Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu
pasang iklan

mencari jejak ajar sekh Abdul Qadir Jailani



Mati saat kita masih hidup
                Saya mengenal konsep tentang kebermaknaan hidup ini dalam kegamangan yang nyata. Dikatakan mati disini adalah kosongnya  jiwa, menurut kyai dikampung saya dikatakan dengan istilah sebagai mati sak jroning urip .   Seseorang dinyatakan mati   meskipun secara biologis masih bisa bernafas. Sebagaimana diajarkan   oleh sulthanil ‘auliya’ sekh Abdul Qadir Al-jiylani  bahwa hidup ini belum berarti apa-apa ketika kita belum memiliki kesadaran akan arti hidup. Sebelum manusia sadar akan hubungan dirinya dengan Tuhanya samalah keadaanya dengan mati.

                Matinya jiwa adalah keadaan dimana tidak terjadi tautan yang sinergi antara Sang Pemilik hidup dengan  kehidupan seseorang . Hilangnya tautan ini karena terlanggarnya  fitrah manusia yang yang telah ditetapkan Tuhan . Padahal jiwa yang sehat adalah kehidupan yang senantiasa memenuhi fungsi keberadaanya sebagai makhluk. Bukan dalam hakekat yang lain,  Andaikan tubuh kita adalah seperangkat komputer yang super canggih  maka sang operator tentu telah menentukan untuk apa perangkat itu diadakan. Kapan dimatikan, kapan digunakan dan bagaimana seandainya perangkat itu mengalami error dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
 Sebagai perangkat yang baik, komputer terdiri dari unsur mesin dan program. Secara sederhana komputer itu telah dibekali dengan basic operating system dan perangkat-perangkat lunak lainyanya agar berfungsi menurut kegunaanya. Perangkat – perangkat itulah yang menjamin bermaknanya komputer bagi sang pemilik. Artinya perangkat itu berfungsi secara normal menurut kehendak operator,  lain halnya seandainya komputer itu telah terinveksi virus dan mallwhare lainya, meskipun secara fisik masih bisa dinyalakan maka sang pemilik akan membuangnya, kalau memang tidak bisa diperbaiki lagi. Memang tidaklah sepadan perbandingan semacam  ini namun rasulullah Muhammad saw menggambarkan struktur kedirian manusia sebagai berikut : “...Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati”( HR Bukhari ). Yang dimaksud hati disini tentu bukanlah liver, melainkan perangkat rahaniah dalam diri kita  yang sering di sebut dengan qalbu. Atau ada yang menyebutnya sebagai hati nurani, tempat bersemayam basic operating system yang disebut sebagai fitrah.   
Sedangkan jiwa ( nafs ) merupakan keseluruhan unsur-unsur ruhaniah yang ada dalam diri seseorang, yang terdiri dari unsur-unsur non fisik yang salah satu diantaranya adalah fitrah atau hati nurani tersebut. Selain itu ada yang disebut Hawa atau dorongan yang menginginkan kesenangan-kesenangan atau kepuasan. Ada juga akal yang mampu menghitung dan menganalisa berbagai data dan informasi dalam mengambil keputusan. Adapula kehendak , persepsi dan pengalaman-pengalaman hidup yang terekam di alam bawah sadar.
Hati nurani tempat bersemayamnya fitrah manusia adalah berupa organ sebagaimana dijelaskan hadits diatas. Namun sangat memungkinkan bentuknya ada dalam  jaringan-jaringan otak, bukan berupa liver yang memiliki kegunaan sangat berbeda. Program dasar manusia yang disebut fitrah itu bersifat universal. Tidak ada yang membedakan antara penjahat, kyai, orang afrika atau orang asia.   fitrah manusia itu sebangun dengan 99 asmaul husna yang juga menggambarkan sifat ketuhanan Allah swt. Meskipun dalam kapasitas yang sangat sedikit. Contoh, Allah itu Maha pengasih dan penyayang, maka sifat itupun pasti ada dalam diri seseorang.  Sekalipun dia seorang penjahat yang kejam tetapi dia tak akan memungkiri akan kebutuhan dirinya akan kasih sayang, karena sifat itu bersifat mendasar dan universal.
Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya ciptaan. Kesempurnaan ciptaan itu bukan pada bentuk fisik , karena  tubuh manusia kalah kokoh dibanding harimau. Tubuh manusiapun kurang indah dibanding burung candrawasih, misalnya. Namun manusia memiliki sifat-sifat Ketuhanan yang menjadi kendali diri seseorang, dan tentu saja koneksi yang unik antara sang khalik dan makhluknya itu terjadi secara intensif dalam jiwa atau kedirian yang bersih tanpa noda.
Jiwa atau kedirian seseorang merupakan keseluruhan hakekat hidup manusia, baik secara fisik ataupun ruhaniah. Dikatakan jiwa itu hidup apabila berfungsi   sebagaimana yang  telah ditetapkan, ini harus disadari oleh kedirian manusia. Tanpa memiliki kesadaran akan kebermaknaan hidupnya maka dianggap bahwa jiwa itu dalam keadaan tidak sadar atau mati.  Karena jiwa itu tidak lagi berarti, lebih jelas ditegaskan bahwa menurut Sekh Abdul Qadir Al-Jiylani bahwa kesadaran akan iman  kepada Allah swt itulah awal dari hidup.
Kesadaran inilah yang menjadi kendali dari liarnya jiwa kita. Sesungguhnya dalam diri seseorang senantiasa terjadi pertarungan yang hebat. Disatu sisi ada fitrah manusia yang selalu setia pada nilai-nilai Ketuhanan. Disisi lain ada hawa nafsu yang senantiasa ingin menuruti kesenangan diri. Dipihak lain ada persepsi atau anggapan tentang benar dan salah atau tentang baik dan buruknya sesuatu. Ada juga apersepsi atau praduga-praduga yang mengarah kepada hipotesa tertentu. Dalam benak kitapun berseliweran data dan informasi yang perlu dikonfirmasi, dianalisa dan dinilai oleh akal.
Pertarungan ini begitu hebat, karena menentukan hidup dan matinya jiwa kita. Rasulullah menggambarkan bahwa jihat yang paling besar bukanlah perang di medan laga, tetapi perang melawan hawa nafsu. Logistik dari pertempuran itu adalah faktor-faktor eksternal dan internal, diantaranya adalah persepsi seseorang tentang suatu masalah yang sangat dipengaruhi oleh penguasaan informasi yang disebut ilmu.
Akal sebagai hakim senantiasa berjuang menegakkan kebenaran, dan itu semua sangat tergantung dari data-data yang diajukan dalam persidangan.  Jadi kebenaran yang ditegakkan akalpun bersifat relatif, maka informasi yang salah bisa menyesatkan kebenaran  sang akal. Terkadang seseorang melakukan kesalahan namun merasa benar, karena terbatasnya ilmu seseorang sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kepustusan.
Jiwa yang sehat dan hidup senantiasa memenangkan pertarungan itu. Dan kesadaran akan nilai-nilai ketuhanan ( iman ) senantiasa terjaga dengan baik.  Kesadaran ini sangat mahal harganya, kesadaran itu sangat tinggi nilainya, karena ditegakkan dengan pengorbanan yang besar.  Sedangkan jiwa yang rapuh, senantiasa kalah melawan hawa nafsu, maka jalan hidupnya dipenuhi oleh kegelapan dan bermegah-megah dalam kesenangan yang menipu.
Kesadaranlah yang menumbuhkan semangat dalam diri kita untuk senantasa lebih maju.  Tatkala kesadaran itu telah tumbuh maka itulah puncak kemenangan, karena kita tak lagi memiliki keraguan dalam meneruskan perjalanan  menuju hakiki kehidupan. Kita tak lagi meraba-raba mana yang salah dan mana yang benar, selama kita dipandu cahaya keimanan yang amat terang benderang.
