CINTA DUNIA
Persepsi saya tentang dunia ini
adalah dilema yang luar biasa bagi perjalanan hidup manusia. Ketika mbah Kyai
di kampung saya menyebut sangkan paraning
dumadi , tentang asbabun nusul kehidupan ini, sungguh menjadi perkara yang
tidak sederhana dipahami. Saya tidak menafikan kelalaian saya
akan kerangka berfikir yang menyeluruh, namun cara berfikir yang
pragmatis sering menggoda saya untuk menjalani hidup ini sebagaimana orang-orang lain menjalaninya
.
Sering istilah Zuhud , diartikan
sebagai tindakan menyulitkan diri sendiri. Namun kedalaman dari ajaran itu
mengandung nilai toleransi dan kepedulian yang luar biasa bagi kemanusiaan.
Sementara dalam kerangka fikir yang fragmatis, barangkali anda akan berkata : “
untuk apa hidup ini kalau tidak kita gunakan untuk bersenang-senang ...?”, Ada sementara orang yang berpendapat bahwa
yang dinamakan zuhud itu ialah dengan menyiksa diri sendiri, makan dan minum
harus dikurangi sesangat-sangatnya, demikian pula tidur dan istirahatnya,
pakaian cukup yang jelek-jelek, rambut biarkan kusut-masai tanpa disisir, mandi
pun harus jarang-jarang, berjalan harus selalu menundukkan muka, tidak perlu
bekerja keras-keras dan cukuplah dengan menerima belas kasihan orang lain,
bertasbih sepanjang hari sampai malam dan lain-lain kelakuan yang bukan-bukan.
Persepsi demikian itu wajar mengalir dalam
pikiran orang awam. Meskipun belakangan saya tahu itu sangat tidak tepat,
dijadikan barometer bagi orang yang telah mampu melepaskan diri dari hawa nafsunya. Orang yang cerdas tentu
mengharapkan perolehan yang lebih baik, dan
mereka sadar bahwa harapan akan perolehan dan pengorbanan
selalu berjalan linier seiring sejalan. Tidak akan kita memperoleh perolehan
besar tanpa pengorbanan yang sebanding.
Logika
itu terasa lebih adil. Bagi orang zuhud yang menyadari bahwa kesenangan abadi di alam akhirat, harus
ditebus dengan bekerja keras di dunia
ini sebagai pengorbananya. Allah swt menghendaki satu hal saja dari manusia
yaitu ketundukan yang akan ditukar dengan balasan kenikmatan serta kesenangan
luar biasa di akhirat kelak yaitu surga. Oleh karenanya manusia harus
menyerahkan diri dan tunduk sepenuhnya
kepada Allah didunia ini, bila ingin balasan di surga kelak.
Ini
menjadi sedikit naif bagi orang awam, yang mengira Ibadah itu sekedar transaksi
untung rugi. Bisa dimaklumi, Allahpun menggunakan bahasa demikian untuk
memudahkan pemahaman sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an : ” Mereka itulah
orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung
perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” ( QS,2:16). Ayat ini menggambarkan orang yang rugi
karena telah menukar ( menjual ) hidayah dengan keuntungan yang sedikit,
padahal kalau mereka mau menuruti petunjuk itu, mereka akan memperoleh
keuntungan yang jauh lebih besar.
Ketundukan atau taqwa secara sederhana digambarkan sebagai
orang yang senantiasa patuh memenuhi perintah dan larangan Allah sesuai
petunjuk Kitab suci Al-Qu’an. Ini artinya harus rela mengalahkan keinginan,
pendapat dan nafsu pribadinya, untuk ditukar dengan dengan kehendak Allah swt.
Sampai disini persoalan ini menjadi tidak mudah, dan memerlukan perjuangan
keras untuk melakukanya. Sampai-sampai Rasulullah menggambarkan kesungguhan
orang yang ingin tunduk itu memerlukan
perjuangan yang keras dan tangguh. Jihad yang paling besar bukanlah perang
badar melainkan perang melawan hawa nafsu atau egonya masing-masing.
Faktanya memang tidak mudah, karena sebagian besar manusia
lebih mementingkan pendapatnya sendiri daripada petunjuk Allah. Kalau tidak,
tentu di sekitar kita lebih banyak orang baik, jujur, profesional dan peduli
ketimbang orang yang serakah, hidup bermegah-megah dan kelakuan-kelakuan lain
yang meresahkan. Kenyataanya memang diperlukan kegigihan, ketangguhan dan usaha
yang tabah untuk menahan diri dari godaan duniawi.
Sehk Abdul Qadir Al Jiylani menasehatkan, bahwa melakukan hidup sederhana atau zuhud
lebih mudah untuk menundukkan diri daripada bergelimang harta. Meskipun ini
bersifat relatif, namun bagi kebanyakan orang tentu menghindari dari godaan
lebih menyelamatkan daripada melawan godaan. Tentu tidak masalah bagi orang
yang telah memiliki benteng diri yang kuat, mereka tentu memiliki daya lawan
yang lebih tangguh sehingga tidak tergelincir. Namun, bagi kebanyakan manusia
sikap menghindar dianggap lebih
bijaksana.
Beberapa alasan yang bisa digambarkan adalah :
1.
Harta dapat
menjadi daya dorong bagi manusia untuk melakukan maksiat. Sesungguhnya secara kodrati
manusia tentu ingin kesenangan-kesenangan dan kesenangan itu kebanyakan
dibaluti maksiat. Orang yang memiliki harta akan lebih mudah mendapatkan sarana
untuk maksiat, namun apadaya bagi orang yang tidak berharta. Menahan keinginan ketika mampu memperolehnya,
tentu lebih sulit daripada kita menahan keinginan ketika kita tidak memiliki
daya untuk memperolehnya. Namun sebenarnya ini sangat tergantung pada daya
tahan masing-masing , maka orang yang
zuhud adalah orang yang mampu menahan keinginanya untuk bersenang-senang dengan
maksiat, meskipun ia mampu untuk memperolehnya. Maka tidaklah dikatakan zuhud
orang yang tidak melakukan kesenangan hanya karena hidup miskin.
