطَةِ نَارٍ فَهُوَ طَاهِرٌ وَمِنْهُ الرِّيْحُ الْخَارِجُ مِنَ الْكُـنُـفِ أَوْ مِنَ الدُّبُرِ فَهُوَ طَاهِرٌ فَلَوْ مَلاَأَ مِنْهُ قِرْبَةٌ وَحَمَلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ وَصَلَّى بِهَا صَحَّتْ صَلاَ تـُُهُ

Tidak termasuk dalam asapnya benda najis, yaitu uap dari benda najis yang tidak disebabkan oleh api, maka uap ini adalah suci. Demikian halnya dengan angin yang keluar dari jamban (sapiteng) atau kentut yang keluar dari dubur juga dihukumi suci. Bahkan seandainya qirbah (sejenis wadah air atau susu yang terbuat dari kulit) berisi penuh dengan angin atau uap tersebut, kemudian seseorang shalat dengan membawa qirbah tersebut di atas punggungnya, maka shalatnya dihukumi sah. (Kasyifah al-Saja hal. 21)

Menurut Imam al-Bujairami, uap atau angin (biogas) yang dihasilkan dari benda najis termasuk suci menurut qoul yang rajih (unggul), karena angin tersebut berasal dari asap benda najis yang tidak menggunakan perantara atau media api.

قَوْلُهُ: ( طَاهِرًا ) وَمِنْهُ الرِّيحُ عَلَى الرَّاجِحِ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بُخَارِ النَّجَاسَةِ بِغَيْرِ وَاسِطَةِ نَارٍ ق ل . وَنَصَّ م ر عَلَى أَنَّ الْبُخَارَ الْخَارِجَ مِنْ الْكَنِيفِ طَاهِرٌ ، وَكَذَا الرِّيحُ الْخَارِجُ مِنْ الدُّبُرِ كَالْجُشَاءِ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّهُ مِنْ عَيْنِ النَّجَاسَةِ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ الرَّائِحَةُ الْكَرِيهَةُ الْمَوْجُودَةُ فِيهِ لِمُجَاوَرَةِ النَّجَاسَةِ لَا أَنَّهُ مِنْ عَيْنِهَا 

Qoul Kyai mushonnif, (suci) uap atau angin termasuk suci menurut qoul yang rajih (unggul), karena angin tersebut berasal dari asap benda najis yang tidak menggunakan perantara atau media api (Imam Qoffal). Dan Imam Ramli juga menegaskan bahwa asap yang keluar dari WC atau kandang ternak itu suci, begitu juga angin yang keluar dari dubur atau anus seperti serdawa (perut mual) karena belum tentu serdawa tersebut berasal dari benda (ain) yang najis, dan kemungkinan bau busuk atau menjijikkan yang ada di dalamnya itu disebabkan karena dekatnya dengan najis bukan dari benda najisnya. (Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib juz 1 hal 202-203)

2 Boleh (tetap dihukumi najis)

Menurut pendapat Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya “Hasyiyah al-Jamal” pada bab al-Najasati Waa Izalatiha juz 1 hal 179 dijelaskan sebagai berikut:

Termasuk kategori asap yaitu benda atau angin yang dihasilkan dari pembakaran kotoran hewan hingga menjadi bara api (mowo) yang tidak berasap, akan tetapi uap atau asap yang keluar dari proses pembakaran kotoran tersebut dihukumi najis, karena melalui perantara api. Dan apabila ada sesuatu yang disulutkan dari bara api ini seperti tangan anda dan tempat tinta (tabung asap), akhirnya ada kelembaban (basah) disalah satu sisi keduanya, sampai-sampai benda yang suci menjadi najis karenanya, maka asap yang naik atau muncul itu hukumnya najis, bila tidak maka sebaliknya”.

( قَوْلُهُ وَبُخَارُهَا كَذَلِكَ إلَخْ ) ، وَمِنْهُ مَا يَقَعُ مِنْ حَرْقِ الْجُلَّةِ حَتَّى تَصِيرَ جَمْرًا لَا دُخَانَ فِيهِ لَكِنْ يَصْعَدُ مِنْهُ بُخَارٌ فَهُوَ نَجِسٌ ؛ لِأَنَّهُ بُخَارٌ بِوَاسِطَةِ نَارٍ ، وَلَوْ أُوقِدَ مِنْ هَذَا الْجَمْرِ شَيْءٌ كَيَدِك وَدَوَاةِ دُخَانٍ ، فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ رُطُوبَةٌ مِنْ أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ بِحَيْثُ يَتَنَجَّسُ بِهَا الطَّاهِرُ كَانَ الدُّخَانُ الْمُتَصَاعِدُ نَجِسًا وَإِلَّا فَلَا ا هـ عَزِيزِيٌّ . (حاشية الجمل على المنهاج باب النجاسة وازالتها الجزء 1 ص 179

Menurut ulama’ madzhab Syafi’i bahwa asap dari benda najis bila terbakar maka ada dua pendapat

1 Najis, karena termasuk bagian yang terurai dari najis, seperti abu yang keluar dari suatu benda najis.

2 Tidak najis, karena asap tersebut adalah asap dari suatu benda najis, seperti angin kentut yang keluar dari perut. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 2 hal 533.

قَالَ اَلْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ الله ُ* [ وَأَمَّا دُخَانُ النَّجَاسَةِ إِذَا أَحْرَقَتْ فَفِيْهِ وَجْهَانِ اَحَدُهُمَا اَنَّهُ نَجِسٌ ِلاَنَّهَا اَجْزَاءٌ مُتَحَلِّلَةٌ مِنَ النَّجَاسَةِ فَهُوَ كَالرَّمَادِ وَالثَّانِى لَيْسَ بِنَجَسٍ ِلاَنَّهُ بُخَارُ نَجَاسَةِ فَهُوَ كَاْلبُخَارِ اَلَّذِىْ يَخْرُجُ مِنَ الْجَوْفِ ] * (المجموع شرح المهذب ج 2 ص 533)


(ADZAN DAN IQOMAH)

Adzan adalah seruan pemberitahuan masuknya waktu shalat serta ajakan melaksanakan shalat. Sedangkan iqomah adalah panggilan untuk melaksanakan shalat.

(Membaca Taswib saat Adzan Shubuh)

Bacaan taswib dalam adzan shubuh adalah seruan: Asshalatu khoirum minan naum, awal mula seruan ini adalah dari sahabat Bilal ra. atas perintah Rasulullah Saw. Sebagaimana keterangan di bawah ini


أَنَّ بِلاَلَ أَذَّنَ لِلصُّبْحِ فَقِيْلَ لَهُ أَنَّ النَّـِبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ناَئِمٌ، فَقاَلَ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّـِبيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ فَقاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِجْعَلْهُ فِيْ تَأْذِيْنِكَ لِلصُّبْحِ. (اعانة الطالبين فصل في الاذان والاقامة ج 1 ص 236

Bahwasanya sahabat bilal setalah melakukan adzan shubuh, ia diberitahu bahwa Nabi sedang tidur, lalu ia menghampiri beliau seraya mengucapkan Semoga keselamatan, rahmat dan barokah Allah Swt. tetap atas engkau wahai Nabi, shalat itu lebih baik dari pada tidur. Kemudian Nabi bersabda: wahai bilal, jadikanlah ucapan itu (al-shalatu khoirun min al-naum) dalam adzan shubuhmu.

عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالاَ بِهِ. فَأَذَّنَ وَزَادَ بِلَالٌ فِي نِدَاءِ صَلَاةِ الْغَدَاءِ اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ فَأَقَرَّهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (سنن ابن ماجه ج 1 ص 233)

Dari Zuhri dari Salim dari ayahnya, ia berkata: Nabi telah memerintahkan Bilal untuk melakukan adzan. Kemudian sahabat Bilal menambahkan (as-shalatu khairun minan naum)lalu Rasulullah menetapkan kalimat tersebut. (Sunan Ibnu Majah, juz I, hal.233)

Dengan demikian membaca taswib dalam adzan shubuh hukumnya adalah sunnah (ketetapan Nabi)

(Adzan dan Iqomah untuk Bayi yang Baru Dilahirkan)

Anak merupakan karunia yang diberikan oleh Allah Swt. kepada semua keluarga, namun anak juga merupakan amanah Allah Swt. yang mesti dijaga, dirawat serta dididik oleh kedua orang tuanya. Mendidik anak harus dimulai sebelum anak itu mulai lahir tidak hanya dilakukan setelah ia besar. Salah satu bentuk pendidikan terhadap anak tersebut ketika ia dilahirkan. Sang ayah atau salah satu dari keluarga, membacakan adzan di telinga kanan sang jabang bayi yang baru dilahirkan dan membacakan iqomah di telinga kiri bayi. Bagaimanakah hukum melakukan hal tersebut, Apakah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?

Ulama’ sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqomah pada saat bayi yang terlahir kedunia berdasarkan hadits Nabi

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ رَافِعٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ (سُنَنُ أَبِيْ دَاوُدَ رَقْمُ 4441)

Dari ubaidillah Bin Abi Rafi’ ra. Dari ayahnya, ia berkata ; aku melihat Rasulullah Saw, mengumandangkan adzan ditelinga Husain Bin Ali ra. Ketika Siti Fatimah melahirkannya (yakni) dengan adzan shalat. (Sunnan Abi Dawud, [444])

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Majmu’ Fatawi wa Rasail, hal.112 tentang fadilah dan keutamaannya adzan untuk bayi yang baru lahir.

اَلْأَوَّلُ فَعَلَهُ فِي أَذَنِ الْمَوْلُوْدِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ فِي أُذُنِ الْيُمْنَى وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْيُسْرَى وَهَذَا قَدْ نَصَّ فُقَهَاءُ الْمَذْهَبِ عَلَى نَدْبِهِ وَجَرَى بِهِ عَمَلُ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ بِلَا نَكِيْرٍ وَفِيْهِ مُنَاسَبَةٌ تَامَّةٌ لِطَرْدِ الشَّيْطَانِ بِهِ عَنِ الْمَوْلُوْدِ وَلِنُفُوْرِهِمْ وَفِرَارِهِمْ مِنَ الْأَذَانِ كَمَا جَاءَ فِي السُّنَّةِ (مَجْمُوْعُ فَتَاوِيْ وَرَسَائِلَ، 112).

Yang pertama mengumandangkan adzan ditelinga kanan anak yang baru lahir lalu membacakan iqomah di telinga kiri. Ulama’ telah menetapkan bahwa perbuatan ini tergolong sunnah. Mereka telah mengamalkan hal tersebut tanpa seseorang pun mengingkari. Perbuatan ini ada relevansi, untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan itu akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagaimana ada keterangan di dalam hadits (Majmu’ Fatawi Wa Rasail, hal.112)


SHALAT
Shalat nawafil (sunnah) disyariatkan oleh ajaran Islam, karena shalat sunnah di pandang perlu dan penting, sebagaimana tubuh yang membutuhkan makanan pokok, vitamin, mineral serta zat-zat lain agar tetap sehat dan bugar. Shalat maktubah sebagai makanan pokok bagi jiwa sedangkan shalat sunnah sebagai tambahan vitamin atau suplemennya

(Macam-macam Shalat Sunnah)

Shalat sunnah secara garis besar terbagi menjadi dua,

1 Shalat sunnah yang mengiringi shalat Fardhu, seperti: shalat sunnah Qobliyah dan Ba’diyah (Rawatib)

2 Shalat sunnah yang tidak mengiringi shalat Fardhu, antara lain

3 Shalat Ba’da Wudlu’ (Lissyukril wudhu’), yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah membaca do’a wudlu’. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِّشُكْرِ الْوُضُوْءِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Tahiyatal Masjid; yaitu shalat sunnah dengan jumlah 2 raka’at yang dilakukan ketika memasuki masjid sebelum duduk. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Taubat, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon ampunan atas segala dosa yang telah dilakukan. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِلتَّوْبَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Liidaf’il Bala’; yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang bertujuan agar kita terhindar dari segala mara bahaya. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِدَفْعِ الْبَلَاءِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Tasbih, yaitu shalat sunnah 4 raka’at dengan dua salam yang di dalamnya terdapat bacaan tasbih pada setiap raka’at. Cara mengerjakannya: ketika selesai membaca al-Fatihah dan surat pada tiap-tiap raka’at lalu:

Membaca tasbih sebanyak 15 kali

Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika ruku’

Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika i’tidal

Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika sujud

Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika duduk diantara dua sujud

Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika sujud kedua

Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika duduk istirahat

Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ التَّسْبِيْحِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Liqadhail Hajat, yaitu shalat yang bertujuan untuk memohon agar hajat/kebutuhan kita segera dicukupi oleh Allah Swt. Cara mengerjakannya: pada sujud terakhir setelah membaca tasbih, kemudian berdo’a meminta apa hajat kita, tapi dengan catatan harus di dalam hati tidak boleh dilafadzkan, karena kalau dilafadzkan di lisan akan membatalkan shalat. Shalat ini berjumlah 2 raka’at, adapun niat shalatnya adalah sebagai berkut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Tahajjud, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari dengan jumlah rakaat paling sedikit 2 raka’at dan paling banyak tak terbatas. Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat isya’ sampai shubuh, dan lebih utama dilakukan setelah bangun tidur di malam hari. Adapun waktu mengerjakannya ada 3:

Sepertiga pertama, yaitu dari jam 7-10 malam (waktu utama)

Sepertiga kedua, yaitu dari jam 10-1 malam (waktu lebih utama)

Sepertiga ketiga, yaitu dari jam 1 malam sampai masuknya waktu shubuh (waktu yang paling utama).

Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِتَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Tsubutul Iman, yaitu shalat sunnah yang bertujuan agar diberi kekuatan iman. Shalat ini berjumlah 2-6 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِثُبُوْتِ الْإِيْمَانِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Istikharah, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk meminta petunjuk kepada Allah Swt. Atas segala kebingungan, pertanyaan atau ketidaktahuan. Shalat ini lebih utama dikerjakan pada waktu malam hari sebanyak 2 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْاِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Tarawih, yaitu shalat sunnah yang hanya dilakukan pada bulan ramadlan, baik dilakukan sendiri maupun secara berjama’ah. Adapun mengenai jumlah raka’atnya ulama’ berbeda pendapat, keterangan perbedaan pendapat ulama’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih kami terangkan setelah ini. Niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Dhuha, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu matahari terbit (waktu dhuha) atau sekitar pukul 07.00 sampai pukul 11.00 WIB. Yang dikerjakan sekurang-kurangnya 2-12 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Awwabin, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan antara waktu Maghrib dan waktu isya’ dengan jumlah rakaat sebanyak 2-20 rakaat. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْأَوَّبِِيْنَ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat ketika pulang dari bepergian, shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah kita kembali dari bepergian. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِقُدُوْمِ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Ba’da Akad Nikah, yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah selesai melaksanakan akad nikah bagi pengantin baru, agar nikahnya diridloi oleh Allah Swt.. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِعَقْدِ النِّكَاحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Sunnah Mutlak, yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan kapanpun dan dimanapun. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْمُطْلَقِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Shalat Witir, yaitu shalat sunnah dengan raka’at ganjil. (1-11 raka’at) yang biasanya dikerjakan shalat tarawih. Adapun niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً رَكْعَةَ الْوِتْرِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Dan masih banyak lagi shalat sunnah yang lain.

