ILMU
Beliau adalah Abu Shalih Sayyid Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-Zahid Bin Muhammad bin Daud bin Musa Al-Jauni bin Abdullah Mahdi bin Hasan Al-Mutsni bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 470 H dan meninggal tahun 561 H dan dimakamkan di Bagdad. Beliau adalah Ulama besar yang keilmuanya diakui dunia .
Sebagaimana kita ketahui keilmuan beliau bagaikan lautan yang tak akan kering. Meskipun ada orang yang
melebih-lebihkan beliau - wallahu a’lam
– namun beliau adalah orang yang berpegang teguh dan setia sebagai ilmuwan. Sebenarnya beliau tidak saja ahli dalam
bidang tashawuf namun beliau juga sangat memahami syari’at , akhlak dan aqidah. Beliau berkata dalam
kitab Al-Gunyah lil Thalabi tahriq Al Haq
fi akhlaq wa thashawuf wa Al-‘adab Al –Islamiyah bahwa : “
Semangat adalah seorang hamba yang
melepaskan dirinya dari kecintaan pada dunia, melepaskan jiwanya dari
ketergantungan pada balasan, melepaskan hatinya atas kehendak diri daripada
kehendak Tuhanya, dan tidak berusaha mencari rahasia alam atau sesuatu yang dapat membahayakan rahasia
alam “
Sekilas dapat ditangkap bahwa
keseimbangan berfikir beliau yang konsisten dan membatasi diri dari eksplorasi
berlebihan terhadap rahasia Alam lebih kepada sikap yang bersahaja sikapnya,
meskipun semua orang tahu beliau adalah orang yang selalu haus akan ilmu.
Kecintaanya pada ilmu semata diletakkan dalam kerangka mendekatkan diri pada
hukum-hukum alam, untuk lebih mengenal sifat-sifat Ketuhanan Allah swt. Bukan
untuk menguasai atau menaklukkan alam semesta raya. Allah swt berfirman : “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi
dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” ( QS, 17:37) demikian
pula firmanNya dalam surat Jin : “Hai
jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan
kekuatan.
Saya tidak dapat menduga dengan
alasan apa orang-orang yang mengkultuskan beliau, padahal beliau adalah orang
yang lurus berpegang pada syari’at. Tentu
bukan sekedar beliau adalah keturunan sayyidina Ali bin Abi Thalib, lantas
diperlakukan sebagaimana orang-orang di bagdad ada yang mengikuti faham
Ar-rafidlah, Al-galiyah, at-tayyarah dari kalangan kaum syi’ah, menurut kitab
beliau. Melainkan kesesatan orang yang melebih-lebihkan itu sendiri.
Padahal dengan jelas beliau menasehatkan agar selalu berpegang pada
ilmu syari’at yang lurus. Dikatakan beliau , bahwa manusia akan binasa
disebabkan oleh 4 hal :
1.
Kamu tidak mau beramal terhadap sesuatu yang
telah kamu ketahui.
Peran
ilmu dalam memandu perbuatan seseorang sangat penting. ilmu itu bagaikan cahaya yang akan membimbing
orang yang berjalan dalam kegelapan agar tidak tersesat. Dalam proses berfikir
dan mengambil keputusan, akal kita selalu menimbang dan menganalisa
serta menghitung-hitung dengan cermat berbagai-bagai informasi yang ada. Disatu
sisi hawa nafsu kita selalu membisikkan keinginan yang menghendaki kesenangan,
di sisi yang lain hati nurani kita
selalu membisikkan agar selalu taat pada fitrah ilahiyah, disisi lainya
persepsi kita tentang suatu masyalah turut pula memberikan pertimbangan yang
obyektif. Dalam hal inilah peran ilmu pengetahuan sangat bermanfaat dalam
membentuk persepsi itu.
Sering
pula persepsi itu bagaikan saksi dalam pengadilan. Hakim yang bijaksana akan
mendengarkan dengan seksama pertimbangan saksi-saksi itu, maka diperoleh vonis
yang adil. Namun apabila hakimnya dlalim
dia tidak akan pernah mendengarkan keterangan saksi, meskipun ia tahu saksi
telah berkata dengan benar. Begitu pula jalan fikiran seseorang, orang yang
jiwanya sehat akan memperhatikan dengan seksama kaidah-kaidah ilmu sebagai
pemandu hidupnya, namun bagi orang yang jiwanya mati, ia akan mengabaikan
kaidah-kaidah keilmuan, meskipun ia tahu kebenaran dari ilmu itu.
Subhanallah , sering kita menadapati
sarjana-sarjana yang banyak ilmu pengetahuan namun tidak mempengaruhi
akhlaknya. Sering kita temui hakim yang tahu hukum malah mempermainkan hukum.