Rasulullah bersabda “Barangsiapa zuhud di dunia maka
ringan baginya segala musibah.”(HR. Asysyihaab). Zuhud atau hidup sederhana
adalah hidup selektif dalam memilih , mereka hanya memilih yang bermanfaat bagi
kehidupan diakhirat, maka hidupnya akan terasa ringan dan menyenangkan.
Sedangkan warra’ adalah sikap selektif menjauhkan diri yang tidak bermanfaat
dari akhirat. Sabda nabi : “Seorang
sahabat datang kepada Nabi Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkan
kepadaku suatu amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah dan
manusia." Rasulullah Saw menjawab, "Hiduplah di dunia dengan berzuhud
(bersahaja) maka kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang
ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia." (HR. Ibnu
Majah).
2.
Banyak harta
menarik diri cenderung kepada sikap
bermegah-megah. Jadi, mana bisa ketika
kaya, kita makan seadanya, berpakaian ala kadarnya dan tidak mengharap
dimuliakan lebih dari orang lain. Padahal Allah telah memperingatkan : ” Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu
masuk ke dalam kubur (
QS, 102:1).
Melalaikan petunjuk Allah itu bertentangan dengan tunduk
kepada Allah. Ini sikap yang kontradiktif terhadap tujuan fitrah manusia yang
ingin mendapatkan Ridla Allah. Secara kodrati manusia memang senang lalai, dan setiap hal yang mengganggu dari mengingat
Allah adalah kerugian bagi perjalanan manusia. Dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah bersabda : “Ibnu Adam akan
menjadi tua renta, namun ada dua yang senantiasa bersamanya : serakah dan
panjang angan-angan “ HR . Mushlim.
Seh
Abdul Qadir Al Jiylani menasehatkan bahwa ada 3 macam bahaya harta :
a.
Harta yang diperoleh dari sumber yang tidak halal
akan merusak masa depan kita diakhirat. Sebagaimana sabda nabi : “ Janganlah kamu mengagumi orang
yang terbentang kedua lengannya menumpahkan darah. Di sisi Allah dia adalah pembunuh
yang tidak mati. Jangan pula kamu mengagumi orang yang memperoleh harta dari
yang haram. Sesungguhnya bila dia menafkahkannya atau bersedekah maka tidak
akan diterima oleh Allah dan bila disimpan hartanya tidak akan berkah. Bila
tersisa pun hartanya akan menjadi bekalnya di neraka.”
(HR. Abu Dawud)
b.
Harta halalpun akan membahayakan jika salah
membelanjakanya, karena harta benda tidak hanya harus dipertanggung jawabkan perolehanya , melainkan juga
penggunaanya. Harta yang banyak akan memperbanyak pula hisabnya di akhirat
sehingga memberatkan perjalanan kita kelak.
Dari Abu Zar r.a., katanya: "Saya
berjalan bersama Nabi s.a.w. di suatu tempat yang berbatu hitam di Madinah,
lalu berhadap-hadapanlah gunung Uhud dengan kita, kemudian beliau s.a.w.
bersabda: "Hai Abu Zar."
Saya berkata: "Labbaik, ya
Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Tidak menyenangkan padaku andaikata saya mempunyai emas sebanyak gunung
Uhud ini, sampai berlalu tiga hari lamanya, diantaranya ada sedinar saja yang
saya simpan untuk memenuhi hutang, kecuali saya akan mengucapkan dengan
memberikan harta itu untuk para hamba Allah demikian demikian demikian."
Beliau menunjuk ke sebelah kanan, kiri dan belakangnya -maksudnya bahwa kalau
beliau s.a.w. mempunyai harta sebanyak Uhud dan berupa emas, apalagi lainnya,
tentu akan disedekahkan kepada hamba-hamba Allah semuanya, kecuali sedinar saja
yang akan disimpan jikalau ada hutang yang belum ditunaikannya dan harta
sebanyak itu akan dihabiskan membelanjakannya dalam tiga hari saja-. Kemudian
beliau s.a.w. berjalan, lalu bersabda lagi: "Sesungguhnya orang-orang yang kaya raya dengan harta dunia itulah yang
tersedikit pahala akhiratnya pada hari kiamat nanti, melainkan orang yang
berkata demikian, demikian dan demikian -yakni membelanjakan hartanya itu untuk
kebaikan." Beliau s.a.w. menunjuk ke kanan, kiri dan belakangnya.
Sabdanya lagi: "Tetapi sedikit
sekali orang yang suka melakukan demikian tadi."
Seandainya memperoleh harta halal dan dibelanjakan dengan
benarpun keduniawian akan menyibukkan
manusia dan menghabiskan tenaga , waktu dan fikiranya untuk mengurus harta. Dan
itu semua berarti menyita kecenderungan, fikiran, waktu dan tenaga kita bersama
Allah. Padahal kitalah yang selalu
berhajat kepada Allah , ingatlah ketika dihari kita tak lagi ingat anak istri
serta kerabat yang lain, yang kita butuhkan hanya Allah. Ingatlah firman Allah : "Pada
hari seorang manusia lari meninggalkan saudaranya, ibu dan ayahnya, juga istri
dan anak-anaknya. Setiap seorang pada hari itu mempunyai urusan yang membuat
diri sendiri sibuk -dari urusan orang lain-." (Abasa: 34-37)