Keterangan tentang shalat-shalat sunnah ini diambil dari kitab
(Tanwirul Qulub, hal.200-206 dan kitab Nihayatuz Zain, hal. 98-116)

Dalam setiap shalat sunnah yang telah disebutkan di atas, disunnahkan berdo’a kepada Allah Swt. dalam hati ketika sujud terakhir, karena waktu itu merupakan waktu yang mustajabah, namun tidak diperkenankan berdo’a dengan bersuara karena bisa menyebabkan batalnya shalat. Dalil yang menjelaskan tentang kesunnahan berdo’a ketika sedang sujud adalah sebagai berikut:

رَوَيْنَا فِي (صَحِيْحِ مُسْلِمٍ)عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ بِالدُّعَاءِ فَقِمْنَ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ. (الأذكار النووى ص 45)

Kami meriwayatkan dalam shahih muslim dari ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Ketika ruku’ agungkanlah Tuhan dan ketika sujud bersungguh-sungguhlah dengan berdo’a, maka niscaya Dia mengabulkan do’amu. (al-Adzkar al-Nawawi, hal. 45)


(Bilangan Rakaat Shalat Tarawih)
Mengenai bilangan jumlah shalat tarawih ulama’ berbeda pendapat:

Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Dawud sebanyak 20 raka’at dengan 10 salaman selain witir dan setiap 4 rakaat 2 salaman melakukan istirahat. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahih.

Menurut al-Qadhi ‘Iyadh dari jumhur ulama’ diceritakan sesungguhnya sahabat al-Ashwat bin Mazid mengerjakan shalat tarawih sebanyak 40 raka’at dan shalat witir sebanyak 7 raka’at.

Menurut Imam Malik sebanyak 36 raka’at selain witir dengan alasan karena ahli madinah mengerjakan shalat tarawih dengan bilangan ini.

Menurut Imam Nafi’ sebanyak 39 raka’at (36 raka’at shalat tarawih dan 3 shalat witir).

Keterangan dalam kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab bab Shalat at-Tathawu’, Juz 4, hal.38, keterangan mengenai khilaf bilangan shalat tarawih ini juga diterangkan dalam kitab al-Mizan al-Kubra, juz I, hal. 184.
(فَرْعٌ) فِيْ مَذَاهِبَ الْعُلَماَءِ فِيْ عَدَدِ رَكَعاَتِ التَّرَاوِيْحِ * مَذْهَبُناَ أَنَّهاَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ غَيْرُ الْوِتْرِ وَذَلِكَ خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ وَالتَّرْوِيْحَةُ أَرْبَعُ رَكْعاَتٍ بِتَسْلِيْمَتَيْنِ هذا مَذْهَبُناَ وَبِهِ قاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَصْحَابُهُ وَأَحْمَدُ وَدَاوُدُ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقاَضِي عِياَضٌ عَنْ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ وَحُكِىَ أَنَّ اْلاَسْوَدَ بْنَ مَزِيْدٍ كاَنَ يَقُوْمُ بِأَرْبَعِيْنَ رَكْعَةً وَيُوَتِّرُ بِسَبْعٍ وَقاَلَ مَالِكٌ اَلتَّرَاوِيْحُ تِسْعُ تَرْوِيْحاَتٍ وَهِىَ سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ رَكْعَةً غَيْرَ اْلوِتْرِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ أَهْلَ الْمَدِيْنَةِ يَفْعَلُوْنَهَا هَكَذَا . وَعَنْ ناَفِعٍ قاَلَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يَقُوْمُوْنَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِيْنَ رَكْعَةٍ يُوَتِّرُوْنَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ * وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِىُّ وَغَيْرُهُ بِاْلاِسْناَدِ الصَّحِيْحِ ( المجموع شرح المهذب باب صلاة التطوع الجزء 4 ص 38 )

Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam ada salah satu hadits Nabi yang berbunyi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ
Diceritakan dari ibnu Abbas ra.: sesungguhnya Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw. mengerjakan shalat tarawih 20 raka’at dan shalat witir di bulan Ramadlan. (Subul al-Salam, juz II, hal. 10)

عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدِ بْنِ رُوْمَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.
Diceritakan dari Malik dari Yazid bin Rumman. Dia berkata: Manusia di masa Umar bin Khattab telah melakukan shalat (tarawih) dengan 23 rakaat di bulan Ramadlan. (Tanwir al-Hawalik, hal.138)

Dengan demikian shalat tarawih sunnah dilaksanakan dengan berjama’ah, jumlah rakaatnya menurut kebanyakan ulama’ adalah 20 raka’at (10 salam) ditambah 3 rakaat shalat witir.

(Pujian Menjelang Shalat Berjama’ah)

Pujian-pujian kepada Allah Swt. yang dilakukan antara adzan dan iqomah dalam shalat maktubah merupakan syi’ar sebagai tanda akan didirikannya shalat jama’ah dan juga untuk menunggu berkumpulnya para jama’ah. Bagaimanakah hukum pujian sebelum shalat tersebut?

Dilarang, apabila mengganggu orang yang sedang shalat dan mempunyai niat pamer

Sunnah (dianjurkan), karena pujian itu bisa diambil manfaatnya bagi pembaca dan pendengarnya, akan lebih baik dibaca keras selagi tidak mempunyai niat riya’ (pamer), tidak mengganggu orang yang shalat atau orang yang tidur.
(al-Umm juz 1 hal. 108., Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 48 dan al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra bab Ahkami al-Masajidi)

( قال الشَّافِعِيُّ ) وَأُحِبُّ ِلْلاِمَامِ أَنْ يَأْمُرَ ِبهَذَا إذَا فَرَغَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ أَذَانِهِ وَإِنْ قَالَهُ في أَذَانِهِ فَلَا بَأْسَ عَلَيْهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ بِمَا يُشْبِهُ هذَا خَلْفَ الْأَذَانِ مِنْ مَنَافِعِ النَّاسِ فَلَا بَأْسَ وَلَا أُحِبُّ الْكَلَامَ في الْأَذَانِ بِمَا لَيْسَتْ فِيْهِ لِلنَّاسِ مَنْفَعَةٌ وَإِنْ تَكَلَّمَ لَـمْ يُعِدْ أَذَانًا وَكَذَلِكَ إذَا تَكَلَّمَ فِيْ الْإِقَامَةِ كَرِهْتُهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إِعَادَةُ إقَامَةٍ (الأم ج 1 ص 108 )

اَلذِّكْرُ كاَلْقِرَاءَةِ مَطْلُوْبٌ بِصَرِيْحِ اْلآياَتِ وَالرَّوَاياَتِ وَالْجَهْرِ بِهِ حَيْثُ لَمْ يَخِفْ رِياَءً وَلَمْ يُشَوِّشْ عَلَى نَحْوِ مُصَلٍّ أَفْضَلُ ، لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرٌ ، وَ تَتَعَدَّى فَضِيْلَتُهُ لِلسَّامِعِ ، وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إلَيْهِ وَيَطْرُدُ النَّوْمَ وَيَزِيدُ النَّشَاطَ ( بغية المسترشدين ص 48 )


(Hukum Jama’ah Perempuan Ketika Berada di Samping Barisan Jama’ah Laki-laki)

Tata cara shalat berjama’ah bagi kaum perempuan yaitu bertempat di belakang barisan laki-laki. Akan tetapi karena kendala tempat, terkadang makmum perempuan dalam shalat berjama’ah berada di sebelah kiri atau sebelah kanan barisan laki-laki seperti yang terdapat di beberapa musholla dan masjid. Lantas bagaimana shalat jama’ah perempuan tersebut?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan:

Perempuan yang ikut shalat berjama’ah di selain tempat belakang itu tidak mendapatkan fadilah jama’ah
وَيَقِفُ الذَّكَرُ عَنْ يَمِيْنِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَكَذَا اِمْرَأَةٌ أَوْ نِسْوَةٌ تَقُوْمُ أَوْ يَقُمْنَ خَلْفَهُ وَاِنْ حَضَرَ مَعَهُ رَجُلٌ وَاِمْرَأَةٌ قَامَ الرَّجُلُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَاْلمَرْأَةُ خَلْفَ الرِّجَالِ إَلىَ أَنْ قَالَ "وَكُلُّ مَا ذُكِرَ مُسْتَحَبٌّ وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِلُ الصَّلاَةَ" (قَوْلُهُ وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِلُ الصَّلاَةَ) لَكِنَّهَا مَكْرُوْهَةٌ تَفُوْتُ بِهَا فَضِيْلَةُ الْجَمَاعَةِ عَلىَ اْلإِمَامِ ومَنْ مَعَهُ وَلَوْ مَعَ الْجَهْلِ بِهَا.

Dan orang laki-laki berdiri di sebelah kanan imam dan seterusnya, begitu juga seorang atau beberapa wanita berdiri di belakang imam. Dan apabila laki-laki dan perempuan berjamaah secara bersamaan, maka seorang laki-laki itu berdiri di sebelah kanan, sedangkan perempuan berada di belakang laki-laki, hal tersebut disunnahkan, apabila tidak sesuai dengan tatanan shaf di atas maka hal itu tidak membatalkan shalat (akan tetapi hukumnya makruh yang menghilangkan keutamaan jama’ah atas imam dan makmumnya walaupun karena tidak tau. (al-Mahalli, Juz I, Hal. 238-239)

Mendapat fadilahnya jama’ah, akan tetapi tidak mendapatkan fadilahnya tertib shof, karena sebenarnya shof perempuan itu berada di barisan paling belakang. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Hasyiyah I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 24 dan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 1 hal. 547

وَقَالَ م ر فِي الْفَتَاوِيْ، تَبَعًا لِلشَّرَفِ الْمَنَاوِيْ، إِنَّ الْفَائِتَ عَلَيْهِمْ: فَضِيْلَةُ الصُّفُوْفِ، لاَ فَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ. وَمَالَ ع ش إِلَى مَا فِيْ شَرْحِ الرَّمْلِي، لِاَنَّهُ إِذَا تَعَارَضَ مَا فِيْهِ وَغَيْرِهِ قُدِّمَ مَا فِي الشَّرْحِ اه. بُجَيْرَمِيْ. (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 24)

( قَوْلُهُ وَكُرِهَ لِمَأْمُومٍ انْفِرَادٌ ) أَيْ ابْتِدَاءً وَدَوَامًا وَكَرَاهَتُهُ لَا تُفَوِّتُ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ بَلْ فَضِيلَةُ الصَّفِّ عِنْدَ بَعْضِهِمْ ، (حاشية الجمل , ج 1 ص 546)

(Makmum Shalat Beda Niat dengan Imam)

Ahmad adalah salah satu santri yang selalu aktif mengikuti shalat berjama’ah. Pada suatu hari ia terlambat shalat berjama’ah di masjid. Kemudian ia menghampiri seseorang yang sedang shalat untuk menjadi makmum. Setelah shalat, ternyata diketahui bahwa sang imam sedang melaksanakan shalat sunnah ba’diyah. Bagaimanakah hukum shalatnya makmum yang beda niat dengan imamnya?

Hukum shalat makmum tersebut itu boleh meskipun niatnya beda dengan imamnya, tetap sah shalatnya, dan tetap mendapatkan fadilahnya jama’ah. Keterangan kitab Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarhi al-Khatib, bab kitab al-Shalat juz 2 hal 346, keterangan yang sama terdapat dalam kitab Jamal ‘Ala Minhaj, Juz I, hal. 562-563 dan Khasyiyah al-Bujairami


قَوْلُهُ : ( وَلَا يَضُرُّ اخْتِلَافُ نِيَّةِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ ) أَيْ لِعَدَمِ فُحْشِ الْمُخَالَفَةِ فِيهِمَا وَهَذَا مُحْتَرَزُ قَوْلِهِ الظَّاهِرَةُ لِأَنَّ الِاخْتِلَافَ هُنَا فِي النِّيَّةِ وَهِيَ فِعْلٌ قَلْبِيٌّ فَكَانَ الْمُنَاسِبُ التَّفْرِيعَ . (تحفة الحبيب على شرح الخطيب الباب كتاب الصلاة ج 2 ص 346 )


(Bacaan Basmalah dalam Shalat)

Masalah membaca Basmalah dalam fatihah shalat merupakan salah satu masalah besar dalam agama Islam karena menyangkut sah atau tidaknya shalat. Bagaimanakah hukum membaca basmalah dalam surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?

Membaca Basmalah merupakan ibadah yang paling besar sesudah tauhid, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu juz III, hal.334.

Menurut Madzhab Syafi’i, hukum membaca Basmalah dalam al-Fatihah ketika shalat adalah wajib, karena bacaan Basmalah itu salah satu ayat dari al-Fatihah yang menjadi rukun shalat itu sendiri.
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ (الحجر: 87).
Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu (hai Muhammad) tujuh yang berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung. (QS. Al-Hijr: 87)

Imam Syafi’i berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اْلآيَةُ السَّابِعَةُ فَإِنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا لَمْ تُجْزِهِ الرَّكْعَةُ الَّتِيْ تَرَكَهَا فِيْهَا
Imam syafi’i berkata, Bismillahirrahmanirrahim adalah termasuk ayat tujuh dari fatihah, kalau ditinggalkan semuanya atau sebagiannya tidaklah cukup rakaat shalat yang tertinggal membaca bismillahirrahmanirrahim dalam rakaat itu. (al-Umm, juz I, hal. 107).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ يَؤُمُّ النَّاسَ اِفْتَتَحَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Apabila Nabi membaca (surat al-Fatihah) dan menjadi imam manusia, maka Nabi memulai (bacaan surat al-Fatihah) dengan bacaan basmalah.
(Diriwayatkan dari Dar al-Quthni dalam kitab al-Majmu’, juz III, hal. 34).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا قَرَءْ تُمُ الْحَمْدُ ِللهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آياَتِهَا.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda: Apabila kalian membaca surat al-Fatihah, maka bacalah basmalah. Sesungguhnya surat al-Fatihah adalah ummul qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), sedangkan basmalah adalah termasuk satu ayat dari surat al-Fatihah. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 34)

عَنْ أَبِيْ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Diceritakan dari Ibnu Abbas, Bahwasannya Rasulullah itu memulai shalat dengan bacaan basmalah. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 47)

Dari keterangan di atas Basmalah termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah dalam shalat termasuk rukunnya shalat. Bagi yang ber’itiqad kalau basmalah itu bukan salah satu ayat dari al-Fatihah maka shalatnya tidak sah dan batal.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk dikeraskan sebagaimana sunnahnya mengeraskan al-Fatihah dalam shalat jahriyyah (shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara).

Menurut Madzhab Maliki, bahwa basmalah bukan merupakan satu ayat dari surat al-Fatihah bahkan bukan merupakan satu ayat dari al-Quran. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan ‘Aisyah Ra. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 35)

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Berdasarkan keterangan tersebut, maka tidak wajib membaca basmalah pada waktu fatihahnya shalat baik sirri atau keras.


(Shalat Berjama’ah Dilakukan dengan Cepat)

Para ulama’ seringkali menekankan agar menjalankan shalat dengan khusyu’, karena khusyu’ merupakan syarat diterimanya shalat kita di sisi Allah Swt. Akan tetapi banyak diantara golongan yang ketika shalat berjama’ah baik shalat fardhu maupun shalat sunnah dilakukan dengan cepat, terutama ketika shalat tarawih pada waktu bulan Ramadlan. Bagaimanakah hukum shalat berjama’ah yang dilakukan dengan cepat?