Sering pula banyak politisi yang membuat aturan namun suka melanggar aturan
yang dibuatnya. Ini semua sungguh perbuatan yang celaka, sebagaimana sabda
Rasulullah : “ Orang yang paling pedih siksaannya pada hari
kiamat ialah seorang alim yang Allah menjadikan ilmunya tidak bermanfaat.” (HR.
Al-Baihaqi)
Dikatakan
ilmu itu tidak bermanfaat, apabila ilmu itu tidak mampu membimbing jiwanya
menjadi lebih baik dan meningkat derajadnya disisi Allah. Sesungguhnya sangat
baik apabila kita menuntut ilmu dan langsung mengaplikasikanya, walaupun
sedikit , sebagaimana nasehat Nabi : Sedikit ilmu lebih baik dari
banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah
kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub)
dengan pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani)
Dari Abi Musa
Radhiallahu Anhu, katanya Nabi Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan, yang oleh
karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh
ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan
rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air
sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia.
Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan
untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas
tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah
perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh
karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya.
Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli
dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya."Abu Abdillah
berkata, bahwa Ishaq berkata," Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi
air, tapi tidak menyerap ((Muttafaq 'alaih)
Ibnu Hajar
Al-Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul
Bari, menjelaskan :
Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan ketika mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan, akan tetapi dia mengejarkannya untuk orang lain, maka bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengerjakannya seperti yang dia dengar." Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilignya. Sabda nabi : “ Seorang ulama yang tanpa amalan seperti lampu membakar dirinya sendiri ”. (HR. Ad-Dailami),
Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan ketika mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan, akan tetapi dia mengejarkannya untuk orang lain, maka bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengerjakannya seperti yang dia dengar." Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilignya. Sabda nabi : “ Seorang ulama yang tanpa amalan seperti lampu membakar dirinya sendiri ”. (HR. Ad-Dailami),
Seh Abdul Qadir
Al-Jiylani menasehatkan : satu kali
celaka bagi orang bodoh, dan 7 kali celaka bagi orang ‘alim yang tak mengamalkan
ilmunya
2.
Kamu melakukan amal tanpa dasar
yang kamu ketahui.
Sama
meruginya dengan orang yang berilmu namun tidak beramal, yaitu orang beramal
namun tanpa dasar ilmu. Sabda nabi :”Sedikit ilmu lebih baik dari
banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah
kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub)
dengan pendapatnya sendiri. “(HR. Ath-Thabrani)
Hadits
diatas menekankan bahwa pemahaman mekanisme ibadah yang benar dan berkualitas,
lebih penting daripada banyak ibadah namun tidak dipahami. Ilmu itu cukup
apabila telah mampu mengantarkan ibadah kita menjadi berkualitas tinggi dan
sesuai aturan yang ditetapkan Allah swt. Dalam hal ini ibadah akan syah apabila
dipenuhi dua hal ini:
1.
Meniatkan amal perbuatannya semata
demi Allah SWT, dan
2.
Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan
tuntunan syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh,
seorang faqih yang zuhud ditanya :
1.
amal apakah yang paling baik? Ia
menjawab, "Yaitu amal
ibadah yang paling ikhlas dan paling benar."
2.
Ia
kembali ditanya, "Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud
dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Ia menjawab,
"Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar
maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu
benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah
SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan 'ikhlas' adalah
dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan 'benar' adalah
dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah
3.
Kamu tidak mau belajar tentang hal
yang tidak kamu ketahui
Senada dengan keterangan diatas , bahwa
kecelakaan besarlah orang yang mengabaikan pemahaman tentang agama. Karena
ibadah tanpa difahami akan hampa dihadapan Allah swt. Oleh karena itu rasulullah menasehatkan : “ tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu
adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada
orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan
menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu
pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.” (HR.
Ar-Rabii')
Selain itu Allah memerintahkan kita semua : “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Q.s.,al-a’râf:199 )
4.
Kamu menghalangi orang belajar
tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui
Kesombongan yang luar biasa apabila ingin menjadi yang
paling pintar diantara orang-orang bodoh. Padahal dirinya sendiri bodoh, maka
untuk mempertahankan hawa nafsunya dia menghalangi orang lain untuk mencari
kebenaran. Orang seperti ini digambarkan oleh Allah dalam firmanya : “ Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan
mereka selalu berbuat kerusakan “( QS:16:88 )
Selanjutnya
seikh Abdul Qadir Al-Jiylani menasehatkan : “ perbaguslah persahabatanmu dengan
Allah, takutlah kepadanya, beramallah dengan hukum-hukumNya, tunaikan hakNya,
Apabila kalian beramal dengan hukum Allah maka kalian telah menunaikan amal
dengan usahamu. Bahkan kalian telah mendorong orang lain untuk mengamalkan
hukum Allah. Ilmu yang kamu miliki dan amalkan, setelah kamu amalkan akan
timbul lagi ilmu bagimu tanpa kamu pelajari, sebagai anugerah dari amal baikmu.
( wallau a’lam )