Menjelang terselenggaranya Pemilihan Umum tanggal 4 April 2014, sering kita mendengar fenomena golput. Barangkali banyak dari kita yang ingin memahami lebih jauh tentang fenomena unik ini. Bagaimana sejarahnya danGolongan putih atau yang disingkat golput adalah gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik,
jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai
politik. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman.
Sepanjang Orde Baru,ia dianggap pembangkang dan sulit mendapatkan
pekerjaan walau ia doktor lulusan Harvard dan dosen di Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW)
kenapa muncul istilah yang saat ini menjadi pergunjingan banyak orang.
Salatiga serta Universitas Melbourne. Namun,
pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo.
Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos
bagian putih di kertas atau surat suara. Di luar gambar parpol peserta
Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu, jarang ada yang
berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Maklum,baru saja Orba selesai melakukan konsolidasi dg melibas habis bukan saja pendukung PKI tapi rezim Orde Lama & Soekarnois. Pemilu 1971 adalah sarana bagi rezim Orde Baru untuk memantapkan kekuasaannya.
Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral
yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan
sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru
dilaksanakan. Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput
berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan
politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan
perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun. Menurut
kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak
menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI.
Kebanyakan tokoh pencetus Golput adalah “Angkatan ‘66”, walaupun
sebagian tokoh “Angkatan ‘66” diakomodasi Orba dalam sistem. Mereka ada
yg menjadi anggota DPR-GR,bahkan Menteri. Namun,yg tetap kritis melawan
rezim baru yg dianggap mengingkari janji itu. Pencetusan gerakan itu
disambung dengan penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan
turut dalam pemilu. Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih,
kampanye tersebut langsung mendapat respon dari aparat penguasa.
Pangkopkamtibda Djakarta menyatakan Golput sebagai organisasi
terlarang dan pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan. Sejumlah
diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang oleh Komando Keamanan
Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya. Kokamsung sempat pula memanggil
para eksponen Golput, yaitu Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo,
Husin Umar, dan Asmara Nababan. Larangan serupa juga dilakukan di Jawa
Tengah. Bahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik
menyebut golput sebagai golongan setan. Menyambut minggu tenang, Golput
sebagai gerakan moral membuat memorandum berisi seruan agar masyarakat
menggunakan haknya dengan keyakinan. Siapa pun dipersilakan memilih atau
tidak memilih. Memorandum berbunyi, "kalau ada jang merasa lebih baik
tidak memilih daripada memilih,bertindaklah atas dasar kejakinan itu
pula".
Sejak Pemilu 1955
angka Golput cenderung terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak
datang dan suara tidak sah,golput pada pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada
pemilu 1971, ketika Golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru
mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 Golput sebesar 8,40%, 9,61%
(1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999),
23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres
2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424
pemilih. Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya
jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat 29%. Sedangkan menurut
perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009
sebesar 40%. Angka-angka golput ini cukup tinggi.
Klausul yang dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia
yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No 12/2005
tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam
UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang
berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun
atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Dalam klausul
tersebut kata yang tercantum adalah "hak" bukan
"kewajiban".Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen pada
1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas". Artinya bebas
digunakan atau tidak.
Wallahu 'alam segala kebaikan milik Allah,
Namun seiring dengan perkemabangan jaman, persoalan poloitik yang dihadapi bangsa Indonesia juga bergeser, dari penindasan Penguasa berubah menuju kepada skeptisme politik atau ketidak percayaan masyarakat kepada politisi, karena kemerosotan moral akibat maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.
-
-
Ditjen Pendidikan Dasar melalui surat nomor 2122/C.C3/DS/2011 tanggal 29 Juli 2011 membatasi usia syarat masuk peserta didik program Paket...
-
Mengenal Kamera Digital : Memahami Dasar Fotografi Sebelum Anda memutuskan memilih suatu kamera digital, sangat penting untuk mengeta...
-
Teks takbiran hari raya Teks takbiran hari raya Ikutan postin " Teks takbiran hari raya " nih ,,, mumpung masih anget...
-
kang-padjar.com : ponorogo Bulan ini adalah bulan rajab, dimana dibulan suci terjadi peristiwa spektakuler bagi peradaban manusia. Bahk...
-
(Zakat Fitrah untuk Guru Ngaji dan Kyai) Tradisi di kampung biasanya zakat masyarakat sekitar diberikan kepada kyai dan guru ngaji. Baga...