1 Tidak sah, apabila kehilangan tuma’ninah atau sampai menghilangkan huruf-huruf surat al-Fatihah.

قاَلَ قُطْبُ اْلإِرْشَادِ سَيِّدُنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَلْوِي اْلحَدَّادُ فيِ النَّصَائِحِ وَلْيَحْذَرْ مِنَ التَّخْفِيْفِ اْلمُفْرِطِ الَّذِيْ يَعْتَادُهُ كَثِيرٌ مِنَ اْلجَهَلَةِ فيِ صَلاَِتهِمْ لِلتَّرَاوِيْحِ حَتىَّ رُبمَّاَ يَقَعُوْنَ بِسَبَبِهِ فيِ اْلإِخْلاَلِ بِشَيْءٍ مِنَ اْلوَاجِبَاتِ مِثْلِ تَرْكِ الطُّمَأْنِيْنَةِ فيِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ وَتَرْكِ قِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ عَلىَ الْْوَجْهِ الًّذِيْ لاَ بُدَّ مِنْهُ بِسَبَبِ اْلعَجَلَةِ فَيَصِيْرُ أَحَدُهُمْ عِنْدَ اللهِ لاَ هُوَ صَلَّى فَفَازَ بِالثَّوَابِ وَلاَ هُوَ تَرَكَ فَاعْتَرَفَ بِالتَّقْصِيرْ ِوَسَلَّمَ مِنَ اْلإِعْجَابِ وَهَذِهِ وَمَا أَشْبَهَهَا مِنْ أَعْظَمِ مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ ِلأَهْلِ اْلإِيمْاَنِ يُبْطِلُ عَمَلَ اْلعَامِلِ مِنْهُمْ عَمِلَهُ مَعَ فِعْلِهِ لِلْعَمَلِ فَاحْذَرُوْا مِنْ ذَلِكَ وََتنَبَّهُوْا لَهُ مَعَاشِرَ اْلإِخْوَانِ وَإِذَا صَلَّيْتُمْ التَّرَوِايْحَ وَغَيْرَهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ فَأَتمُِّوْا اْلقِيَامَ وَاْلقِرَاءَةَ وَالرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ وَاْلخُشُوْعَ وَاْلحُضُوْرَ وَسَائِرَ اْلأَرْكَانِ وَاْلآدَابِ وَلاَ تَجْعَلُوْا لِلشَّيْطَانِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَإِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانُ عَلَى اَّلذِيْنَ آمَنُوْا وَعَلَى رَبهِِّمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَكُوْنُوْا مِنْهُمْ إِنمَّاَ سُلْطَانُهُ عَلَى اَّلذِيْنَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُوْنَ فَلاَ تَكُوْنُوْا مِنْهُمْ اهـ (اعانة الطالبين ج 1 ص 265 )

Quthbu al-Irsyad sayyidina Abdullah bin Alwi mengatakan di dalam kitab al-Nashaa’inHindarilah pelaksanaan shalat dengan amat cepat seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang yang bodoh dalam melakukan shalat tarawih, yang karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti tanpa thuma’ninah di dalam ruku’ dan sujud, atau membaca surat al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena tergesah-gesa, sehingga shalat salah seorang di antara mereka tidak dinilai oleh Allah Swt. Sebagai shalat yang berpahala, tetapi mereka tidak dianggap meninggalkan shalat. Orang tersebut salam (menutup shalat) dengan bangga (karena bisa melaksanakannya secara cepat). Hal itu dan sejenisnya termasuk tipu daya syetan yang paling besar kepada orang yang beriman untuk merusak amal ibadah yang ia kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah dan waspadalah wahai saudara-saudaraku. Apabila anda melaksanakan shalat tarawih dan shalat yang lain maka sempurnakanlah berdirinya, bacaan fatihahnya, ruku’nya, sujudnya, khusu’nya, hudhur-nya, rukun-rukunnya dan adabnya. Janganlah anda menjadikan setan sebagai penguasa diri anda, karena setan tidak mampu mengusai orang-orang yang beriman yang bertawakkal kepada Allah Swt., maka beradalah di dalam kelompok mereka, karena setan itu mampu menguasai orang-orang yang menolongnya dan orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. Janganlah anda termasuk orang-orang ini. (I’anah al-thalibin juz 1 halaman 265)

2 Sah, selama masih memenuhi syarat dan rukun shalat itu sendiri, misalnya terpenuhi unsur tuma’ninah. Sesuai dengan hadits Nabi;
كَانَ أَخَفّ النَّاسِ صَلاَةً عَلىَ النَّاسِ وَأَطُوْلُ النَّاسِ صَلاَةً عَنِ النَّاسِ (الجامع الصغير الجزء 2 ص 100)
Nabi Saw. Itu orang yang paling cepat shalatnya ketika mengimami manusia dan orang yang paling lama ketika shalat sendiri. (al-Jami’ al-Shaghir, juz II, hal. 100)

Dan dalam kitab Bujarami ‘Ala al-Khatib juz 2 halaman 126 disebutkan: disunnahkan bagi imam untuk mempercepat shalat dengan tetap menjaga sunnah ab’ad dan sunnah hai’at.
وَيُنْدَبُ أَنْ يُخَفِّفَ الْإِمَامُ مَعَ فِعْلِ الْأَبْعَاضِ وَالْهَيْئَاتِ . ( بجيرامى على الخطيب الجزء 2 ص 126

(Hukum Membaca Do’a Qunut ketika Shalat Shubu)


Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca do’a qunut ketika shubuh adalah tidak sunnah. Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah Saw. tidak melaksanakannya. Bagaimanakah sebenarnya hukum membaca do’a qunut dalam shalat shubuh? Apakah benar Rasulullah tidak melaksanakannya?

Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mereka berpendapat bahwa shalat shubuh itu tanpa qunut karena Rasulullah tidak melakukan hal tersebut.

عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الْأَشْجَعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي ياَ أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَََّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكَرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ أََفَكَانُوْا يَقْنِتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ (رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا أَبَا دَاوُدَ) فَمِنَ الْحَدِيْثِ اَلنَّهْيُ عَنِ الْقُنُوْتِ فِي الصُّبْحِ وَبِهِ أَخَذَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدُ. (إِبَانَةُ الْأَحْكَامِ، ج 1 ص 431)

Dari Said bin Thariq al-Asyja’i ra, ia berkata; aku pernah bertanya kepada ayahku wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali. Apakah mereka semua berdo’a qunut ketika shalat shubuh? Ayahku menjawab qunut itu termasuk perkara yang baru datang (HR. Khamsah kecuali Abu Dawud) dari hadis tersebut tercetuslah hukum berupa larangan qunut shubuh, seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam Ahmad. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal. 431)

Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada shalat shubuh termasuk sunnah ab’ad (apabila ditinggalkan maka sunnah melakukan sujud sahwi). Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْقُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةً أَمْ لَمْ تَنْزَلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَوْ كَثِيْرٌ مِنْهُمْ وَممَِّنْ قَالَ بِهِ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ وَعُمَرُبْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْبَرَّاءُ بْنُ عَازَبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ (اَلْمَجْمُوْعُ شرح المهذب ج 3 ص 504)

Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat shubuh, baik ada bala’ (bencana, cobaan, adzab dan lain sebagainya) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama’ salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman, Ali, Ibn Abbas dan al-Barra’ bin Azib ra. (al-Majmu’, Juz I, hal. 504)

Dalil yang bisa dibuat acuan adalah hadits Nabi Saw:

عَنْ أَنَسٍ بِنْ مَالِكٍ قَالَ مَازَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا (مُسْنَدُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ رَقْمٌ 12196)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Beliau berkata; Rasulullah Saw. Senantiasa membaca qunut ketika shalat sampai beliau wafat. (Musnad Ahmad bin Hanbal, [12196])

Larangan qunut tersebut di atas dikomentari oleh Imam al-Sathi, dia berkata: Dasar hadis yang kemudian dikatakan bahwa qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih:

يَقْدُمُ الْمُثْبِتُ عَلَى النَّافِى لِاشْتِمَالِهِ عَلَى زِيَادَة ِعِلْمٍ (شَرْحُ نَظْمِ جَمْعِ الْجَوَامِعِ ج 2 ص 475)
Dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu perkara, didahului oleh dalil yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak ada. Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil, menunjukkan adanya pemberitahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut. (Syarah Nadzam Jam’ul Jawami’, juz II, hal. 475)

Dengan demikian membaca qunut dalam shalat shubuh merupakan hal yang disunnahkan dan tidak bertentangan dengan syari’at.


(Mengusap Wajah setelah Salam ketika Shalat)

Salah satu tradisi yang sering kita lihat setiap selesai shalat, orang-orang mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya. Bagaimanakah hukumnya, apakah benar hal ini perbuatan bid’ah?

Di sunnahkan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah shalat karena shalat dari segi bahasa berarti do’a, sehingga orang yang melaksanakan shalat itu juga bisa dikatakan berdo’a kepada Allah Swt. Oleh karena itu sebenarnya mengusap wajah setelah salam dalam shalat bukanlah hal yang bisa dikatakan bid’ah ataupun hal yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Imam al-Nawawi berpendapat;

(فَائِدَةٌ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي اْلأَذْكَارِ وَرَوَيْنَا فِي كِتَابِ ابْنِ السنى عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبِ الْهَمَّ وَالْحَزَنَ. (إعانة الطالبين، ج.1، ص.184-185)

(Faidah) Imam Nawawi dalam (kitabnya) al-Adzkar; Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni, dari sahabat Anas ra., bahwa Rasulullah Saw. Apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdo’a saya bersaksi tiada tuhan kecuali dzat yang maha pengasih dan penyayang. Ya Allah Swt., hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan. (I’anah al-Thalibin, juz I, hal.184-185)

Dalam sebuah hadist disebutkan, setiap selesai berdo’a, Rasulullah Saw. Selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.


عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ. (سنن أبي داود باب الدعاء الجزء 1 

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya: Apabila Rasulullah Saw. Berdo’a, beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (Sunan Abi Dawud bab al-Do’a juz 1).

(Tata Cara Sujud)

Sujud merupakan salah satu dari rukun shalat yang dilakukan dengan cara meletakkan tujuh anggota tubuh, yaitu

1 Kening
2 Telapak tangan kanan
3 Telapak tangan kiri
4 Ujung lutut kanan5
5 Ujung lutut kiri6
6 Ujung telapak kaki kanan
7 Ujung telapak kaki kiri

Kening dan kedua telapak tangan harus langsung bersentuhan dengan alas tempat sujudnya. (al-Bujairimi ‘Ala al-Khatib, juz I, hal. 35)

وَيَجِبُ وَضْعُ جُزْءٍ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَمِنْ بَاطِنِ كَفَّيْهِ وَمِنْ بَاطِنِ أَصَابِعِ قَدَمَيْهِ فِي السُّجُودِ لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ : { أُمِرْت أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : الْجَبْهَةِ ، وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ } . وَلَا يَجِبُ كَشْفُهَا بَلْ يُكْرَهُ كَشْفُ الرُّكْبَتَيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ


Sujud Syukur

Sujud syukur merupakan sujud yang dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan dan kebahagian dari Allah Swt.

Lafadz niatnya adalah:

نَوَيْتُ سُنَّةً لِسُجُوْدِ الشُّكْرِ لِلَّهِ تَعَالَى

Dalam sujud syukur yang dibaca;

    Tasbih 10 kali:


سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

    Shalawat 10 kali:


صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ

    Do’a sapu jagat 10 kali;


رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


(Membaca Wiridan Setelah Shalat)

Sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin, setelah melaksanakan shalat mereka membaca wirid, baik secara berjama’ah maupun sendirian. Apakah amaliyah tersebut ada dasar hukumnya?

Wirid merupakan bentuk dzikir yang berupa bacaan kalimat thayyibah yang dilakukan setiap saat dengan harapan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan mendapat ridha serta ampunan-Nya. Di kalangan Nahdliyin, wiridan setelah shalat itu dilakukan secara bersama-sama yang diakhiri dengan do’a. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. yang berbunyi:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً (الأحزاب: 31-32)
Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah Swt. Dengan berdzikir yang banyak, dan bertasbihlah kepadanya, pagi dan sore. (Qs. Al-Ahzab: 31-32)


عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ ِللهِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَقَالَ تَمَامُ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ اْلبَحْرِ.
Dari Bara’i, Nabi bersabda: Barang siapa (membaca) tasbih 33 kali, hamdalah 33 kali dan takbir 33 kali, lalu menyempurnakan (hitungan)100 kali dengan membaca kalimat:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
(Tiada tuhan selain Allah Swt., Dia sendirian, tidak ada yang menandingi-Nya, Dia memiliki kerajaan, Dia memiliki segala puji dan Dialah yang berkuasa atas sesuatau). (Irsyad al-‘Ibad, hal. 19. Sunan Abi Dawud)

Dengan demikian wiridan setelah shalat itu adalah hal yang sangat baik untuk dilakukan karena di dalamnya mengandung pujian-pujian kepada Allah Swt.


(Hukum Menerjemahkan Bacaan dalam Shalat)

Shalat merupakan bentuk ibadah kepada Allah Swt. Yang telah diajarkan oleh Nabi kepada umatnya mulai dari bentuk gerakan sampai ketentuan do’a yang dibaca. Surat al-Fatihah merupakan ayat yang wajib dibaca dalam shalat. Do’a dan ayat yang berbahasa arab kadang menjadi kendala bagi beberapa orang untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Sehingga kemudian muncul inisiatif untuk menerjemahkan ke dalam bahasa selain Arab. Bagaimanakah pandangan ulama’ mengenai bacaan dalam shalat yang bacaannya diterjemahkan dalam bahasa selain Arab?

Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama'

Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, shalat yang dilakukan baik bagi yang paham bahasa Arab maupun yang tidak paham, artinya dengan cara menerjemahkan ke bahasa selain Arab hukumnya tidak boleh dan shalatnya tidak sah.

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ: (وَاِنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ بِالْفَارِسِيَّةِ لَمْ تُجْزِهِ، لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنَ الْقُرْآنِ اللَّفْظُ وَذَلِكَ لَا يُوْجَدُ فِي غَيْرِهِ اَلشَّرْحُ) مَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يُجَوِّزُ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ بِغَيْرِ لِسَانِ الْعَرَبِ سَوَاءٌ أَمْكَنَهُ اَلْعَرَبِيُّ أَوْ عَجَزَ عَنْهَا، سَوَاءٌ أَحْسَنَ الْقِرَاءَةِ أَمْ لَا، هَذَا مَذْهَبُنَا، وَبِهِ قَالَ مَاِلكٌ وَأَحْمَدُ، وَدَاوُدُ. ( مذاهب الأربعة ج. 1، ص. 269 )

Menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhammad adalah harus diperinci.

Shalatnya tidak sah bagi yang mampu baca al-Qur’an dan sah bagi yang tidak mampu baca al-Qur’an.

