Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu
pasang iklan

Jejak ajar seh Abdul Qadir Jaelani



CINTA DUNIA
                Persepsi saya tentang dunia ini adalah dilema yang luar biasa bagi perjalanan hidup manusia. Ketika mbah Kyai di kampung saya menyebut sangkan paraning dumadi , tentang asbabun nusul kehidupan ini, sungguh menjadi perkara yang tidak sederhana dipahami. Saya tidak menafikan   kelalaian saya  akan kerangka berfikir yang menyeluruh, namun cara berfikir yang pragmatis sering menggoda saya untuk menjalani hidup ini  sebagaimana orang-orang lain menjalaninya
.
                Sering istilah Zuhud , diartikan sebagai tindakan menyulitkan diri sendiri. Namun kedalaman dari ajaran itu mengandung nilai toleransi dan kepedulian yang luar biasa bagi kemanusiaan. Sementara dalam kerangka fikir yang fragmatis, barangkali anda akan berkata : “ untuk apa hidup ini kalau tidak kita gunakan untuk bersenang-senang ...?”,  Ada sementara orang yang berpendapat bahwa yang dinamakan zuhud itu ialah dengan menyiksa diri sendiri, makan dan minum harus dikurangi sesangat-sangatnya, demikian pula tidur dan istirahatnya, pakaian cukup yang jelek-jelek, rambut biarkan kusut-masai tanpa disisir, mandi pun harus jarang-jarang, berjalan harus selalu menundukkan muka, tidak perlu bekerja keras-keras dan cukuplah dengan menerima belas kasihan orang lain, bertasbih sepanjang hari sampai malam dan lain-lain kelakuan yang bukan-bukan.
 Persepsi demikian itu wajar mengalir dalam pikiran orang awam. Meskipun belakangan saya tahu itu sangat tidak tepat, dijadikan barometer bagi orang yang telah mampu melepaskan diri dari  hawa nafsunya. Orang yang cerdas tentu mengharapkan perolehan yang lebih baik,  dan mereka  sadar  bahwa harapan akan perolehan dan pengorbanan selalu berjalan linier seiring sejalan. Tidak akan kita memperoleh perolehan besar tanpa pengorbanan yang sebanding.
Logika itu terasa lebih adil. Bagi orang zuhud yang menyadari bahwa kesenangan abadi di alam akhirat, harus ditebus dengan  bekerja keras di dunia ini sebagai pengorbananya. Allah swt menghendaki satu hal saja dari manusia yaitu ketundukan yang akan ditukar dengan balasan kenikmatan serta kesenangan luar biasa di akhirat kelak yaitu surga. Oleh karenanya manusia harus menyerahkan diri  dan tunduk sepenuhnya kepada Allah didunia ini, bila ingin balasan di surga kelak.
Ini menjadi sedikit naif bagi orang awam, yang mengira Ibadah itu sekedar transaksi untung rugi. Bisa dimaklumi, Allahpun menggunakan bahasa demikian untuk memudahkan pemahaman sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an : ” Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” ( QS,2:16). Ayat ini menggambarkan orang yang rugi karena telah menukar ( menjual ) hidayah dengan keuntungan yang sedikit, padahal kalau mereka mau menuruti petunjuk itu, mereka akan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.
Ketundukan atau taqwa secara sederhana digambarkan sebagai orang yang senantiasa patuh memenuhi perintah dan larangan Allah sesuai petunjuk Kitab suci Al-Qu’an. Ini artinya harus rela mengalahkan keinginan, pendapat dan nafsu pribadinya, untuk ditukar dengan dengan kehendak Allah swt. Sampai disini persoalan ini menjadi tidak mudah, dan memerlukan perjuangan keras untuk melakukanya. Sampai-sampai Rasulullah menggambarkan kesungguhan orang  yang ingin tunduk itu memerlukan perjuangan yang keras dan tangguh. Jihad yang paling besar bukanlah perang badar melainkan perang melawan hawa nafsu atau egonya masing-masing.
Faktanya memang tidak mudah, karena sebagian besar manusia lebih mementingkan pendapatnya sendiri daripada petunjuk Allah. Kalau tidak, tentu di sekitar kita lebih banyak orang baik, jujur, profesional dan peduli ketimbang orang yang serakah, hidup bermegah-megah dan kelakuan-kelakuan lain yang meresahkan. Kenyataanya memang diperlukan kegigihan, ketangguhan dan usaha yang tabah untuk menahan diri dari godaan duniawi.
Sehk Abdul Qadir Al Jiylani menasehatkan,  bahwa melakukan hidup sederhana atau zuhud lebih mudah untuk menundukkan diri daripada bergelimang harta. Meskipun ini bersifat relatif, namun bagi kebanyakan orang tentu menghindari dari godaan lebih menyelamatkan daripada melawan godaan. Tentu tidak masalah bagi orang yang telah memiliki benteng diri yang kuat, mereka tentu memiliki daya lawan yang lebih tangguh sehingga tidak tergelincir. Namun, bagi kebanyakan manusia sikap menghindar  dianggap lebih bijaksana.
Beberapa alasan yang bisa digambarkan adalah :