Cahaya Iman
Pertarungan kedirian seseorang berlangsung secara terus menerus, tentu saja jiwa  yang  sehat memiliki pertahanan diri yang kokoh. Potensi luar biasa yang harus digali manusia adalah bagaimana fitrah dalam hati nuraninya berkembang dan berkilau dengan cahayanya yang memukau. Namun seringkali manusia tidak mengenal hakekat dirinya sendiri karena hati nuraninya tertutupi oleh kabut tebal sehingga cahayanya pudar tak mampu menembus.  Kabut itu berupa dosa-dosa dan keyakinanya akan sesuatu selain cahaya ilahiyah dari Allah swt. Kesyirikan dan berpalingnya jiwa dari iman sungguh petaka yang hebat bagi hidupnya jiwa kita.
Fitrah manusia sesungguhnya memiliki koneksi yang kuat dengan sifat-sifat Ketuhanan. Maka dengan memupuk keimanan yang intensif akan sifat-sifat Ketuhanan itu akan membantu mengenal fitrah dalam diri kita sendiri sehingga selalu eksis. Semakin kita mengenal sifat-sifat Ketuhanan semakin pula kita mengenal fitrah kita, maka dalam konteks tashawuf dikenal dengan ma’rifat atau mengenal Tuhan. Secara sederhana dikatakan bahwa semakin kita memahami ilmu tentang Ketuhanan maka saat itupula hakekatnya kita mengeksplorasi potensi hati nurani kita sendiri,
Cahaya iman selalu kita jaga jangan sampai pudar, dengan selalu mengingat hakekat Ketuhanan. Dzikir tidaklah semata melantunkan kalimat-kalimat tahlil, tasbih , tahmid dan takbir belaka, namun bagaimana kita selalu menautkan koneksi yang intim antara kedirian jiwa kita dan Allah swt. Dzikir adalah menghadirkan persepsi tentang kebenaran yang dikehendaki Tuhan, dengan berfikir  keras agar Allah meridlai keputusan yang kita ambil. Allah akan ridla apabila Dia menyukainya , agar Dia menyukainya maka kita harus mengenal sifat-sifat Tuhan. Berfikir memutar dan meneliti dengan seksama apa yang disukai Tuhan dan apa yang dilarangnya. Dengan demikian, apabila akal kita selalu berfihak kepada Tuhan maka , Vonis yang ditetapkan pasti berpihak pada kebenaran.
Dalam konteks tashawuf iman dikatakan sebagai Qaulun wa ‘amalun , ucapan dan perbuatan yang dilandasi keberpihakan jiwa pada Tuhan. Iman dapat berkurang dan bertambah. Digambarkan iman itu ada yang rendah, sedang dan tinggi. Cahaya iman bisa menyinari jauh ke negeri bahkan seluruh permukaan bumi. Namun ada pula iman yang hanya mampu menyinari dirinya sendiri, bahkan tidak bercahaya sama sekali, tertutup kotornya perbuatan maksiat. Difirmankan Allah : “ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. “ ( QS, 24:35 )
Cahaya iman memiliki karakter yang lurus namun mudah terhalang. Bagaikan cermin yang kotor, maka hati kitapun mudah terhalang oleh dosa-dosa dan kesyirikan. Maka hati kita harus selalu dirawat dan dijaga jangan sampai kotor. Seandainya sedikit terkena noda harus segera dibersihkan dengan bertaubat, karena kalau sudah berkerak akan sulit mengatasinya.
Begitulah jiwa yang sehat adalah jiwa yang selalu disinari cahaya iman. Sedangkan jiwa yang mati adalah jiwa yang tertutup oleh banyaknya dosa dan maksiat. Wallahu ‘alam !
  

-