وَقَالَ أَبُوْ يُوْسُفَ وَمُحَمَّدُ: يَجُوْزُ لِلْعَاجِزِ دُوْنَ الْقَادِرِ (البجيرمي ج 2 ص 28)

Pendapat Imam Abu Hanifah shalatnya sah secara mutlak


وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ: تَجُوْزُ وَتَصِحُّ بِهِ الصَّلاَةُ مُطْلَقًا وَاحْتَجَ ِلأَبِي حَنِيْفَةَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى"قُلِ اللهُ شَهِيْدٌ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَأُوْحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ ِلأُنْذِرَكُمْ بِهِ" قَالُوْا وَالْعَجَمُ لاَ يَعْقِلُوْنَ اْلإِنْذَارَ إِلاَّ بِتَرْجَمَةٍ. وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ: أَنَّ النَّبِيَّ صِلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ". ( المجموع ج. 3 ، ص. 330 


(Cara Mendirikan Shalat di Pesawat)

Setiap muslim mukallaf, di manapun dan kapanpun diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu. Termasuk pada saat berada di dalam pesawat terbang, adapun pelaksanaan shalat di dalam pesawat terbang ada beberapa cara (kaifiyah)

Bagi yang masih suci (berwudlu), ada dua cara

1 Apabila dalam keadaan bisa melaksanakan dengan posisi berdiri, maka dilaksanakan dengan cara berdiri.

2 Apabila dalam keadaan tidak bisa dengan cara berdiri, maka dilaksanakan dengan cara duduk. (al-Majmu’ syarah al-Muhadzab, juz II, hal. 276)

وَذَكَرَ إِماَمُ الْحَرَمَيْنِ اِحْتِماَلاً فِيْ وُجُوْبِ اْلاِعاَدَةِ عَلَى الْمُصَلِّى قاَعِدًا لِنُدُوْرِهِ وَذَكَرَ الْبَغَوِيُّ فِيْ وُجُوْبِ اْلاِعاَدَةِ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ قَوْلَيْنِ وَقاَلَ أَصَحُّهُمَا تَجِبُ كاَلْعاَجِزِ الَّذِىْ مَعَهُ مَاءٌ لَا يَجِدُ مَنْ يُوَضِّئُهُ بِهِ فَإِنَّهُ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلَّى وَيُعِيْدُ وَالْمَذْهَبُ الصَّحِيْحُ الْمَشْهُوْرُ ماَ قَدَّمْتُهُ أَنَّهُ لاَ اِعاَدَةَ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ عاَجِزُوْنَ فِي الْحاَلِ وَجِنْسُ عُذْرِهِمْ غَيْرُ ناَدِرٍ بِخِلاَفِ ماَ قاَسَ عَلَيْهِ الْبَغَ

Bagi yang hadats dan tidak ada air untuk berwudlu’ serta tidak ada media tayamum, maka caranya sebagai berikut:

Melaksanakan niat shalat untuk menghormati waktu (Likhurmatil Waqti) dan wajib i’adah (mengulang shalatnya) setelah menemukan alat untuk bersuci.

( وَعَلَى فَاقِدِ ) الْمَاءِ وَالتُّرَابِ ( الطَّهُورَيْنِ ) كَمَحْبُوسٍ بِمَحِلٍّ لَيْسَ فِيهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا ( أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ ) لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ ( وَيُعِيدَ ) إذَا وَجَدَ أَحَدَهُمَا. (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 229

Menunda pelaksanaan shalat jika ada harapan ditemukannya salah satu alat bersuci, seperti yang telah dikatakan oleh Imam Al-Adhra’i.

وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ صَلَاتِهِ ضِيقُ الْوَقْتِ بَلْ إنَّمَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ مَا دَامَ يَرْجُو أَحَدَ الطَّهُورَيْنِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَهُوَ ظَاهِر. (شرح الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 230)



(Shalat ‘Ied Lebih Utama di Masjid atau di Lapangan)

Pada hari raya idul fitri dan idul adha, umat islam disunnahkan untuk melaksanakan shalat ‘Ied (shalat hari raya), sehingga banyak di antara mereka yang melaksanakan shalat tersebut di masjid dan ada pula yang melaksanakan di lapangan terbuka. Manakah yang lebih utama?

1 Shalat di Masjid lebih utama
Firman Allah Swt
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ , فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُواْ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah Swt. Menyukai orang-orang yang bersih. (QS. Al-Taubah:108)

Lebih lanjut dijelaskan lagi:
وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضَيْقِهِ (فتح الوهاب، ص. 83)
Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid itu lebih utama (daripada di lapangan) karena kemulyaanya, kecuali ada halangan, seperti masjidnya sempit (tidak menampung jama’ah). (Fathu al-Wahab, hal. 83)

2 Boleh mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan, karena mengikuti Rasulullah yang mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan. Namun hal itu bukan tanpa alasan, beliau melakukannya karena masjid yang dibangun oleh beliau itu sempit sehingga tidak bisa menampung para jama’ah shalat ‘Ied. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

وَقِيْلَ فِعْلُهَا بِالصَّخْرَاءِ أَفْضَلُ لِـْلاِتْبَاعِ وَرَدَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا خَرَجَ إِلَيْهَا لِصِغَرِ مَسْجِدِهِ (تحفة المحتاج،ج. 3، ص.27)
Ada yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied di lapangan itu lebih utama, karena ittiba’ (ikut perbuatan Nabi). Namun pernyataan ini dapat dibantah, karena sesungguhnya Nabi SAW melakukannya karena masjid yang beliau bangun terlalu kecil (sehingga tidak bisa menampung para jama’ah)
(Tuhfah al-Muhtaj, juz III, hal.27)

Dengan demikian selama tidak ada hal yang bisa menyebabkan shalat ‘Ied dilaksanakan di lapangan, maka lebih utama melaksanakan shalat ‘Ied di masjid. Kecuali kalau memang masjid itu tidak dapat menampung para jama’ahnya, sehingga lebih utama shalat ‘Ied dilaksanakan di lapangan.

(SHALAT JUM’AT)

Pembagian Golongan Ahli Shalat Jum’at
Orang muslim dalam masalah kesempurnaan shalat Jum’at terbagi menjadi 6 macam golongan, yaitu:

1 Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, serta sah dan mengesahkan shalat jum’at orang lain. Yang dimaksud pada golongan ini adalah shalat jum’atnya orang-orang yang memenuhi syarat wajib shalat jum’at (Islam, baligh, berakal, merdeka, mukim, laki-laki, sehat)

2 Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, akan tetapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain. Yang dimaksud golongan ini adalah shalat jum’at orang-orang yang bermukim tetapi tidak menetap (berpindah-pindah)

3 Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, akan tetapi shalatnya tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu orang murtad.

4 Orang yang tidak wajib shalat jum’at, shalatnya tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jum’at, yaitu shalat jum’atnya orang kafir.

5 Orang yang tidak wajib shalat jum’at, sedangkan shalat jum’at sah tapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu shalat jum’at anak kecil yang tamyiz, budak, wanita, banci, musafir.

6 Orang yang tidak wajib shalat jum’at, tetapi shalat jum’atnya sah dan bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu shalat jum’at orang sakit dan orang yang udzur.
(I’anah al-Thalibin, juz I, hal.54)
( وَاعْلَمْ ) أَنَّ النَّاسَ فِي الْجُمْعَةِ سِتَّةُ أَقْسَامٍ أَوَّلُهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَتَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ مَنْ تَوَفَّرَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ كُلُّهَا وَثاَنِيْهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمُقِيْمُ غَيْرُ الْمُسْتَوْطِنِ وَمَنْ سَمِعَ نِدَاءَ الْجُمْعَةِ وَهُوَ لَيْسَ بِمَحَلِهَا وَثاَلِثُهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمُرْتَدُّ فَتَجِبُ عَلَيْهِ بِمَعْنَى أَنَّنَا نَقُوْلُ لَهُ أَسْلَمَ وَصَلَ الْجُمْعَةُ وَإِلاَّ فَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَهُوَ باَقٌ بِحَالِهِ وَرَابِعُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ اْلكاَفِرُ اْلأَصْلِيُّ وَغَيْرُ الْمُمَيِّزِ مِنْ صَغِيْرٍ وَمَجْنُوْنٍ وَمَغْمَى عَلَيْهِ وَسَكْرَانٍ عِنْدَ عَدَمِ التَّعَدِّيْ وَخاَمِسُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الصَّبِيُّ الْمُمَيِّزُ وَالرَّقِيْقُ وَغَيْرُ الذَّكَرِ مِنْ نِسَاءٍ وَخُنَاثَى وَالْمُسَافِرِ وَسَادِسُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَتَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمَرِيْضُ وَنَحْوُهُ مِمَّنْ لَهُ عُذْرٌ مِنَ اْلأَعْذَارِ الْمُرَخَّصَةِ فِيْ تَرْكِ الْجُمْعَةِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 54)

Shalat Jum’at bagi TNI, POLRI, Satpam dan Banser yang Sedang Bertugas
TNI dan Polisi adalah perangkat negara yang betugas menjaga keamanan negara dan masyarakat, namun dalam menjalankan tugasnya terkadang ia harus meninggalkan hal-hal yang diwajibkan agama seperti tidak dapat melaksanakan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum meninggalkan shalat jum’at karena tuntutan tugas?

Tidak diwajibkan mengikuti shalat jum’at bagi aparat keamanan baik Polisi, TNI, Satpam ataupun Banser pada saat menjalankan tugas untuk menjaga keamanan harta benda atau menjaga keamanan seseorang yang sedang terancam.

وَلاَ تَجِبُ عَلَى الْخَائِفِ عَلَى نَفْسِهِ اَوْمَالِهِ لِماَّ رَوَى اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْهُ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ اِلاَّ مِنْ عُذْرٍ قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَالَ خَوْفٌ اَوْ مَرَضٌ . المهذب ج 1 ص 178 .
Tidak diwajibkan shalat jum’at bagi orang yang khawatir pada keamanan diri dan hartanya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda “Barang siapa mendengarkan adzan dan dia tidak menjawabnya maka tidak dianggap shalat baginya, kecuali karena udzur”. Sahabat bertanya, “Apakah udzurnya Ya Rasulallah Swt.? Rasulullah menjawab” Udzurnya adalah khawatir atau sakit”
(al-Muhadzab, juz I, hal.109)

(Hukum Shalat Jum’at bagi Wanita)
Selain shalat lima waktu, umat Islam juga diwajibkan untuk melaksanakan shalat jum’at. Tetapi apakah kewajiban itu juga berlaku bagi wanita?

Bagi laki-laki yang baligh, berakal, bukan budak wajib hukumnya melaksanakan shalat jum’at sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Akan tetapi bagi wanita boleh melaksanakan shalat jum’at, namun tidak menjadikan wajib bagi mereka seperti halnya orang laki-laki yang berpergian dan yang berstatus budak.


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا ». (صحيح مسلم رقم 1457)


يَجُوْزُ لِمَنْ لاَ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ كَعَبْدٍ وَمُسَافِرٍ اَوْ اِمْرَاَةٍ يُصَلِّى الْجُمْعَةَ بَدَلاً عَنِ الظُّهْرِ وَيُجْزِئُهُ بَلْ هِيَ اَفْضَلٌ ِلاَنَّهَا فَرْضٌ ِلاَهْلِ الْكَمَالِ وَلاَ تَجُوْزُ اِعَادَتُهَا بَعْدُ حَيْثُ كَمُلَتْ شُرُوْطُهَا (بغية المسترشدين فى باب الصلاة الجمعة, ص 78-79 . و فى المهذب وموهبة ذى الفضل)
Diperkenankan bagi wanita yang tidak berkewajiban jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai pengganti Dzuhur, bahkan shalat jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat Dzuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna. (Bughyah al-Mustarsyidin bab shalat jum’at hal.78-79, dan dalam kitab al-Muhadzab, dan Mauhibah Dzi al-Fadhal).

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa bagi wanita, musafir dan budak laki-laki tidak wajib melaksanakan shalat jum’at namun boleh memilih untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai ganti shalat dhuhur atau melaksanakan shalat dhuhur tanpa shalat jum’at.

(Hukum Mendirikan Shalat Jum’at di Dua Masjid dalam Satu Desa)
Dalam satu desa bagi umat Islam wajib mendirikan jama’ah shalat jum’at. Namun kadang dalam satu desa terdapat dua atau tiga masjid untuk pelaksanaan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at di dua masjid dalam satu desa?

Ulama’ berbeda pendapat tentang shalat jum’at yang dilaksanakan di dua masjid dalam satu desa:

1 Tidak boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu desa.
الثَّالِثُ مِنَ الشُّرُوْطِ اَنْ لاَيُسَابِقَهَا وَلاَيُقَارِنَهَا جُمْعَةٌ فِيْ بَلْدَتِهَا وَاِنْ كَانَتْ عَظِيْمَةً وَكَثُرَتْ مَسْجِدُهَا ِلاَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يُقِيْمُوْا سِوَى جُمْعَةٍ وَاحِدَةٍ اِلَى اَنْ قَالَ اِلاَّ اِذَا كَبُرَ اَيُّ الْبَلَدِ وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ يَقِيْنًا عَادَةً فِيْ مَكَانِ مَسْجِدٍ اَوْغَيْرِهِ.
Syarat yang ketiga adalah tidak boleh mendahului dan bersamaan pelaksanaan shalat jum’at satu sama lain dalam satu desa. Karena Nabi dan orang-orang setelahnya tidak pernah mendirikan jum’at yang lain dalam satu desa, kecuali daerahnya memang luas yang pasti menyebabkan kesulitan berkumpul dalam satu masjid. (Nihayah al-Muhtaj, juz II, hal.289)

2 Boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu masjid dalam suatu desa apabila satu masjid sudah tidak bisa menampung para jama’ah, masyarakatnya tidak dapat di persatukan lagi dan wilayah desanya luas.

وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلاَمِ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلاَثَةٌ : ضَيِّقُ مَحَلِ الصَّلاَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ لَهَا غَالِباً ، وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ ، وَبَعُدَ أَطْرَافُ اْلبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍ لاَ يَسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ ، أَوْ بِمَحَلٍ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يَدْرِكُهَا ، إِذْ لاَ يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ اهـ.

3 Boleh secara mutlaq, namun menurut imam Ismail al-Zain jumlah jama’ah tidak kurang dari 40 orang.

قَالَ الشَّيْخُ اِسْمَاعِيْلُ الزَّيْنُ اَمَّامَسْأَلَةُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ فَالظَّاهِرُ جَوَازُ ذٰلِكَ مُطْلَقًا بِشَرْطِ اَنْ لاَ يُنْقَصُ عَدَدُ كُلٍّ عَنْ اَرْبَعِيْنَ رَجُلا
Menurut syaikh Ismail al-Zain, masalah bilangan pelaksanaan shalat jum’at diperbolehkan secara mutlak (terlepas dari faktor-faktor penyebabnya) dengan syarat (jama’ahnya) tidak kurang dari empat puluh orang laki-laki. (Qurrah al-Aini, hal.83, Mizan al-Kubra, juz I, hal 209)

(Mendirikan Jama’ah Shalat Jum’at Kurang dari 40 Orang)
Dalam suatu desa pelaksanaan shalat jum’at ada yang dilakukan kurang dari 40 orang. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at dengan jama’ah yang kurang dari 40 orang?

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai bilangan jama’ah shalat jum’at, adapun pendapat mereka secara terperinci adalah sebagai berikut?

Menurut Imam an-Nakha’i dan Ahli Dhahiri, cukup 2 orang muslim mukallaf, (seperti halnya shalat jama’ah biasa)

Menurut Abi Yusuf, Imam Muhammad dan al-Laits, 2 muslim mukallaf, dengan imam.

Menurut Imam Abi Hanifah dan Sufyan al-Tsaury, 3 orang muslim mukallaf dengan imam.

Menurut Ikrimah, 7 orang muslim mukallaf.

Menurut Rabi’ah, 9 orang muslim mukallaf.

Menurut Rabi’ah, 12 orang muslim mukallaf, diriwayatkan Imam malik juga berpendapat demikian.

Menurut Imam Ishaq, 12 orang muslim mukallaf selain imam (12 orang makmum dan 1 orang imam= 13 orang)

Menurut riwayat Ibnu Habib dari Imam Malik, 20 orang.

Menurut Imam Malik, harus ada 30 muslim mukallaf.