1.       Harta dapat menjadi daya dorong bagi manusia untuk melakukan maksiat. Sesungguhnya secara kodrati manusia tentu ingin kesenangan-kesenangan dan kesenangan itu kebanyakan dibaluti maksiat. Orang yang memiliki harta akan lebih mudah mendapatkan sarana untuk maksiat, namun apadaya bagi orang yang tidak berharta.  Menahan keinginan ketika mampu memperolehnya, tentu lebih sulit daripada kita menahan keinginan ketika kita tidak memiliki daya untuk memperolehnya. Namun sebenarnya ini sangat tergantung pada daya tahan masing-masing  , maka orang yang zuhud adalah orang yang mampu menahan keinginanya untuk bersenang-senang dengan maksiat, meskipun ia mampu untuk memperolehnya. Maka tidaklah dikatakan zuhud orang yang tidak melakukan kesenangan hanya karena hidup miskin.
Rasulullah bersabda Barangsiapa zuhud di dunia maka ringan baginya segala musibah.”(HR. Asysyihaab). Zuhud atau hidup sederhana adalah hidup selektif dalam memilih , mereka hanya memilih yang bermanfaat bagi kehidupan diakhirat, maka hidupnya akan terasa ringan dan menyenangkan. Sedangkan warra’ adalah sikap selektif menjauhkan diri yang tidak bermanfaat dari akhirat. Sabda nabi : “Seorang sahabat datang kepada Nabi Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah dan manusia." Rasulullah Saw menjawab, "Hiduplah di dunia dengan berzuhud (bersahaja) maka kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia." (HR. Ibnu Majah).
2.       Banyak harta menarik diri  cenderung kepada sikap bermegah-megah. Jadi,  mana bisa ketika kaya, kita makan seadanya, berpakaian ala kadarnya dan tidak mengharap dimuliakan lebih dari orang lain. Padahal Allah telah memperingatkan : Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur ( QS, 102:1).
Melalaikan petunjuk Allah itu bertentangan dengan   tunduk kepada Allah. Ini sikap yang kontradiktif terhadap tujuan fitrah manusia yang ingin mendapatkan Ridla Allah. Secara kodrati manusia memang senang lalai,  dan setiap hal yang mengganggu dari mengingat Allah adalah kerugian bagi perjalanan manusia. Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda : “Ibnu Adam akan menjadi tua renta, namun ada dua yang senantiasa bersamanya : serakah dan panjang angan-angan “ HR . Mushlim.
Seh Abdul Qadir Al Jiylani menasehatkan bahwa ada 3 macam  bahaya harta :
a.       Harta  yang diperoleh dari sumber yang tidak halal akan merusak masa depan kita diakhirat. Sebagaimana sabda nabi : “ Janganlah kamu mengagumi orang yang terbentang kedua lengannya menumpahkan darah. Di sisi Allah dia adalah pembunuh yang tidak mati. Jangan pula kamu mengagumi orang yang memperoleh harta dari yang haram. Sesungguhnya bila dia menafkahkannya atau bersedekah maka tidak akan diterima oleh Allah dan bila disimpan hartanya tidak akan berkah. Bila tersisa pun hartanya akan menjadi bekalnya di neraka.” (HR. Abu Dawud)
b.       Harta halalpun akan membahayakan jika salah membelanjakanya, karena harta benda tidak hanya harus dipertanggung  jawabkan perolehanya , melainkan juga penggunaanya. Harta yang banyak akan memperbanyak pula hisabnya di akhirat sehingga memberatkan perjalanan kita kelak.
 Dari Abu Zar r.a., katanya: "Saya berjalan bersama Nabi s.a.w. di suatu tempat yang berbatu hitam di Madinah, lalu berhadap-hadapanlah gunung Uhud dengan kita, kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Hai Abu Zar." Saya berkata: "Labbaik, ya Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Tidak menyenangkan padaku andaikata saya mempunyai emas sebanyak gunung Uhud ini, sampai berlalu tiga hari lamanya, diantaranya ada sedinar saja yang saya simpan untuk memenuhi hutang, kecuali saya akan mengucapkan dengan memberikan harta itu untuk para hamba Allah demikian demikian demikian." Beliau menunjuk ke sebelah kanan, kiri dan belakangnya -maksudnya bahwa kalau beliau s.a.w. mempunyai harta sebanyak Uhud dan berupa emas, apalagi lainnya, tentu akan disedekahkan kepada hamba-hamba Allah semuanya, kecuali sedinar saja yang akan disimpan jikalau ada hutang yang belum ditunaikannya dan harta sebanyak itu akan dihabiskan membelanjakannya dalam tiga hari saja-. Kemudian beliau s.a.w. berjalan, lalu bersabda lagi: "Sesungguhnya orang-orang yang kaya raya dengan harta dunia itulah yang tersedikit pahala akhiratnya pada hari kiamat nanti, melainkan orang yang berkata demikian, demikian dan demikian -yakni membelanjakan hartanya itu untuk kebaikan." Beliau s.a.w. menunjuk ke kanan, kiri dan belakangnya. Sabdanya lagi: "Tetapi sedikit sekali orang yang suka melakukan demikian tadi."  
Seandainya memperoleh harta halal dan dibelanjakan dengan benarpun  keduniawian akan menyibukkan manusia dan menghabiskan tenaga , waktu dan fikiranya untuk mengurus harta. Dan itu semua berarti menyita kecenderungan, fikiran, waktu dan tenaga kita bersama Allah.  Padahal kitalah yang selalu berhajat kepada Allah , ingatlah ketika dihari kita tak lagi ingat anak istri serta kerabat yang lain, yang kita butuhkan hanya Allah. Ingatlah firman Allah   : "Pada hari seorang manusia lari meninggalkan saudaranya, ibu dan ayahnya, juga istri dan anak-anaknya. Setiap seorang pada hari itu mempunyai urusan yang membuat diri sendiri sibuk -dari urusan orang lain-." (Abasa: 34-37)


       
                 

-