Menurut Imam Syafi’i, harus 40 muslim mukallaf (pendapat yang lebih unggul)

Menurut Imam Syafi’i, Umar bin Abdul Aziz dan sebagian golongan, harus 40 muslim mukallaf, selain imam

Menurut Imam Ahmad, harus 50 muslim mukallaf.

Menurut Imam al-Maziri, 80 orang muslim mukallaf.

Menurut sebagian golongan ulama’ Malikiyah tanpa batasan hitungan.

Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib bab Syurutu Sikhati Shalat Al-Jum’at juz 2 halaman 190


وَتَأَمَّلْ هَذَا الْقَوْلَ مَعَ أَنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْجَمَاعَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا كَمَا فِي شَرْحِ الْمِشْكَاةِ لِابْنِ حَجَرٍ وَعِبَارَتُهُ : وَفِيهِ أَيْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ } أَنَّ الْجَمَاعَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا وَهُوَ إجْمَاعٌ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْعَدَدِ الَّذِي تَحْصُلُ بِهِ وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ أَرْبَعِينَ كَامِلِينَ .الثَّانِي : اثْنَانِ كَالْجَمَاعَةِ وَهُوَ قَوْلُ النَّخَعِيِّ وَأَهْلِ الظَّاهِرِ .الثَّالِثُ : اثْنَانِ مَعَ الْإِمَامِ عِنْدَ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ وَاللَّيْثِ .الرَّابِعُ : ثَلَاثَةٌ مَعَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَسُفْيَانٍ الثَّوْرِيِّ .الْخَامِسُ : سَبْعَةٌ عِنْدَ عِكْرِمَةَ .السَّادِسُ : تِسْعَةٌ عِنْدَ رَبِيعَةَ .السَّابِعُ : اثْنَا عَشَرَ عِنْدَ رَبِيعَةَ أَيْضًا فِي رِوَايَةٍ وَمَالِكٍ .الثَّامِنُ : مِثْلُهُ غَيْرُ الْإِمَامِ عِنْدَ إِسْحَاقَ .التَّاسِعُ : عِشْرُونَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ حَبِيبٍ عَنْ مَالِكٍ .الْعَاشِرُ : ثَلَاثُونَ كَذَلِكَ .الْحَادِيَ عَشَرَ : أَرْبَعُونَ بِالْإِمَامِ عِنْدَ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ .الثَّانِي عَشَرَ : أَرْبَعُونَ غَيْرُ الْإِمَامِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَيْضًا ، وَبِهِ قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَطَائِفَةٌ .الثَّالِثَ عَشَرَ : خَمْسُونَ عِنْدَ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ وَحُكِيَتْ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ .الرَّابِعَ عَشَرَ : ثَمَانُونَ حَكَاهُ الْمَازِرِيُّ .الْخَامِسَ عَشَرَ : جَمْعٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ حَصْرٍ .وَلَعَلَّ هَذَا الْأَخِيرَ أَرْجَحُهَا مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلِ قَالَهُ فِي فَتْحِ الْبَارِي ا هـ حاشية البجيرمى على الخطيب الباب شروط صحة الصلاة الجمعة ج 2 ص 190 
Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab 
(I’anah al-Thalibin, juz II, hal.57 dan Bughyah al-Mustarsyidin, hal.81).

(Hukum Adzan Dua Kali Sebelum Shalat Jum’at)

Pelaksanaan shalat jum’at umumnya diawali dengan adanya adzan pertama sebagai tanda masuknya waktu dhuhur dan adzan kedua mengiringi khutbah. Bagaimanakah dasar pelaksanaan dua adzan sebelum shalat jum’at tersebut?

Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat al-Jumu’at ayat 9;
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُـنْـتُمْ تَعْلَمُونَ (9)
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’at ayat 9)

Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam di atas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan di atas, kemudian sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari

عَنِ الزُّهْرِى قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنِ يَزِيْدَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ اِنَّ اْلاَذَانَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَانَ اَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا اَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِاْلأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذَّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ اْلاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء 1 ص 315 رقم 916)
Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang
(Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916)

Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad sayidina Utsman ra. dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathu al-Mu’in.
وَيُسَنُّ اَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٌ قَبْلَ الْفَجْرِ وَاَخَرُ بَعْدَهُ فَاِنِ اقْتَصَرَ فَاْلاَوْلَى بَعْدَهُ وَاَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ اَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الْخَطِيْبِ الْمِنْبَرَ وَاْلاَخَرُ الَّذِى قَبْلَهُ (فتح المعين 15)
Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang ke dua sebelumnya.
(Fathu al-Mu’in, hal.15)

Kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.

Shalat Sunnah Qobliyah dan Ba’diyah Jum’at
Setiap sebelum dan sesudah shalat maktubah di anjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah, yang disebut shalat qobliyah dan ba’diyah, lalu bagaimanakah dengan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’ah (shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah jum’at) adakah dasar hukumnya?
Hadits Nabi Saw.;
عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ وَيُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ. (سنن ابى داود رقم 953)
Dari Nafi’, ia berkata: Ibnu Umar memperpanjang shalat sebelum shalat jum’at, lalu mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat jum’at di rumahnya kemudian ia menceritakan bahwa hal itu dilakukan oleh Rasulullah Saw. (Sunan Abi Dawud, [953])



Dari Abi Hurairah beliau berkata: Rasulullah bersabda: Apabila salah satu diantara kamu shalat jum’at, maka hendaklah melakukan shalat sunnah empat rakaat sesudahnya. (Shahih Muslim, [1457])

عَنْ ِابْنِ مَسْعُوْدٍ كاَنَ يُصَلَّى قَبْلَ الْجُمْعَةِ اَرْبَعًا وَبَعْدَهَا اَرْبَعًا(رواه الترمذى رقم 481)
Ibnu Mas’ud berkata: Bahwasannya Rasulullah Saw. melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum shalat jum’at dan 4 rakaat sesudah shalat jum’at. (Sunan al-Tirmidzi, [481])

Berdasarkan keterangan hadits di atas maka sunnah melaksanakan shalat qobliyah dan ba’diyah jum’at. Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi

فَرْعٌ, فِيْ سُنَّةِ الْجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا: تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتاَنِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتاَنِ بَعْدَهَا وَاْلاَكْمَلُ اَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَاَرْبَعٌ بَعْدَهاَ (المجموع ج 4ص9)
(Bagian) menerangkan tentang sunnah shalat jum’at, setelah dan sebelumnya. Sebelum dan setelahnya di sunnahkan melakukan shalat sunnah. Paling sedikit 2 roka’at, sebelum dan sesudahnya. Dan lebih sempurna, 4 raka’at sebelum dan sesudahnya.
(Al-Majmu’, juz IV, hal.09)

Maka menjadi jelas bahwa dianjurkan melakukan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at sama halnya dengan shalat Dhuhur.

(Khatib Jum’at Memegang Tongkat)

Di kalangan NU pelaksanaan khutbah jum’at selalu terlihat tongkat di tangan khatib selama khutbah dibacakan, berbeda dengan sebagian golongan yang tidak memakai tongkat. Apakah ada dalil dari tradisi penggunaan tongkat saat khotib membacakan khotbah dan apakah ada hikmahnya?
Dasar hadits dalam kitab sunan Abi Dawud, bab al-Rajul Yahtubu ‘ala Qouts:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنِى شُعَيْبُ بْنُ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىُّ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى رَجُلٍ لَهُ صُحْبَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَالُ لَهُ الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِىُّ فَأَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا قَالَ وَفَدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَابِعَ سَبْعَةٍ أَوْ تَاسِعَ تِسْعَةٍ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ زُرْنَاكَ فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَأَمَرَ بِنَا أَوْ أَمَرَ لَنَا بِشَىْءٍ مِنَ التَّمْرِ وَالشَّأْنُ إِذْ ذَاكَ دُونٌ فَأَقَمْنَا بِهَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ ثُمَّ قَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا ». قَالَ أَبُو عَلِىٍّ سَمِعْتُ أَبَا دَاوُدَ قَالَ ثَبَّتَنِى فِى شَىْءٍ مِنْهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَقَدْ كَانَ انْقَطَعَ مِنَ الْقِرْطَاسِ.
Dari hadits ini, Shan’ani mengatakan
وَفِى الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى اَنَّهُ يُنْدَبُ لِلْخَطِيْبِ اْلاِعْتِمَادُ عَلَى سَيْفٍ اَوْنَحْوِهِ وَقْتَ خُطْبَتِهِ (سبل السلام,ج2 ص59)
Hadits tersebut menjelaskan tentang kesunnahan khatib memegang pedang atau semisal (tongkat) pada waktu menyampaikan khutbahnya.
(Subul al-Salam, Juz II, hal. 59)

Jumhur ulama’ mengatakan bahwa sunnah hukumnya bagi khotib untuk memegang tongkat pada saat membaca khutbah. Hal di jelaskan oleh Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm juz I. Hal.272

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَكُمُ اللهُ وَبَلَغْنَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصًا وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُتَعَمِّدًا عَلَى عَنَـزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَلِكَ اِعْتِمَادٌ اَخْبَرْنَا الرَّبِيْعُ قَالَ اَخْبَرْنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ اَخْبَرْنَا اِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِانِ اَذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عَنَـزَتِهِ اِعْتِمَادًا (الأم ج1 ص 272)

(Imam Syafi’i ra berkata) mudah-mudahan Allah Swt. memberikan rahmat kepada beliau, dan telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah Saw. berkhutbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Al-Rabi’ mengabarkan dari imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah Saw. jika berkhutbah beliau memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan tumpuan.
(Al-Umm, juz I, hal.272)

Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa khutbah sambil memegang tongkat mempunyai dasar yang kuat, namun masihkah hal ini diklaim sebagai perbuatan bid’ah

(Hikmah Memegang Tongkat Waktu Menyampaikan Khutbah)

وَالْحِكْمَةُ اِنَّ فِىْ ذٰلِكَ رَابِطًا لِلْقَلْبِ وَلِبُعْدِ يَدَيْهِ عَنِ الْعَبْثِ (سبل السلام ج 2 ص59)
Hikmah dianjurkannya memegang tongkat itu untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya.
(Subul al-Salam, juz II, hal.59)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan penyampaian khutbah jum’at, bagi seorang khatib disunnahkan membawa tongkat seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan dimaksudkan agar khatib lebih khusyu’ dan konsentrasi pada khutbah yang disampaikannya.

(Mengulang Bacaan Alhamdulillah dalam Khutbah)

Sering kita mendengar saat khatib membaca alhamdulillah diulang dua kali dalam khutbahnya, hal ini biasanya terdapat di kalangan masjid-masjid NU. Bagaimanakah pendapat tentang pengulangan bacaan tersebut?

Salah satu rukun khutbah adalah membaca hamdalah. Adapun mengulang bacaan alhamdulillah itu dianggap sah karena sama dengan mengulangi di antara rukun khutbah yang hukumnya tidak dilarang. Dari keterangan asy-Syarqawi bab Jum’at.

وَكَذَا لاَيَضُرُّ تَكْرِيْرُ بَعْضِ اْلاَرْكاَنِ كَماَ يَقَعُ اْلاٰنَ اَيْضًا (الشرقاوى ج 1 ص267 )
Demikian pula boleh mengulang-ulang sebagian rukun-rukunnya sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
(al-Syarqawi bab jum’at juz 1 halaman 267)

(Menterjemahkan Khutbah dengan Bahasa Indonesia)

Khutbah merupakan rukun shalat jum’at yang dilakukan dengan tujuan untuk mengajak kepada para jama’ah untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. sehingga perlu adanya pemahaman pada para jama’ah tentang isi yang akan disampaikan. Bagaimanakah menerjemahkan khutbah dengan bahasa Indonesia selain rukun khutbah tersebut?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan

1 Sebagian ulama’ memandang khutbah jum’at yang disampaikan dengan bahasa Indonesia (selain bahasa Arab) dianggap tidak mencukupi keabsahannya karena dinilai sebagai laghwun bahkan dianggap memutus rukun-rukun khutbah.

2 Ulama’ Syafi’iyah sepakat bahwa diperbolehkan menerjemahkan selain rukun khutbah, asal tetap pada prinsip mengajak kepada kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah sebagaimana diterangkan dalam al-Bujairimi, juz I, hal.389.

لَوْ كاَنَ مَا بَيْنَ أَرْكاَنِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرْ قاَلَ م ر مَحَلُهُ ماَ إِذَا لَمْ يُطِلْ الفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَةِ وَإِلاَّ ضَرَّ لِإِخْلاَلِهِ بِالْمُوَالاَةِ كَالسُّكُوْتِ بَيْنَ اْلأَرْكاَنِ إِذَا طََالَ بِجَامِعٍ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَغْوٌ لاَ يُحْسَبُ لِأَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لاَ يُجْزِىءُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم وَالْقِياَسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَةِ بِخِلاَفِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلاَ يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش ( حاشية البجرمي ج 1 ص 389)
Yakni seandainya antara rukun-rukun khutbah memggunakan selain bahasa Arab boleh saja, (Imam Ramli berpendapat) selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak ketersambungan khutbah sama seperti diam dalam waktu yang lama di antara rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu dianggap gurauan yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain bahasa Arab tidak mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa Arab. Menurut hukum qiyas penggunaan selain bahasa arab itu diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan khutbah selain bahasa arab dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu menunjukkan berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain bahasa arab mengandung nasehat maka tidak keluar dari pengertiannya sebagai khutbah. (Al-Bujairimi, juz I, hal.389)

(DZIKIR DAN DO’A)

Dzikir
Dzikir artinya mengingat atau menyebut. Dzikir kepada Allah berarti: mengingat atau menyebut nama Allah Swt.

Dzikir kepada Allah secara berjamaah sudah menjadi kebiasaan umat Islam khususnya di Indonesia, kalimat-kalimat dzikir banyak sekali, diantaranya membaca lafadz Allah. Dzikir hukumnya sunnah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an;
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا (41) وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (42)
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah Swt., zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. (al-Ahzab:41-42)

اِعْلَمْ أَنَّهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ الذِّكْرُ يُسْتَحَبُّ الْجُلُوْسُ فِيْ حَلْقِ أَهْلِهِ ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ اَلْأَدِلَّةُ عَلَى ذٰلِكَ ، (الاذكار النووى ص 8
Ketahuilah sebagaimana disunnahkan dzikir, begitu juga disunnahkan duduk dalam lingkaran orang-orang yang berdzikir, karena banyak dalil-dalil yang menyatakan hal itu. (al-Adzkar al-Nawawi, hal. 08)

Bagi warga Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah bahwa membaca dzikir dan do’a adalah suatu ibadah yang sangat tinggi pahalanya di hadapan Allah Swt. Oleh sebab itu, ciri khas ummat Islam Indonesia yang menganut faham Ahluu Sunnah Wal Jama’ah sangat rajin berdzikir dan berdo’a pada setiap setelah shalat atau pada waktu-waktu tertentu bahkan disetiap hembusan nafasnya selalu berdzikir kepada Allah dalam hatinya, selalu mengingat Allah dalam setiap aktifitasnya yaitu: ketika duduk, berdiri, berjalan, makan, minum, bekerja dan apapun yang dikerjakan oleh anggota dhahirnya, tetapi hatinya tidak pernah luput dari mengingat Allah.

Dzikir Fida’
Dzikri Fida’ merupakan dzikir penebusan, yaitu menebus kemerdekaan diri sendiri atau orang lain dari siksaan Allah Swt. dengan membaca: Laa Ilaha Illallah. sebanyak 71.000 (tujuh puluh satu ribu).

Dengan demikian, dzikir fida’ adalah upaya untuk memohonkan ampunan kepada Allah Swt. atas dosa-dosa orang yang sudah meninggal. Diterangkan dalam hadits dari Siti Aisyah

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قاَلَ لاَإِلهَ اِلاَّاللهُ اَحَدَ وَسَبْعِيْنَ اَلْفًا اِشْتَرَى بِهِ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَا فَعَلَهُ لِغَيْرِهِ. (خزينة الاسرا 1884)
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Ia berkata; Rasulullah bersabda: barang siapa yang membaca laa ilaaha illah sebanyak tujuh puluh satu ribu maka berarti ia menebus (siksaan) dengan bacaan tersebut dari Allah ‘Azza Wajalla dan begitu juga hal ini bisa dilakukan untuk orang lain
(Khazinah al-Asrar, hal.188)

Adapun dzikir fida’ ini yang selanjutnya disebut dzikir ‘ataqah, oleh para ulama’ dibagi dua macam yakni ‘ataqah sughra yaitu membaca laa ilaaha illah sebanyak 70 ribu kali atau 71 ribu kali dan ‘ataqah kubra yaitu membaca surat al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Syarh al-Futuhat al-Madaniyah.

وَرُوِىَ اَنَّ الشَّيْخَ اَباَ الرَّبِيْعِ اَلْمَالَقِيّ كاَنَ عَلىَ مَائِدَةِ طَعَامٍ وَكاَنَ قَدْ ذَكَرَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ سَبْعِيْنَ اَلْفَ مَرَّةٍ وَكاَنَ مَعَهُمْ عَلىَ الْمَائِدَةِ شَابٌ مِنْ اَهْلِ الْكَشْفِ فَحِيْنَ مَدَّ يَدَهُ اِلىَ الطَّعاَمِ بَكَى وَامْتَنَعَ مِنَ الطَّعَامِ فَقَالَ لَهُ الْحَاضِرُوْنَ لِمَ تَبْكِى؟ فَقاَلَ اَرَى جَهَنَّمَ وَاَرَى اُمِّىْ فِيْهَا. قَالَ الشَّيْخُ اَبُوْ الرَّبِيْعِ: فَقُلْتُ فِىْ نَفْسِىْ اَللَّهُمَّ اِنَّكَ تَعْلَمُ اَنِّىْ قَدْ هَلَّلْتُ سَبْعِيْنَ اَلْفاً وَقَدْ جَعَلْتُهَا عِتْقَ اُمِّ هَذَا الشَّابِّ مِنَ النَّارِ فَقَالَ الشَّابُّ اَلْحَمْدُ لِلّهِ أَرَى أُمِّىْ قَدْ خَرَجَتْ مِنَ النَّارِ وَمَا اَدْرِىْ ماَ سَبَبُ خُرُوْجِهَا وَجَعَلَ هُوَ يَبْتَهِجُ وَاَكَلَ مَعَ الْجَمَاعَةِ. وَهَذَا التَّهْلِيْلُ بِهذَا الْعَدَدِ يُسَمَّى عَتاَقَةَ الصُّغْرَى كَمَا اَنَّ سُوْرَةَ الصَّمَّدِيَّةِ إِذاَ قُرِئَتْ وَبَلَغَتْ مِائَةَ اَلْفِ مَرَّةٍ تُسَمَّى عَاتَقَةَ كُبْرَى وَلَوْ فِيْ سِنِيْنَ عَدِيْدَةٍ فَاِنَّ الْمُوَالاَةَ لاَتُشْتَرَطُ. اهـ (شرح الفتوحات المدنية بهامش نصائح العباد ص 24)

Diriwayatkan bahwa syekh Abu al-Robi’ al-Malaqi, berada di jamuan makanan dan beliau telah berdzikir dengan mengucapkan Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali. Di jamuan tersebut terdapat seorang pemuda ahli kasyaf. Ketika pemuda itu akan mengambil makanan tiba-tiba ia mengurungkan mengambil makanan itu, lalu ia ditanya oleh para hadirin mengapa kamu menangis? ia menjawab, saya melihat neraka jahanam dan melihat ibu saya di dalamnya. Kata syekh Abu al-Rafi’, saya berkata di dalam hati, “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa saya telah berdzikir Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali dan saya mempergunakannya untuk membebaskan ibu pemuda ini dari neraka”. Setelah itu pemuda tersebut berkata, “Alhamdulillah, sekarang saya melihat ibu saya telah keluar dari neraka, namun saya tidak tahu apa sebabnya”. Pemuda itu merasa senang dan kemudian makan bersama dengan para hadirin. Dzikir Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali dinamakan ataqoh sughroh (pembebasan kecil dari neraka), sedangkan surat al-Ikhlas jika dibaca 100 ribu kali dinamakan ataqoh kubro (pembebasan besar dari neraka) walaupun waktu membacanya beberapa tahun, karena tidak disyaratkan berturut-turut. (Syarah al-Futukhat al-Madaniyah Bihamisyi Nasha’ih al-Ibad, hal.22)

(Tahlil)
Tahlil berasal dari kata هَلَّلَ - يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلاً yang berarti membaca kalimat لااله الا الله . Sedangkan tahlil menurut pengertian yang berkembang di masyarakat adalah membaca kalimat thayyibah (shalawat, tahlil, istighfar, fatihah, surat ikhlas, mu’awwidzatain, dan lain-lain) yang pahalanya ditujukan kepada arwah keluarga yang bersangkutan.

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ (10)
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, Sesungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". QS. Al-Hasyr ayat 10

عَنِ النَّـِبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( كَلِمَتاَنِ خَفِيْفَتاَنِ عَلىَ اللِّسَانِ ثَقِيْلَتاَنِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتاَنِ إِلىَ الرَّحْمٰنِ سُبْحاَنَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ) . رواه البخارى (احاديث مخترة من الصحيحين)
Rasul bersabda: dua kalimat yang ringan bagi lisan dan berat (timbangan kebijakannya) di Mizan (timbangan amal akhirat), dan dicintai oleh Dzat yang mempunyai belas kasih adalah kalimat Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil adzim. HR. Bukhari dalam kitab Akhadits Muhtar Min Al-Shahihain


قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ماَ الْمَيِّتُ فِى قَبْرِهِ إِلاَّ كاَلْغَرِيْقِ الْمَتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبِيْهِ أَوْ أَخِيْهِ أَوْ صَدِيْقِ لَهُ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كاَنَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ وَمَا فِيْهَا وَإِنَّ هَدَاياَ اْلأَحْياَءِ لِلْأَمْوَاتِ اَلدُّعاَءُ وَاْلاِسْتِغْفاَرُ
Rasulullah Saw. Bersabda: tiada seorang pun dari mayit dalam kuburnya kecuali dalam keadaan seperti orang tenggelam yang banyak meminta tolong, dia menanti doa dari ayah dan saudara atau seorang teman yang ditemuinya, apabila ia telah menemukan doa tersebut, maka doa itu menjadi sesuatu yang lebih dicintai dari pada dunia dan seisinya, dan apabila orang yang masih hidup ingin memberikan hadiah kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah dengan doa dan istighfar’
(Ihya’ Ulum al-Din, Juz IV, hal.476

Dengan demikian tahlil yang berisi doa, istighfar, bacaan al-Qur’an, tasbih, bacaan Laa Ilaha Ilallah dan kalimat thoyyibah lainnya merupakan hadiah dari orang yang masih hidup kepada orang yang telah mati.

Kesimpulannya, selamatan dan tahlil atau melakukan do’a bersama memohon keselamatan, baik bagi yang masih hidup maupun yang sudah meninggal adalah memiliki dasar dan tidak bertentangan dengan syariat agama

(Do’a)

Berdo’a atau memohon kepada Allah Swt. merupakan inti ibadah bagi umat Islam dengan tidak memandang derajat dan pangkat. Semuanya diperintahkan supaya memperbanyak berdo’a kepada Allah, memohon ampunan, memohon keselamatan dunia akhirat, kesehatan jasmani dan rohani, dll.

Orang yang berdo’a seolah-olah munajat (berbicara), berbisik dengan Allah SWT., dengan memakai bahasa yang sopan, yang merendah. Orang yang tidak mau berdo’a adalah orang-orang yang sombong, yang menganggap dirinya lebih tinggi, lebih pandai, lebih mampu, bahkan lebih kaya dari Allah Swt. Kedudukan do’a adalah sangat tinggi dalam ibadah. Karena itu berdo’a dengan khusyu’ dan tawadhu’ sangat dianjurkan oleh agama.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ (60)
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". (QS. al-Mu’min: 60)

[1326] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
اُدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (55)
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[549]. (QS. al-A’rof: 55)

[549] Maksudnya: melampaui batas tentang yang diminta dan cara meminta.
عَنْ عُمَرَ قاَلَ كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذاَ اَمَدَّ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
Apabila Nabi mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, Nabi tidak akan mengembalikan kedua tangannya sehingga mengusapkan pada wajahnya.(Bulugh al-Maram, hal.347)


عَنِ النُّعْماَنِ بْنِ بَشِيْرٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ.
Dari Nu’man bin Basyir dari Nabi Saw. Sesungguhnya do’a merupakan ibadah. (Bulughul Maram, hal.347)

Do’a merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah Swt. Orang yang enggan berdo’a maka termasuk orang-orang yang sombong. Berdo’a kepada Allah mempunyai kode etik atau tata krama, salah satunya adalah dengan mengangkat kedua tangan lalu mengusapkannya pada wajah ketika selesai seperti yang telah disyari’atkan Nabi.

(Do’a Bersama Umat Beragama dan Non muslim)

Berkumpul melakukan do’a bersama antar umat beragama, seperti yang telah dipelopori oleh Kyai Sholeh Bahruddin, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh dari 6 agama yang berada di Indonesia, baik dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, mereka semua berkumpul di Ponpes Ngalah dan berdo’a bersama. Bagaimanakah pandangan agama?
Dalam hal ini, terjadi beberapa pendapat di kalangan ulama’

1 Tidak boleh, karena do’anya non muslim tidak diterima serta dilarangnya tawasul dengan mereka. Diambil dari keterangan Kitab Hasyiyah al-Jamal:
لاَيَجُوْزُ اَلتَّأْمِيْنُ عَلىَ الدُّعاَءِ الْكاَفِرِ ِلاَنَّهُ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَماَ دُعَاءُ اْلكاَفِرِيْنَ اِلاَّ فِىْ ضَلاَلٍ (حاشية الجمل ج2 ص 119)
Dan tidak boleh mengamini do’a orang kafir karena do’anya tidak diterima sesuai dengan firman Allah Swt. dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanya sia-sia belaka.
(Hasyiyah al-Jamal, Juz II, hal. 119)

Dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Rauyani dalam kitab Mughni al-Muhtaj:
لاَ يَجُوْزُ اَنْ يُّؤَمِّنَ عَلَى دُعَائِهِمْ كَمَا قَالَهُ اَلرُّوْياَنِىْ لِأَنَّ دُعاَءَ الْكاَفِرِ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ (مغني المحتاج باب صلاة الاستسقاء , ج 1 ص 438)
Tidak boleh mengamini do’a mereka (orang kafir) sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam al-Rauyani, karena do’a mereka tidak akan diterima. (Mughni al-Muhtaj, bab Shalat Istisqo’ juz I, hal.438)

وَيُكْرَهُ إِخْرَاجُ اْلكُفَّارِ ِللْإِسْتِسْقاَءِ لِأَنَهُمْ اَعْداَءُ اللهِ فَلاَ يَجُوْزُ اَنْ يَتَوَسَّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ فَإِنْ حَضَرُوْا وَتَمَيَّزُوْا لَمْ يُمْنَعُوْا ِلأَنَّهُمْ جَاءُوْا فِيْ طَلَبِ الرِّزْقِ. (المجموع ج 5 ص 69)

Dimakruhkan keluarnya orang-orang kafir untuk ikut shalat istisqo’ (meminta hujan) mengingat mereka adalah musuh-musuh Allah, maka tidak diperkenankan untuk bertawassul dengan mereka. Jika mereka ikut hadir dan keberadaan mereka berbeda dengan umat Islam, maka mereka tidak perlu dilarang karena mereka datang untuk mencari rizqi.(al-Majmu’, juz V, hal.69)

2 Makruh, jika perkumpulan tersebut berada di dalam musholla/masjid apalagi berbaurnya tersebut dilandasi hanya sekedar berkumpul tanpa ada tujuan yang positif.

( وَلاَ يَخْتَلِطُوْنَ ) أَهْلُ الذِّمَّةِ وَلاَ غَيْرُهُمْ مِنْ سَائِرِ الْكُفَّارِ ( بِناَ ) فِيْ مُصَلاَّناَ وَلاَ عِنْدَ الْخُرُوْجِ أَيْ يُكْرَهُ ذلِكَ بَلْ يَتَمَيَّزُوْنَ عَناَّ فِيْ مَكاَنٍ لِأَنَّهُمْ أَعْدَاءُ اللهِ تَعَالَى إِِذْ قَدْ يَحُلُّ بِهِمْ عَذَابٌ بِكُفْرِهِمْ فَيُصِيْبَناَ (مغنى المحتاج. ج 1 ص 323)
Orang kafir, baik dzimmi maupun orang kafir selain dzimi, itu tidak diperbolehkan menjadi satu majlis peribadatan kita, demikian halnya ketika kita keluar. Percampuran tersebut makruh, dan mereka harus berbeda dengan kita umat islam ketika berada dalam suatu tempat. Hal ini karena mereka musuh-musuh Allah Swt. yang suatu saat mereka akan ditimpa suatu adzab dengan kekufuran mereka itu dan adzab tersebut akan mengenai kita pula.
(Mughni al-Muhtaj, juz I, hal.323)

قَوْلُهُ : ( تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ. (البجيرمي على الخطيب ج 4 ص 291)
Haram mencintai orang kafir yakni adanya rasa suka dan kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir saja maka hukumnya makruh. (al-Bujairami ‘ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

3 Boleh, mengamini atau memimpin do’a bersama non muslim bahkan sunnah jika caranya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan isi do’anya memohon hidayah, pertolongan dan menjalin hubungan baik di dunia serta bermanfaat demi kemaslahatan umat atau untuk mencegah timbulnya sesuatu madharat yang tidak diinginkan.

وَالْوَجْهُ جَوَازُ التَّأْمِيْنِ بَلْ نَدْبُهُ إذَا دَعَا لِنَفْسِهِ بِالْهِدَايَةِ وَلَنَا بِالنَّصْرِ مَثَلًا. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج باب صلاة الاستسقاء الزء 3 ص 553) 

Menurut salah satu pendapat: Boleh mengamini do’a orang kafir, bahkan sunnah jika ia berdo’a agar dirinya mendapatkan hidayah dan kita mendapatkan pertolongan. (Tuhfah Al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj bab shalat istisqo’ juz 3 hal. 553)

Keterangan yang sama terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Jamal, juz II, hal.119)
وَثاَنِيْهَا (اَلْمُخَالِطَةُ) اَلْمُبَاشَرَةُ بِالْجَمِيْلِ فِى الدُّنْياَ بِحَسَبِ الظَّاهِرِ وَذلِكَ غَيْرُ مَمْنُوْعٍ (تفسير المنير ج 1 ص 94)
Yang kedua, tidak dilarang untuk bergaul (dengan orang-orang kafir) dengan pergaulan yang baik di dunia. (Tafsir Munir Lin Nawawi, juz I, hal.94)
أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر .(البجيرمي على الخطيب ج 4 ص 291)
Adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya madlarat yang mungkin dilakukan oleh mereka, ataupun mengambil sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak haram.
(al-Bujairami ‘ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

(Berdo’a dengan Tawassul)
Tawassul artinya perantaraan. Kalau kita tidak sanggup menghadap langsung, kita perlu seorang perantara. Seperti contoh: kalau kita ingin menyampaikan aspirasi kita kepada presiden akan tetapi kita tidak bisa langsung bertemu dengan presiden maka kita menyampaikan aspirasi lewat menteri, apabila kita tidak bisa langsung lewat menteri kita menyampaikan aspirasi kita lewat sesneg atau lewat ajudan. Begitu juga kalau kita ingin menyampaikan suatu keinginan kepada Allah, apabila kita tidak bisa langsung ke Allah, maka kita mohon dengan perantaraan kekasih-Nya, para nabi, para syuhada’ dan orang-orang shaleh.

Sebagian orang mengatakan bahwa berdo’a dengan tawassul adalah syirik, serupa menyembah atau meminta kepada selain Allah, seperti yang telah dilakukan oleh banyak golongan yang meng-klaim, mengkafirkan umat Islam yang bertawassul ketika berdo’a. Sebenarnya bagaimanakah hukum tawassul ketika berdo’a, apakah ada dalil atau dasarnya?

Tawassul kepada Nabi, para sahabat dan orang-orang shaleh adalah merupakan salah satu cara atau perantara ketika berdo’a agar cepat diijabahi atau dikabulkan oleh Allah Swt.

Hukum tawasul adalah boleh bahkan di sunnahkan, karena para sahabat Nabi juga melakukan doa dengan tawassul, sebagaimana keterangan di bawah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (35)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
(QS. al-Maidah:35)


وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ جَآؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُواْ اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا (64)
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
 (Q.S. al-Nisa’: 64)

Para sahabat Nabi juga melakukan tawassul ketika berdo’a, berikut ini dalil-dalil yang menerangkannya:

قاَلَ اِبْنُ تَيْمِيَّةِ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلاَفَرْقَ بَيْنَ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ كَماَ زَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَدْ صَحَّ عَنْ بَعْضِ الصَّحاَبَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَعْضُ الْمُحْتاَجِيْنَ أَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَسَّلَ بِهِ فَقُضِيَتْ حاَجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانِىُّ .
Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirat al-Mustaqim: Tak ada perbedaan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati, seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadits sahih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang-orang yang memiliki hajat di masa khalifah Utsman untuk bertawassul kepada Nabi setelah beliau wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Nabi, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath-Thabrany.
(Al-Kawakib al-Durriyah juz 2 halaman 6)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ رواه البخارى .
Dari sahabat anas, ia mengatakan: pada zaman Umar bin Khaththab pernah terjadi musim paceklik. Ketika melakukan shalat istisqa’ Umar bertawassul kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib: Ya Tuhan, dulu kami, mohon kepada-Mu dengan wasilah Nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman Nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka (HR. al-Bukhari)

Hadits ini diterangkan di berbagai kitab hadits antara lain yaitu:

Shahih al-Bukhary, bab sual an-Naas al-Imam Juz I, hal.128.

Musnad al-Shakhabah fii al-Kitab al-Tis’ah, bab musnad Umar bin Khaththab

Jumhurah al-Ajzaa’ juz 1 hal 78.

Kanzu al-Amal Fii Sunani al-Aqwaal

Musnad Abi ‘Uwanah, bab Ziyadaats Fii al-Istisqo’

Al-Akhad Wa al-Matsany, bab Dzikru Ahli Badrin Wa Fadhailihim Wa ‘Adadihim juz 1 hal.296.

Orang yang melakukan tawassul kepada orang yang shalih atau dengan seorang rasul itu bukan berarti menyembahnya akan tetapi untuk meminta bantuan (sebagai perantara) kepada Allah melalui kekasih-Nya. Dengan demikian tawassul dalam berdo’a membantu cepat terkabulnya do’a dan tidak bertentangan dengan syara’


(KESAHIHAN DALIL)

BUDAYA SELAMETAN 1-7 HARI, 40 HARI, 100 HARI, DAN HAUL BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL

(Pengertian Selamatan atau Haul)

Kata ”haul” berasal dari bahasa Arab yang berarti telah lewat atau berarti tahun. Masyarakat Jawa menyebutnya ”khol utowo selametane wong mati” (haul atau selamatan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal) yaitu: suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang Ulama’ (tokoh agama, kyai) atau salah satu dari anggota keluarga.

Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad Saw. setiap tahun telah melakukan ziarah kubur pada syuhada’ uhud (para sahabat yang gugur waktu peperangan uhud) yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman pada setiap tahun. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidi:

عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ: كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذٰلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ (رواه البيهقى)
 Al-Waqidy berkata: “Nabi Muhammad Saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdo’a: keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, sungguh ahirat adalah tempat yang paling nikmat/sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman. HR. Baihaqi. 
(Mukhtashar Ibnu Katsir, Juz 2 hal. 279)

Sedangkan selametan pada hari ke 1 sampai hari ke 7 setelah kematian adalah tradisi orang jawa kalau ada keluarga yang meninggal, tradisi atau budaya selametan tidaklah bertentangan dengan syara’, budaya tersebut berdasarkan pada hadits di bawah ini


Menurut golongan Madzhab Syafi’i

قَالَ طاَوُسُ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَياَّمَ إِلىَ أَنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرٍ قَالَ: رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُناَفِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ أَربَعِيْنَ صَبَاحاً. ( الحوى إلى فتوى للسيوطي، جز الثاني ص 178)
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan memperoleh ujian dari Allah Swt. dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. (Sampai kata-kata) Dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia berkata: Seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari di waktu pagi. (al-Haway Ilaa Fatawa Lii al-Suyuty, juz 2 hal 178)

Perbedaan Pendapat Para Ulama’ Tentang Hukum Selametan 1-7 Hari, 40 Hari, 100 Hari dan Haul bagi Orang yang Telah Meninggal

Mengenai hukum haul dan selametan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’, tetapi mayoritas ulama’ dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (seperti: selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal. Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama’ mengenai hal ini baik yang memperbolehkan maupun yang tidak memperbolehkannya. Adapun berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya adalah seperti di bawah ini

1 Pendapat yang memperbolehkan

Menurut Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibn Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) dalam kitab Majmu’ al-Fatawa: juz 24 halaman 314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:

اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ: نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ الْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .

Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’at “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa: juz 24 halaman 322 sebagai berikut ini:

فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ
jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”

2 Menurut Imam Nawawi
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5 hal. 258 menegaskan;

يُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْتَغْفِرُلَهُ. نَـصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ قَالوُا: يُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا اْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . (المجموع جز 5 ص 258)

Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini


وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ السَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأٰنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ. (المجموع جز 5 ص 258
Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”

3 Menurut Imam Ibnu Qudamah
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.

قَالَ: وَلاَ بَأْسَ بِالْقِراَءَةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ: اِذاَ دَخَلْتمُ الْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِىِّ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .
Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

4 Menurut golongan dari madzhab Syafi’i dalam kitab al-Adzkar al-Nawawi hal 150. dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini

وَذَهَبَ اَحْمَدُ ْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلَ الْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ: اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ
Imam Ahmad bin Hambal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat yang terpilih: “Hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan do’a:
اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ
Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan (mayit)

4 Menurut Fuqaha’ (Ulama’ ahli Fiqih) Ahlussunnah wal Jama’ah
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah Saw. dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ: اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .
Dari Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allahu Akhad, dan Al-Hakumuttakatsur, kemudian berdo’a “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah Swt”


Pendapat yang tidak memperbolehkan
at masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar al-Nawawi, hal 150.

وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابِ قِراَءَةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى وَجَمَاعَةٍ اَنَّهُ لاَيَصِلُ ,وَالله ُاَعْلَمُ.
Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, dan Allah lah yang lebih mengetahui

Menurut Imam Malik
Menurut pendapat sebagian ulama’ pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ al-Fatawa, Juz 24 hal. 314-315, yang berbunyi

وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَاءَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ: اَحَدُهُمَا: يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ: لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى.
Adapun puasa, shalat sunnah, dan membaca al-Qur’an untuk mayit ada dua pendapat salah satunya; Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain, dan yang kedua; tidak sampai kepada mayit, ini menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i.

( Rangkaian Acara Selametan atau Haul)

Dalam acara selamatan atau haul biasanya dirangkai dengan beberapa rangkaian acara sebagai berikut:

Khotmul Qur’an, yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30). Menurut Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5 hal. 258 menegaskan bahwa disunnahkan untuk membacakan al-Qur’an untuk si mayit;

يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ. نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا: يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع: جز 5 ص 258.
Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”. Pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan: “Sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”

Tahlilan, Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut:

إِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ اللهُ بِذٰلِكَ.
Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu”. (Fatawa, 24/323)

Do’a yang dihadiahkan kepada si mayit, Syeh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama’ telah sepakat mengenai sampainya do’a dan istighfar (memohonkan ampunan) untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini:

اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ: (وَالَّذِيْنَ جَاءُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاًّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِْلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ الرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ.
Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan Ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 10 (Dan orang-orang yang datang setelah mereka muhajirin dan anshar berdo’a: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang). Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasulullah Saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdo’a. Dan juga do’a Rasulullah Saw. Ya Allah, ampunilah orang-orang yang hidup dan yang meninggal kami (umat Nabi). Ulama’ salaf dan khalaf selalu mendo’akan orang-orang meninggal dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya”

Pengajian Umum, yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani. Hal ini sesuai dengan keterangan di bawah ini:

وَقَدْ يُذْكَرُ فِيْهِ مَنَاقِبُ الْمُتَوَفَّى وَذٰلِكَ مُسْـتَحْسَنٌ لِلْحَثِّ عَلىَ سُلُوْكِ طَرِيْقَتِهِ الْمَحْمُوْدَةِ كَمَا فِى الْجُزْءِ الثاَّنِىْ مِنَ اْلفَتَوَى اْلكُبْرَى
Terkadang dituturkan juga manaqib (biografi) orang yang telah meninggal, cara ini baik untuk mendorong orang lain agar mengikuti jalan (perilaku) terpuji yang telah dilakukan si mayit, sebagaimana telah diterangkan dalam kitab (Fatawa al-kubra juz II.)

Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah tetangga (adat jawa: ater-ater atau weh-weh/saling memberi). Hal ini berdasarkan pada perintah Nabi dalam kitab Durratu al-Nasihin yang berbunyi

وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة ُوَالسَّلاَم ُ: (تَصَدَّقوُاْ عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاٰيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ).
Rasulullah Saw. bersabda: “bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdo’alah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah Swt. telah berjanji akan mengabulkan”. (Durratu al-Nasihin, hal. 95)

Imam Nawawi berpendapat bahwa
اَلصَّـدَقَةُ: وَقَدْ حَكىَ اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ: اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ: اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ.
Sedekah (shadaqah) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan Ulama’, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi Hurairah ra.: Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw.: Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab: Ya, bisa. (Kitab Peringatan Haul hal. 23-26)

(WAKAF DAN MASJID)

Hukum Menjual Barang Wakaf
Sebelum membahas tentang hukum menjual barang wakaf, perlu kita ketahui pengertian wakaf terlebih dahulu, pengertian wakaf adalah sebagai berikut:

اَلْوَقَفُ لُغَةً اَلْحَبْسُ وَشَرْعًا حَبْسُ مَالِ عَيْنٍ قَابِلٍ لِلنَّقْلِ يُمْكِنُ الْاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَقَرُّباً اِلَى اللهِ.
Wakaf secara bahasa mempunyai arti menahan. Sedangkan menurut istilah adalah menahan bentuk harta yang dapat dipindah, diambil manfaatnya serta tetap bentuk barangnya yang dikerjakan karena Allah Swt.

Barang waqaf haruslah dimanfaatkan sesuai dengan keinginan waqif (orang yang mewaqafkan), namun terkadang terjadi kebingungan dalam mengelola barang waqafan yang sudah rusak atau kurang memberikan manfaat.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum barang wakaf, apakah barang wakaf boleh dijual karena sebab-sebab tertentu dan kemudian hasil penjualan itu dibelanjakan dengan barang lain?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i: Barang wakaf tidak boleh dijual.

Menurut Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Hanifah: Boleh menjual barang wakaf dan kemudian membelanjakan hasil dari penjualannya dengan barang yang semisal atau barang lain yang lebih bermanfaat.

Menurut Imam Muhammad: Barang wakaf tersebut dikembalikan kepada pemiliknya yang pertama

Diterangkan dalam kitab Rahmat al-Ummah fi Ikhtilaaf al-Ummah, hal 186 dan dalam kitab Jawahir al-‘Uqud juz 1 hal.254.

فَصْلٌ: وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّهُ إِذَا خَرِبَ الْوَقْفُ لَمْ يَعُدْ إِلَى مِلْكِ الْوَاقِفِ. ثُمَّ اخْتَلَفُوْا فِيْ جَوَازِ بَيْعِهِ، وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ، وَإِنْ كاَنَ مَسْجِدًا. فَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ: يَبْقَى عَلَى حاَلِهِ فَلاَ يُباَعُ. وَقاَلَ أَحْمَدُ: يَجُوْزُ بَيْعُهُ وَصَرْفُ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ. وَكَذلِكَ فِيْ الْمَسْجِدِ إِذَا كاَنَ لاَ يُرْجَى عَوْدُهُ. وَلَيْسَ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ نَصٌّ فِيْهَا وَاخْتَلَفَ صاَحِبَاهُ فَقَالَ أَبُوْ يُوْسُفَ: لاَ يُباَعُ. وَقَالَ مُحَمَّدُ: يَعُوْدُ إِلَى ماَلِكِهِ اْلاَوَّلِ. (جواهر العقود ج 1 ص 254)

Diterangkan dalam kitab Ahkamul Fuqaha’, juz 2 hal 74;
هَلْ يَجُوْزُ لِنَاظِرِ اْلأَرْضِ الْمَوْقُوْفَةِ عَلَى الْمَسْجِدِ أَنِ يَسْتَبْدِلَ لَهَا بِأُخْرَى الَّتِى هِيَ أَكْثَرُ مَنْفَعَةٍ مِنَ اْلأُوْلَى أَوْلاَ؟ الجواب: يَحْرُمُ إِسْتِبْدَالُ اْلأَرْضِ الْمَوْقُوْفَةِ وَيَجُوْزُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ إِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ نَفْعًا إهــ (احكام الفقهاء ج 2 ص 74)
Bolehkah bagi pengelola tanah waqafan untuk masjid, menukar tanah tersebut dengan tanah lain yang lebih banyak manfa’atnya? Jawab “Haram menukar barang atau tanah waqaf. Dan menurut madzhab hanafiyah boleh menjualnya jika lebih banyak manfa’atnya”

(Uang Kotak Amal)
Apakah uang hasil dari kotak amal jariyah di masjid-masjid itu termasuk barang wakaf?
Uang dari hasil kotak amal bukan termasuk barang wakaf, karena uang tersebut tidak termasuk dalam kategori barang yang boleh diwakafkan, yakni tidak Baqa’ul ‘Ain (habis setelah dibelanjakan), juga tanpa adanya sighat wakaf. Sebagaimana keterangan sebagai berikut ini


وَالْوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ وَفِى بَعْضِ النُّسَخِ اَلْوَقْفُ جَائِزٌ وَلَهُ ثَلَاثَةُ شُرُوْطٍ اَحَدُهَا اَنْ يَكُوْنَ الْمَوْقُوْفُ مِمَّا يُنْتَفَعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ (فتح القريب هامش الباجورى ج 2 ص 42 )

وَاِنْ مَلَكَ لِاَجْلِ الْاِحْتِيَاجِ اَوِ الثَّوَابِ مِنْ غَيْرِ الصِّيْغَةِ كَانَ صَدَقَةً فَقَطْ (اعانة الطالبين ج 3 ص 144)

وَالْمُرَادُ بِالْمَالِ الْمُعَيِّنَةِ بِشَرْطِهَا الاَّتِىْ غَيْرُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ لِاَنَّهَا تَنْعَدِمُ بِصَرْفِهَا فَلَايَبْقَى لَهَا عَيْنٌ مَوْجُوْدَةٌ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 157 )

Kewenangan Takmir

Takmir adalah orang yang mengabdikan dirinya untuk merawat masjid dan melayani kebutuhan orang yang ada kaitannya dengan fasilitas masjid demi kenyamanan para jama’ah dalam melaksanakan ibadah, sehingga dibutuhkan tenaga takmir secara rutin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam masjid, maka dari itu sudah layak kalau takmir masjid mendapatkan bisyarah dari kinerjanya tersebut. Bagaimana hukum takmir masjid yang mengeluarkan uang masjid untuk kepentingan bisyarah ta’mir atau nadhir?
Jawaban permasalahan ini ditafsil sebagai berikut:

1 Tidak boleh, jika tidak mendapat izin dari hakim atau masyarakat.

وَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلنَّاظِرِ أَنْ يَسْتَقِلَّ بِأَخْذِ ما شُرِطَ لَهُ

( الفتوى الكبرى الفقهية ج 3 ص 278 )

2 Boleh, jika jumlahnya di bawah upah minimum/shadaqah.
وَاَفْتىَ ابْنُ الصَّباَغِ بِاَنَّهُ اَلْاِسْتِقْلَالُ بِذَالِكَ مِنْ غَيْرِ الْحَاكِمِ ( قَوْلُهُ اَلْاِسْتِقْلَالُ بِذَالِكَ ) اَىْ بِأَخْذِ الْاَقَلِّ مِنْ نَفَقَةٍ وَاُجْرَةِ مِثْلِهِ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 186)

Uang Masjid Untuk Bisyarah Khatib Shalat Jum’at

Bagaimana hukum membelanjakan uang dari kotak amal jariyah masjid untuk kebutuhan finansial, (misal, untuk bisyaroh khatib)

Boleh mengalokasikan sebagian hasil kotak amal jariyah masjid untuk orang yang berkhotbah (khatib) yang bersangkutan, karena hal ini termasuk membelanjakan untuk kepentingan masjid, seperti membeli lampu, membayar biaya listrik, pengeras suara, dan lain sebagainya

(مَسْأَلَةٌ : ي) : لَيْسَ لِلنَّاظِرِ الْعَامِ وَهُوَ الْقَاضِيُّ أَوِ اْلوَالِيُّ النَّظِرِ فِيْ أَمْرِ الْأَوْقَافِ وَأَمْوَالِ الْمَسَاجِدِ مَعَ وُجُوْدِ النَّاظِرِ الْخَاصِّ الْمُتَأَهِّلِ ، فَحِيْنَئِذٍ فَمَا يَجْمَعُهُ النَّاسُ وَيُبْذِلُوْنَهُ لِعِماَرَتِهَا بِنَحْوِ نَذَرٍ أَوْ هِبَةٍ وَصَدَقَةٍ مَقْبُوْضِيْنَ بِيَدِ النَّاظِرِ أَوْ وَكِيْلِهِ كَالسَّاعِي فِي الْعِمَارَةِ بِإِذْنِ النَّاظِرِ يَمْلِكُهُ الْمَسْجِدُ ، وَيُتَوَلَّى النَّاظِرُ اَلْعِمَارَةَ بِالْهَدْمِ وَالْبِنَاءِ وَشِرَاءِ اْلآلَةِ وَاْلاِسْتِئْجَارِ ، (بغية المسترشدين ص 65 )

Menghiasi Masjid
Seringkali kita menemukan hiasan-hiasan di dinding masjid seperti hiasan yang berbentuk kaligrafi yang sengaja dibuat atau ditempel untuk menghias dan menambah keindahan masjid, akan tetapi sangat disayangkan terkadang dalam kondisi shalat mata kita tanpa sengaja terpesona melihat hiasan tersebut sehingga membuat konsentrasi pikiran dan kekhusyukan hati menjadi terganggu. Dari fenomena tersebut, bagaimanakah hukum menghiasi masjid?

3 Makruh, apabila hiasan tersebut dapat mengganggu kekhusyukan orang yang shalat.

Boleh, apabila hiasan tersebut tidak mengganggu kekhusyukan orang yang shalat. Keterangan kitab al-Majmu’ juz 3 hal. 180:

وَيُكْرَهُ زُخْرِقَةُ الْمَسْجِدِ وَنَقْشُهُ وَتَزِيْنُهُ لِلْاَحاَدِيْثِ الْمَشْهُوْرَةِ وَلِأَنَّهُ لاَتَشْتَغِلُ قَلْبَ الْمُصَلِّى اَلنَّاسُ اهـ ( المجموع شرح المهذب جز 3 ص 180 )
Menghiasi masjid hukumnya makruh, karena bisa mengganggu ketenangan orang shalat. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz III, hal. 180)

Hukum boleh dalam masalah ini, diambil dari mafhum mukhalafah dalil di atas yaitu: apabila hiasan untuk masjid tidak mengganggu orang yang shalat maka hukum menghiasi masjid adalah boleh.

(Hukum Makan di Dalam Masjid)

Di kalangan warga nahdliyin berkembang beberapa budaya yang sering dilakukan, seperti halnya selamatan, tasyakuran dalam rangka memperingati maulid nabi Muhammad Saw. (mauludan) dan acara-acara yang lain. Dalam hal ini masjid sering dipilih sebagai tempat untuk melaksanakan acara tersebut, sehingga setelah acara selesai, para jama’ah menyajikan makanan dan minuman lalu mereka menyantapnya di dalam masjid. Bagaimanakah hukum makan dan minum di dalam masjid?

1 Tidak boleh, apabila berkeyakinan atau mempunyai perkiraan akan mengotori masjid.

2 Boleh, dengan syarat tidak sampai mengotori masjid

واَلتَّضَيُّفُ فِى الْمَسْجِدِ الْباَدِيَةِ يَكُوْنُ بِاِطْعاَمِ الطَّعَامِ النَّاشِفِ كَالتَّمْرِ لاَ اِنْ كَانَ مُقَذِّرًا كَالطَّبْحِ وَالبِطِّيْحِ وَاِلاَّ حَرُمَ اِلاَّ بِنَحْوِ سُفْرَةٍ تُجْعَلُ تَحْتَ اْلاِنَاءِ بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ عَدَمُ التَّقْذِيْرِ فَالظَّاهِرُ اَنَّهُ يَقُوْمُ مَقَامَ النَّاشِفِ (فتاوى العلامة الشيخ حسين ابراهيم المقري فى فصل أحكام المساجد )
Penjamuan dalam masjid di pedesaan dengan menyuguhkan makanan kering seperti kurma hukumnya boleh, dan diharamkan jika bisa mengotori masjid seperti makanan basah semisal semangka, kecuali jika menggunakan alas (bejana) yang sekiranya kuat dugaan tidak akan mengotori masjid. Dalam hal ini sama dengan makanan yang kering (hukumnya boleh). (Fatawi al-Allamah al-Syaikh Husain Ibrahim al-Muqarri dalam Fasal Ahkami al-Masajidi)

(Pengertian Zakat)

Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan pada yang berhak menerima zakat. Dalam literatur fiqih pada bab zakat para ulama’ madzhab sepakat bahwa golongan orang-orang yang berhak menerima zakat ada delapan, antara lain:

Fakir, yaitu orang yang selalu tidak mampu memenuhi kebutuhan makan dalam sehari.

Miskin, yaitu orang yang kurang bisa memenuhi kebutuhan, tetapi masih bisa mengusahakan.

Amil, yaitu orang yang diberi tugas untuk mengelola zakat.

Mu’alaf, yaitu orang yang baru masuk Islam.

Budak, yang melakukan penebusan dirinya untuk merdeka.

Ghorim, yaitu orang yang terbebani banyak hutang melebihi jumlah hartanya.

Sabilillah, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, meskipun kaya.

Ibnu Sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal selama dalam perjalanan dengan tujuan baik.
(Hal ini diterangkan dalam kitab Tanwir al-Qulub halaman 226)

Tujuan Zakat
Zakat disamping sebagai rukun Islam yang ke tiga juga merupakan ibadah malliyah (yang berhubungan dengan harta). Serta dapat dijadikan sebagai jalan seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada sang khalik. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqih Wadlhih;

اَلزَّكاَةُ عِباَدَةٌ مَالِيَةٌ يَتَقَرُّبُهَا اْلعَبْدُ اِلىَ خاَلِقِهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا اَدَاهَا كاَمِلَةً عَلَى وَجْهِهَا الصَّحِيْحُ رَاضِيَةً بِهَا نَفْسُهَا مُبْتَغِيًّا بِهَا وَجْهَ رَبِّهِ تَعَالَى غَيْرَ مُرَاءٍ بِهَا النَّاسَ كاَنَ سَبَباً فِى نَجَاتِهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ وَدُخُوْلِهِ الْجَنَّةَ كَماَ صَرَحَتْ بِهَا اْلاَيَاتُ اْلقُرْاَنِيَّةُ وَاْلاَحاَدِيْثُ النَّبَوِيَّةُ. ( الفقه الواضح من الكتاب والسنة, ج 1 ص 464)
Zakat merupakan ibadah malliyah yang dapat dijadikan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada sang khalik azza wajalla. Jika seorang hamba menunaikannya dengan sempurna, sesuai dengan aturan yang benar, ikhlas dan hanya mencari ridla Allah Swt., tidak ada maksud ingin dipuji orang, maka akan menjadi sebab terbebasnya dari adzab api neraka, dan masuk ke dalam surga, sebagaimana telah ditegaskan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi
(al-Fiqih al-Wadlhih Min al-Kitab Waa al-Sunnah , juz I, hal.464)

Dan juga dijelaskan dalam hadits Sahih Bukhari

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِيْنمَاَ بَعَثَهُ إِلَى اْليَمَنِ : فَاعْلَمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. (صحيح البخاري رقم 1308)
Diriwayatkan dari Ibnu Abas bahwa Nabi bersabda kepada Mua’adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman (Wahai Mu’adz) beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka. (Sahih Bukhari,[1308])

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa zakat adalah sebagai sarana untuk membangun hubungan rohani dengan Allah Swt. (hablun min Allah) dan juga terdapat aspek sosial (hablun min an-nas) yang terletak pada semangat kepedulian sosial yang menjadi misi utama ibadah ini, yakni zakat diwajibkan kepada orang-orang yang memiliki harta lebih dan diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan.

(Pembagian Zakat)
Zakat ada dua macam
Zakat mal (zakat harta)
 Zakat fitra

Jenis barang yang wajib dikeluarkan zakatnya ada 5 macam:

Hewan ternak, seperti kambing, sapi, unta
Emas dan perak

Hasil pertanian, seperti padi, kedelai, kacang dan lain lain

Hasil pertanian, Seperti jenis buah-buahan

Harta yang diperdagangkan.

Zakat Fitrah

Syarat wajib zakat fitrah:

Islam.
Merdeka.
Memiliki kelebihan biaya untuk dirinya beserta keluarganya dan dari biaya pembayaran hutang, diwaktu hari raya.
Diterangkan dalam kitab Nihayah al-Zain halaman 173.

( وَتَجِبُ الْفِطْرَةُ عَلَى حُرٍّ بِغُرُوْبِ لَيْلَةِ فِطْرٍ عَمَّنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَلَوْ رَجْعِيَّةً إِنْ فَضَلَ عَنْ قُوْتِ مَمُوْنٍ ) لَهُ ( يَوْمَ عِيْدٍ وَلَيْلَتِهِ وَعَنْ دَيْنٍ ) كَمَا اعْتَمَدَهُ اِبْنُ حَجَرٍ تَبَعًا لِلْمَاوَرْدِيِّ كَقَوْلِ إِمَامِ الْحَرَمَيْنِ دَيْنُ اْلآدَمِيْ يَمْنَعُ وُجُوْبَ الْفِطْرَةِ بِالْاِتِّفَاقِ ( وَمَا يُخْرِجُهُ فِيْهَا ) أَيْ اَلْفِطْرَةِ . نهاية الزين ص 173
Adapun barang yang digunakan untuk berzakat adalah berupa makanan pokok di daerah masing-masing, misalnya beras, gandum, sagu dan lain sebagainya. Ukuran barang yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah 1 sha’ (4 mud) atau 2,5 kg atau lebih.

(وَهِيَ) اَىْ زَكاَةُ الْفِطْرِ (صَاعً) وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ وَالْمُدُّ رِطْلٌ وَثُلُثٌ فَلاَ تُجْزِئُ مِنْ غَيْرِ غاَلِبِ قُوَّتِهِ أَوْ قُوَّتٍ مُؤَدٍّ أَوْ بَلَدِهِ لِتَشَوُّفِ النُّفُوْسِ لِذَلِكَ (فتح المعين : 50)

تُجِبُ زَكاَةُ اْلفِطْرِ بِغُرُوْبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ اْلعِيْدِ عَلَى مَنْ مَلَكَ صَاعًا - وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ وَالْمُدُّ رِطْلٌ وَثُلُثٌ ( التذكرة الباب فصل زكاة الفطر الجوء 1 ص 73 )

(Pengertian Sabilillah dalam Zakat)

Termasuk al-Ashnaf al-Tsamaniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat) yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah golongan Fii sabilillah. Apakah yang dimaksud Fii sabilillah dalam ayat itu?

Mengenahi permasalahan ini ada beberapa pandangan;
Mereka yang berperang membela agama Allah.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Jalalain hal. 420
(وَفِىْ سَبِيْلِ اللهِ) أَيْ اَلْقَائِمِيْنَ باِلْجِهَادِ مِمَّنْ لاَ فَيْءَ لَهُمْ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ
(تفسير الجلالين, سورة التوبة اية 60 ص 162 )
Fisabilillah artinya adalah orang-orang yang melaksanakan jihad/berperang (peperangan membela agama Allah. Yakni orang-orang yang tidak mendapatkan harta fai’ (harta yang diperoleh dari rampasan perang) meskipun tergolong kaya-raya. (Tafsir al-Jalalain hal.162)

Menurut ulama’ ahli fiqih yang dikutip oleh Imam Qoffal, yang dimaksud sabilillah adalah mencakup kepada semua bentuk kebaikan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Munir juz I, hal.344

وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجاَزُوْا صَرْفَ الصَّدَقاَتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ : مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتىَ وَبِناَءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلُهُ تَعاَلَى فِىْ سَبِيْلِ اللهِ عاَمٌ فِى اْلكُلِّ. (تفسير المنير : ج 1 ص 344)
Menurut sebagian ulama’ ahli Fiqih yang dikutip oleh al-Qoffal bahwa sesungguhnya mereka itu memperbolehkan pentasarufan zakat untuk semua bentuk kebaikan, seperti untuk mengkafani mayit, membangun benteng dan memperbaiki masjid, karena firman Allah Swt. Fii sabilillah itu umum bisa mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir, juz I, hal.344)

,

-